Dengan kewenangan itu maka Luhut Panjaitan memiliki kewenangan lebih besar dan posisi di atas para Menteri karena dalam menjalankan kerjanya, Kepala Staf Kepresidenan ini bisa dan boleh memanggil Para Menteri di Kabinet Kerja. Dengan tugas dan kewenangan penuh ini, maka tugas dan Peran Wakil Presiden Jusuf Kalla menjadi terkurangi dan bahkan 'tertandingi'.
Luhut Panjaitan memiliki tugas yang sangat strategis hampir menyerupai posisi seorang Perdana Menteri. Dengan Perpres itu membuat posisi JK tertandingi dan bahkan kini 'teramputasi' sehingga jabatan Wakil Presiden akan lebih bermakna dan berfungsi 'simbolik' semata. Dengan cara ini niscaya JK tidak bisa bergerak 'lincah' dan cepat lagi seperti saat menjadi Wapresnya SBY karena sebagian besar kewenangannya diambil dan diberikan kepada Kepala Staf Kepresidenan.
Posisi JK sebagai Wapres memang tidak diusik sama sekali, namun substansinya Perpres tersebut dapat menjadi jurus terselubung untuk 'mengkudeta' peran dan kewenangan 'substantif' orang no. 2 di Republik ini. Dugaan demikian beralasan karena JK sebagai Wapres ternyata tidak dilibatkan dalam Pembuatan Perpres yang sangat potensial mengamputasi peran dan kewenangannya.
Melalui Perpres tersebut Presiden Jokowi setidaknya memunculkan pesan politik; bahwa dirinya tampaknya lebih percaya kepada Luhut Panjaitan daripada Wapresnya dan sekaligus menjadikan sebagai tangan kanannya. Dipilihnya Luhut Panjaitan sebagai Tangan Kanan Jokowi cukup beralasan karena tokoh ini memiliki karir di Militer yang cemerlang, tokoh politik senior, memiliki jaringan luas dan sekaligus menjadi ahli strategi politik yang disegani.
Luhut Panjaitan juga menjadi tokoh politik yang senior dan independen sehingga dirinya bisa atau berani berdiri sejajar dengan seluruh elit politik yang ada, termasuk kepada Megawati sekalipun. Dengan posisinya ini, maka Luhut akan sulit ditekan, didekte dan dipengaruhi kalangan elit politik manapun karena dirinya akan berani berkata 'tidak' jika merugikan kepentingan Presiden Jokowi.
Itulah tampaknya yang menjadi alasan dan sekaligus strategi Jokowi untuk tidak mengambil kader partai pengusung utamanya seperti PDI-P sebagai penjaga gawang Kepresidenan. Inilah cara Jokowi agar istana steril dengan tidak berada dalam bayang-bayang, intaian dan 'remote kontrol' dari kekuatan atau elit politik tertentu.
Karena itu, Luhut kini dianggap sebagai tokoh yang paling berpengaruh dihadapan Presiden dan sekaligus pemasok informasi (pembisik) yang sangat dipercaya. Realitas ini tentu juga berpotensi sangat berbahaya, jika Jokowi tidak memiliki 'kontrol' informasi yang tinggi jika ternyata Luhut Panjaitan memiliki ambisi pribadi yang sangat menonjol.
Luhut Panjaitan disamping bisa menjadi operator politik Jokowi, dirinya juga dapat menjadi perisai diri atau 'benteng' yang sangat kokoh bagi Presiden untuk menghadapi tekanan-tekanan dari kalangan partai politik. Dengan cara ini maka Jokowi tidak serta merta langsung berhadapan dengan para elit politik, tetapi cukup dihadapi oleh sang Tangan Kanan Presiden.
Cara ini sekaligus untuk menghadapi dominasi partai-partai pengusungnya yang selalu terkesan menuntut, mendikte dan menekannya. Dengan dipasangnya Luhut Panjaitan, maka Jokowi akan tidak terlalu kehilangan energi untuk 'meladeni' ambisi para politisi, tetapi cukup dihadapi oleh orang kepercayaannya ini. Langkah ini pula yang membuat Jokowi berusaha untuk menghindar dan menjauhkan dirinya dari bayang-bayang dan pengaruh Megawati.
Luhut Panjaitan pasti lebih bisa bersikap lugas dan tegas kepada kalangan elit politik karena disamping dirinya tidak memiliki perasaan harus 'balas budi', Kepala Staf Kepresidenan ini juga tidak perlu basa-basi untuk menolak dan menghindar dari ambisi kekuatan politik tertentu. Inilah cara Jokowi untuk menghindar dan bahkan melawan kepada kalangan elit politik, termasuk kalangan koalisi politik mendukungnya agar tidak menerus menuntut adanya balas budi politik kepada dirinya.