Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Aktor Dibalik Kehancuran Elektabilitas Demokrat

13 Februari 2014   09:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:52 95 0
Tidak bisa dipungkiri,  hampir seluruh lembaga survei menyebutkan bahwa elektabilitas Partai Demokrat jelang Pemilu 9 April  2014 terus anjlok dan menurun secara drastis. Partai Demokrat yang pernah menang di Pemilu 2009 dengan prosentase lebih 20% serta  menguasai pemerintahan, kini peluangnya untuk tetap bertahan sangat kecil dan bahkan  diprediksi akan jatuh menjadi parpol papan tengah atau bahkan kecil.

Ancaman jatuhnya elektabilitas Demokrat  setidaknya ditunjukkan oleh 2 lembaga survei yang mempublikasikan  hasilnya di awal tahun ini atau sekitar 2 bulan menjelang Pemilu legislatif. Setelah Lingkaran survei Indonesia (LSI) merilis temuannya, dimana Demokrat semakin jatuh elektabilitasnya pada angka 4,7%, kini giliran Lembaga Survei Jakarta (LSJ) juga menyebut bahwa tingkat keterpilihan parpol penguasa ini semakin terpuruk pada kisaran 6,1%, dengan berada di urutan ke 6--  dibawah PDI Perjuangan, Partai Golkar, Gerindra, Nasdem dan Hanura.

Terlepas benar tidaknya hasil survei tersebut berdasarkan kenyataan politik yang bakal terjadi di Pemilu 9 April mendatang, maka fomena hasil survei  yang menjadi potret situsional kekuatan politik  mestinya  disikapi secara dewasa, rasional  dan dikaji secara serius. Hasil survei dapat menjadi warning bagi setiap parpol untuk melakukan langkah-langkah strategis, berupa loncatan dan penyelamatan sebelum dirinya 'divonis' oleh rakyat dalam Pemilu.

Dalam konteks inilah keberadaan Demokrat menjadi cukup memprihatinkan, karena sebagai partai penguasa selama hampir 10 tahun, namun dominasinya  terancam tersingkir, suram dan tragis. Ancaman ini setidaknya telah ditunjukkan oleh berbagai lembaga survei, dimana trend elektabilitas Demokrat semakin jatuh dan terpuruk secara memprihatinkan.

Ditengah ancaman itu, mestinya Demokrat segera berbenah, tidak terus terlibat dalam konflik dan polemik dengan saling tuding serta menyalahkan. Ada kecenderungan yang kontradiktif ketika sebagian elit Demokrat justru 'menyalahkan' lembaga survei ketika parpolnya disebutkan memiliki elektabilitas yang cukup rendah.

Itulah sikap kontraproduktif ditengah ancaman semakin habis dan jatuhnya tingkat elektabilitas Demokrat  di Pemilu mendatang. Demokrat mestinya berpikir jernih dan rasional, dengan mengurai akar persoalan yang sebenarnya ada sehingga sikap atau  upaya penyelamatan yang dilakukan lebih berdimensi universal dan aplikatif,   bukan emosional dan parsial belaka.

Partai Demokrat setidaknya disisa waktu yang semakin sempit menjelang Pemilu 9 April mendatang dapat secara adil dan jernih membaca dan mengetahui sebab, faktor  serta para aktor yang secara signifikan membuat partai  ini terancam jatuh dan tenggelam. Aktor-aktor inilah yang disebutkan oleh banyak lembaga survei sebagai sebab terus anjloknya elektabilitas Demokrat saat ini.

Beberapa sebab yang membuat Demokrat tidak bisa tampil menjadi parpol yang kuat dan modern adalah gagalnya serta  lemahnya sistem kaderisasi di parpol pemenang Pemilu 2009 lalu. Dalam rekrutmen kepemimpinan di Partai Demokrat, baik di pusat hingga daerah lebih didasarkan pada pertimbangan pragmatis, instan dan bahkan nepotis.

Jalan pintas tampaknya lebih ditempuh Demokrat dalam melakukan rekrutmen kepemimpinan yang lebih melihat faktor kapital  dan ketokohan yang awalnya tidak memiliki akar sejarah sedikitpun dengan parpol ini. Banyak pejabat dan pengusaha yang tiba-tiba menjadi pemimpin Partai Demokrat diseluruh tingkatan kepengurusan, padahal sebelumnya tidak pernah terlibat sedikitpun dengan proses pengkaderan secara internal.

Rekrutmen kepemimpinan  seperti itulah yang akhirnya membuat banyak kader Demokrat yang sudah lama berkarir dan mengabdi  sejak berdirinya parpol ini harus dikalahkan, tersingkir  atau  disingkirkan.   Langkah instan dan prgamtis demikian yang membuat banyak kader Demokrat akhirnya sakit hati dan lari dengan bergabung menjadi kader partai politik lain.

Disamping faktor itu, massifnya pemberitaan media massa terhadap dugaan korupsi yang melibatkan sejumlah elit politik Demokrat secara signifikan telah merontokkan elektabilitas parpol penguasa ini. Karena kasus ini,  Demokrat telah dipersepsikan oleh publik sebagai parpol paling korup di negeri ini.

Stigma parpol paling korup dan terjadinya karma 'iklan katakan tidak pada korupsi, padahal korupsi' menjadi serangan politik yang sangat sulit dibantah oleh Demokrat dihadapan publik. Mayoritas bintang iklan politik ini kini telah tersandung kasus korupsi sehingga keberadaannya sekaligus menjadi aktor penting bagi kehancuran elektabilitas Demokrat.

Nazarudin, Angelina Sondakh, Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum  dan sejumlah elit Demokrat yang terus disebut dan diduga terlibat korupsi dalam sejumlah kasus, baik di Wisma Atlet, Hambalang dan SKK Migas  serta lainnya yang proses hukumnya di KPK hingga kini belum tuntas  menjadi beban sangat berat bagi parpol ini untuk bisa segera bangkit.  Realitas demikian  yang telah menghancurkan elektabilitas Demokrat sehingga sangat berat untuk diselamatkan dalam Pemilu mendatang.

Disamping faktor dan aktor korupsi yang telah menghancurkan elektabilitas Demokrat,  parpol penguasa ini juga sedang menghadapi kondisi yang sangat sulit-- dimana tingkat kepercayaan dan kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan SBY di akhir masa baktinya semakin turun. Terus menurunnya kepuasan terhadap kinerja pemerintah dianggap berkorelasi langsung terhadap jatuhnya elektabilitas Demokrat-- apalagi parpol  ini juga dipimpin langsung oleh SBY yang juga menjabat sebagai Presiden.

Tampilnya SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat tampaknya  akan sulit  melakukan gerakan penyelamatan  parpol ini karena faktanya tren elektabilitas parpol  justru terus menurun menjelang pemilu 9 April mendatang. Dalam konteks inilah posisi SBY justru menjadi salah satu beban (sebab) ikut menurunnya elektabilitas Demokrat karena tingkat kepuasaan publik terhadap kinerja pemerintahnya  semakin rendah.

Bagi sebagian besar para elit Demokrat, SBY adalah pusat kekuatan  dan harapan sehingga dirinya  didorong tampil menjadi Ketua Umum demi sebuah misi penyelamatan masa depan partai penguasa ini. Anggapan ini akan diuji di Pemilu mendatang, jika Demokrat berjaya kembali maka misi penyelamatan partai adalah berhasil,  sebaliknya jika gagal maka 'kewibawaan' SBY sebagai pusat kekuatan dan harapan di partai  ini pasti  digugat secara beramai-ramai oleh kadernya sendiri.

Itulah pertaruhan terakhir Partai Demokrat, ditengah terus memburuknya elektabilitas  maka kini semua kader hanya memiliki dua pilihan untuk bisa ditempuh yaitu tetap optimis dengan terus bekerja keras serta mengharapkan keajaiban jurus sakti politik SBY sebagai Ketua Umum dan sekaligus seorang Presiden.

Pemilu 9 April mendatang sebagai ajang pembuktian;  apakah SBY bisa tampil sebagai aktor yang mampu menyelamtakan partainya dari ancaman kehancuran atau  sebaliknya justru  menjadi faktor dan aktor yang menjatuhkan Partai Demokrat sehingga terpental menjadi kekuatan politik yang tidak terlalu  diperhiutungkan. Pembuktiannya kita tunggu 9 April mendatang.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun