Perkembangan dunia agribisnis yang dijadikan andalan dalam pergerakan perekonomian Indonesia akan semakin baik dan menarik sejalan dengan berkembangnya animo masyarakat terhadap kegiatan agribisnis secara luas. Sektor tersebut memiliki peranan penting dan risiko yang besar dalam hal pengembangannya, maka dari itu diperlukan manajemen terhadap risiko yang terjadi. Manajemen risiko merupakan pola pengelolaan yang teragregasi dari konsep risiko, identifikasi jenis risiko, penentuan sumber risiko, pengukuran nilai risiko, dan cara penanganan risiko tersebut. Adapun manajemen yang ada diantara lain adalah hedging. Menurut Roger (2000), Hedging adalah membeli dan menjual kontrak berjangka untuk menutupi resiko atas perubahan harga di pasar spot (fisik). Fungsi Hedging juga dapat diberlakukan untuk jenis komoditi pertanian, seperti kopi dan CPO yang akan diperdagangkan di Bursa Berjangka Jakarta (BBJ). Indonesia yang memiliki potensi di bidang komoditi sangat rentan terhadap adanya fluktuasi harga yang terjadi. Lada, karet, kakao, teh dan banyak lagi, sering mengalami fluktuasi harga yang akhirnya justru merugikan produsen pada saat panen. Hedging yang dilakukan dalam perdagangan berjangka merupakan bentuk lain dari kegiatan asuransi yang diciptakan berdasarkan mekanisme pasar yaitu dengan melakukan pasar turunan atau derivatif dari pasar fisiknya. Dengan melakukan transaksi di dua pasar tersebut (futures dan physic) secara bersarnaan dengan posisi yang berlawanan untuk jumlah dan jenis komoditi yang sama, maka kedua pasar akan saling menutupi kerugian yang diderita pada salah satu pasar. Dengan demikian perdagangan berjangka memberikan manfaat ekonomi berupa pengalihan resiko yang tidak diinginkan melalui kegiatan hedging dan merupakan sumber referensi harga yang dapat dipercaya (price discovery). Karakteristik produk pertanian pada umumnya memiliki sifat yang memiliki nilai risiko. Beberapa diantaranya adalah mudah rusak, kuantitas yang sangat berfluktuasi dan susah dikendalikan terutama yang dikarenakan faktor alam, kualitas yang tidak seragam, permintaan dan penawaran yang berfluktuasi. Hal ini mengakibatkan fluktuasi harga pada produk pertanian. Fluktiasi harga ini cenderung fluktuasi yang merugikan produsen pertanian (petani) karena harga yang dibeli oleh pemasar cenderung jauh dibawah harga pasar. Melihat apa yang terjadi pada pertanian di indonesia, ada beberapa strategi yang dapat di terapkan. Salah satu strategi yang sesuai untuk diterapkan adalah hedging (lindung nilai). Dengan kegiatan lindung-nilai menggunakan kontrak berjangka, hedger (dalam hal ini orang yang memanfaatkan sistem ini yaitu produsen, petani, dll) dapat mengurangi sekecil mungkin dampak (risiko) yang diakibatkan fluktuasi harga suatu komoditi. Sebagai contoh, misalnya pengusaha pabrik sirop yang sangat bergantung dengan harga gula sebagai bahan baku utama. Bila diperkirakan harga gula akan meningkat, maka untuk menjaga kestabilan anggaran biaya, pengusaha tersebut dapat membuka kontrak beli komoditas gula berjangka sebagai bentuk hedging. Dengan demikian ketika harga gula naik, kerugian dari transaksi fisik dapat ditutup dengan keuntungan dari pasar berjangka. Dalam pelaksanaan strategi lindung nilai produk pertanian, pasti selalu ada kendala dan peluang yang dihadapi. Secara umum kendala yang dihadapi dalam melakukan sistem ini adalah quantity uncertainty yaitu ketidakpastian jumlah produk yang akan dihasilkan yang disebabkan oleh banyak faktor dalam produksi. Hal lain yang menjadi kendala adalah Basis Risk yaitu merupakan masalah umum dalam komoditas karena adanya biaya penyimpanan dan transportasi serta perbedaan kualitas antara spesifikasi kontrak dengan komoditas aktual yang dibeli atau dijual. Adapun peluang dan keuntungan pengaplikasian sistem lindung nilai ini secara umum adalah proteksi dari risiko kerugian akibat fluktuasi harga. Sebagai contoh, Hedger (petani) memperoleh jaminan harga pada produknya sehingga tidak terpengaruh oleh kenaikan/penurunan harga jual di pasar tunai. Disamping itu manfaat yang sama juga dapat diperoleh pihak lain seperti eksportir yang harus melakukan pembelian komoditas di masa yang akan datang, pada saat harus memenuhi kontraknya dengan pembeli di luar negeri, atau pengolah yang harus melakukan pembelian komoditas secara berkesinambungan. Namun, apabila pertanian Indonesia ingin menerapkan sistem hedging ini sebagai salah satu alat untuk membangun pertanian nasional, sistem ini harus didukung dari berbagai aspek baik dari SDM pertanian, pemerintah sebagai regulator, pihak-pihak swasta, lembaga-lembaga keuangan dan pendidikan, serta segala elemen yang terkait dengan sistem agribisnis. Hal ini merupakan tantangan dalam pembangunan pertanian indonesia kedepannya. Segala daya upaya dan kerjasama yang sinergis antar lembaga dalam sistem agribisnis akan sangat membantu pertumbuhan pertanian Indonesia kedepannya.
KEMBALI KE ARTIKEL