Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Negeri Para Pengecut

25 Juni 2011   12:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:11 98 0
"Jangan Pak, saya takut. Saya gak mau ketemu dia lagi," jawab Bunga (bukan nama sebenarnya) saat itu, salah satu karyawati di tempat saya pernah bekerja.

"Tapi saya harus menindaklanjuti laporan ini dengan mempertemukan kalian. Kecuali ada saksi yang bisa memperkuat tuduhan kamu," jelas saya ketika itu. Bunga melaporkan pelecehan seksual yang dilakukan salah satu rekan kerjanya, keduanya teman sekantor saya waktu itu. Saya sebagai HRD tentunya memiliki kekuatan untuk mengusut laporan tersebut dan mengambil tindakan tegas, namun karena Bunga ketika itu tidak bersedia dikonfrontasi dengan pelaku, akhirnya kasusnya menggantung.

Bunga pun mengundurkan diri dari perusahaan, sementara si pelaku, mendapat pengawasan ekstra dari saya hingga kontraknya berakhir dan tidak saya perpanjang.

Di lain waktu, salah satu vendor penyedia barang elektronik tempat saya pernah bekerja, mengadukan tindakan beberapa oknum purchasing yang meminta komisi padanya, bila mau terus dapat order dari kantor.

Karena sistem di kantor saya ketika itu mengharamkan karyawan meminta (bahkan menerima) komisi dari vendor, segeralah saya usut lebih lanjut dan meminta vendor tersebut menyebutkan nama.

"Nggak deh Pak, saya gak mau kasusnya diperpanjang, karena saya gak punya bukti apapun. Nanti malah saya yang dituduh balik dan dikatakan sakit hati karena sudah lama gak dapet order," hindar dia ketika itu.

Akhirnya, walau saya dapat mengira-ngira siapa pelakunya (karena jumlah SDM purchasing cuma sedikit), tapi tidak bersedianya pelapor untuk bersaksi dan nantinya dikonfrontasi dengan pelaku, membuat kasus itu lagi-lagi menggantung.

Namun berdasar laporan itu saya kemudian berusaha memperbaiki sistem pemesanan dan pembelian barang, untuk meminimalisasi kemungkinan permintaan komisi kepada vendor.

Berkaca pada dua kasus di atas, hati saya membatin, apakah penduduk negeri ini telah mulai kehilangan keberanian membela kebenaran? Ketika menerima perlakuan tidak adil atau bahkan zalim, mereka hanya bisa kasak-kusuk di belakang sementara di depan seolah ikhlas menerima.

Bisa jadi kedua orang yang melapor kepada saya di atas, mencerminkan sebuah potret yang lebih besar tentang fenomena kepengecutan di negeri ini.

Ketika seorang Siami melaporkan praktik nyontek massal di sekolah anaknya, ternyata bukannya mendapat dukungan, malah keluarga Siami diusir dari kampungnya.

Ketika para pelaku politik macam Susno Duadji, Misbakhun dan Agus Condro mencoba menjadi whistle blower kasus-kasus korupsi (terlepas dari keterlibatan mereka juga di dalamnya) dan mengungkap banyak nama lain yang terlibat, bukannya diusut tuntas malah ketiganya yang dipenjarakan.

Akibat dari kisah heroik mereka yang dimuat media massa namun berakhir 'tragis', boleh jadi menciutkan nyali banyak orang yang memiliki semangat menggebu untuk menyuarakan kebenaran.

'Nasihat-nasihat' seperti, "Sudahlah, yang penting kita kan gak ikut-ikutan," atau "Gak usah cari masalah deh, mending biarin aja," bahkan pembenaran seperti, "Masih banyak koq yang kesalahannya lebih besar, gak usahlah yang kecil kayak gini diributin," dan "Sudahlah, yang kita lawan itu sistem, budaya, gak bakal menang kita melawannya. Mending ikut arus saja," sering disampaikan kepada mereka yang mencoba 'melawan'.

Bila sudah seperti itu, mungkin kita semua memang memiliki andil dalam segala kebobrokan negara ini, dengan menjadi bagian dari para pengecut yang hanya bisa diam, bahkan ketika hak-hak pribadinya dirampas.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun