Sepak terjang Gayus Halomoan Tambunan yang hingga kini masih ramai dibicarakan, tak dipungkiri telah mencoreng citra Kementerian Keuangan, terutama Direktorat Jenderal Pajak. Mungkin cukup banyak orang yang kemudian mengolok-olok slogan pajak dengan mengatakan, “Hari gini gak transparan ngelola pajak? Apa kata dunia??”
Akibatnya sempat muncul ‘Gerakan 1.000.000 Rakyat Boikot Bayar Pajak’ di Facebook pada Maret 2010 lalu dan sekarang sudah memiliki lebih dari 100.000 anggota. Masih di situs jejaring sosial yang sama, grup ‘Daripada Bayar Pajak Mending Bayar Zakat’ pun muncul.
Sebagian umat Islam pun kemudian lebih memilih membayar zakat dibandingkan pajak. Selain karena dalam Islam zakat adalah salah satu kewajiban, juga karena hampir seluruh Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) baik LAZ (Lembaga Amil Zakat, OPZ bentukan masyarakat) maupun BAZ (Badan Amil Zakat, OPZ bentukan pemerintah) mau secara rutin dan transparan melaporkan penggunaan dana ZISWAF yang mereka kelola. Transparansi itulah yang melahirkan kepercayaan masyarakat muslim untuk membayar zakat ketimbang pajak.
Kepercayaan itu kemudian direspon dengan dibahasnya RUU Pengelolaan Zakat di Komisi VIII DPR. Dalam RUU tersebut satu poin penting yang diusulkan adalah adanya tax credit (pengurang beban pajak) bagi mereka yang telah membayarkan zakatnya pada OPZ. Perlu diketahui bahwa saat ini zakat baru menjadi tax deduction (pengurang penghasilan kena pajak).
Namun karena di Indonesia zakat dan pajak tidak dikelola oleh satu kementerian (zakat dikelola oleh Kementerian Agama), tentunya masalah tax credit tersebut menjadi isu yang sensitif. Kementerian Keuangan disebut menolak ide tax credit tersebut dengan alasan adanya risiko pengurangan pendapatan negara. Padahal apabila pemerintah mau menjadikan zakat sebagai salah satu instrumen pendapatan negara, tentunya kekuatiran tersebut tidak perlu terjadi.
Bila masalahnya adalah pengelolaan dana zakat yang sebagiannya dikelola oleh masyarakat melalui LAZ, maka RUU Pengelolaan Zakat dengan tax credit-nya dapat menjadi momentum sinergi antara pemerintah dengan masyarakat yang mengelola dana zakat. Karena berdasarkan data riset yang dilakukan Indonesia Magnificence of Zakat (IMZ) di jabodetabek, disebutkan bahwa;
Masyarakat miskin yang menerima zakat, terutama zakat produktif mampu mempengaruhi tingkat keberdayaan masyarakat penerima zakat hingga keluar dari kemiskinan sebesar 10,79%. Sedangkan pengaruhnya atas tingkat kesenjangan pendapatan rumah tangga miskin terhadap angka garis kemiskinan DKI Jakarta dapat diperkecil dari semula Rp. 442.384,20 menjadi Rp. 422.076,30 atau 4,69%. Terakhir, dari tingkat keparahan kemiskinan, intervensi zakat mampu mengurangi keparahan kemiskinan sebesar 12,12-15,97 persen, yang artinya zakat mampu mengurangi beban sehingga kondisi perekonomian rumah tangga miskin menjadi lebih ringan.
Apabila terjadi sinergi program antara pemerintah dengan masyarakat yang mengelola dana zakat, seharusnya dana tersebut dapat memberi lebih banyak manfaat.