Ada nyanyian malam, ada pula cahaya kunang-kunang, aku rasa ini merupakan pesta alam. Dalam pesta harus ada kebahagiaan. Biar aku sanggah saja, dalam pesta tidak harus orang-orang yang bersuka ria, tidak melulu yang bahagia. Aku tidak pernah merasa bahagia ketika keluargaku mengadakan pesta ulang tahun bahkan pesta ulang tahun yang sengaja diperuntukkan kepadaku. Ada kalanya yang bersedih dalam lingkarannya. "Hei, kalian para serangga tidak mampukah kalian mengobati luka?"
*****
Perjalananku menyusuri rel kereta api berakhir di peron ini. Rubuhlah tubuh kurus ini di pelataran yang tidak bersih. Ada rasa lelah yang nikmat. Ternyata pesta alam bukan jawaban untuk kegelisahan. Walaupun serangga bersenandung dan kunang-kunang berkerlap-kerlip elok sekali tetap saja tidak memberikan jawaban terhadap persoalan. Semuanya membuatku terus melangkah, melangkah dan terus melangkah. Hingga kaki benar-benar sulit untuk melangkah. Di peron inilah kaki dan tubuhku menyerah tidak berdaya. Kalah karena keadaan.
Bisingnya suara kereta, mengusik tidurku. Aku tersadar. Rasa lelah tidak dapat terhapuskan. Aku lihat jam tanganku, ternyata aku menghabiskan sepertiga malam di peron ini. Aku layangkan pandangan ke segala penjuru. Banyak coretan disana-sini. Banyak coretan dengan nama sepasang kekasih. Aku tidak tertarik melakukan hal yang menggelikan seperti itu. Sekiranya nanti aku memiliki kekasih aku tidak akan melakukan hal yang demikian, terlalu murahan. Ada tulisan yang aku rasa berjenis provokasi. Bunyinya seperti ini: "BBM NAIK, RAKYAT MENJERIT!"
Rakyat memang sudah menjerit bahkan tercekik oleh tangan-tangan abstrak ketika harga sembako lebih dahulu melonjak naik. "Gila! Aku memang gila untuk apa aku memikirkan persoalan rakyat? Bukankah persoalan rakyat terjadi karena wakilnya sendiri?" Salah sendiri, kenapa memilih memiliki wakil yang banyak membuat persoalan. Kalau aku tidak merasa memiliki wakil, sekiranya muncul persoalan sudah pasti sifatnya pribadi. Coba tengok persoalan diriku sekarang, hampir tidak dapat aku atasi. Aku terlalu dungu untuk ikut serta memikirkan persoalan yang menyangkut permasalahan rakyat.
Aku habiskan waktuku dengan melamun sambil terpaku pada setiap coretan. Tubuhku terasa rapuh. Tidak terasa, aku berdiam diri di peron stasiun sampai berjam-jam. Ternyata melamun bisa menjadi solusi untuk membuang-buang waktu. Biar aku tebak, pasti matahari sudah mulai hangat sekarang. Entah berapa mata manusia yang melihat keberadaanku disini. Risih rasanya ketika mata bertemu mata. Aku alihkan pandanganku menuju arah yang lain. Aha, tukang asongan!
"Mang, beli aqua botol sama garpit setengah, Mang!"
"Apalagi?" tanya si pedagang.
"Udah, ini saja, Mang."
"Kenapa ini mah bukan aqua, Mang?"
"Adanya cuma merek eta aja." sambil menyodorkan kembalian.
Aku teguk air mineral. Aku nyalakan rokok. Berdiam diri di peron ini sambil menunggu yang di nanti, rasanya bercampur aduk. Aku bersedia menunggu sampai kapanpun. Hasil bukanlah sesuatu yang luar biasa bagiku, aku lebih menikmati proses. Seperti yang sedang aku lakukan sekarang, menunggu sesuatu yang aku nantikan. Aku rela melakukan hal yang seperti ini walaupun bagi sebagian orang ini adalah tindakan konyol. Tapi aku menikmati. Aku siap apapun hasilnya nanti karena proses sampai disini menjadi kepuasan tersendiri bagiku.
Matahari mulai terik aku rasa. Begitu banyak manusia silih berganti. Ada yang datang ada pula yang pergi. Aku perhatikan wajah-wajah asing mereka. Ada yang bahagia berjumpa sanak famili. Ada yang tergesa-gesa sambil melihat arloji. Ada yang kebingungan. Namun, ada juga yang gelisah menanti. Aku renungi kehidupanku di peron ini. "Mengapa aku harus bersedih? Begitu banyak orang yang lebih buruk keadaannya dibandingkan dengan diriku. Oh tuhan, aku kira selama ini hanya aku yang merasakan kesedihan."
Aku rogoh saku kemejaku, mengambil sebatang rokok dan aku nyalakan. Aku hisap sekuat tenaga lalu aku hempaskan. Asap berterbangan bagai bidadari yang menari dan meliuk-liukkan tubuhnya.
Akhirnya, sesuatu yang aku tunggu dan aku nanti-nantikan tiba. Perasaanku bercampur aduk bagaikan tepung, gula, garam, susu, mentega, air, telur yang menjadi satu. Ada rasa bahagia namun, ada juga rasa gelisah. Aku siap sekaligus tidak siap. Seakan-akan penantianku mencapai garis akhir. Aku merasa enggan untuk mencapai akhir. Aku tidak ingin berpisah dengan penantian. Aku masih ingin menunggu lebih lama lagi apa yang aku nantikan. "Apakah ini yang dinamakan kenikmatan menunggu yang dinantikan?"
"Sepertinya kamu sudah lama sekali berada disini, ya?" tanyanya membuka percakapan.
"Lumayan sih." jawabku.
"Kamu apa kabar?"
"Begini saja seperti yang kamu lihat. Bagaimana perjalanannya, Mer?"
"Ya begitulah. Kamu mungkin dapat merasakan bagimana rasanya bepergian dengan kereta."
"Aku paham." jawabku sambil tersenyum geli.
"Terus?" tanyanya.
"Aku disini untuk menunaikan permintaan kamu, Mer!"
"Liam, kamu masih menunggu jawaban dariku?"
"Iya, aku ingin kamu menunaikan hak kamu!"
Aku tidak merasa keberatan dan juga tidak risih ketika mata kami saling bertemu. Cukup lama mata kami saling menatap. Tatapan matanya, membuat aku lemah. Ada kesejukkan di dalam matanya. "Aku tidak kuat, Tuhan!"
Meri menghela nafas sambil mengusap rambut yang panjangnya hanya sampai setengah leher dengan kedua telapak tangannya. Kini kegelisahan bukan hanya milikku tapi milik Meri juga. Terlihat dari wajahnya yang menegang. Tangan kanannya membuka tas berwarna merah tua yang berada dipangkuaanya. Diambilnya air mineral botolan yang mereknya aqua. Cara dia minum, sungguh memancarkan kelembutan, kehalusan bagi yang memandangnya. Meri memang sangat cantik.
"Mau minum?" tawarannya kepadaku. Tanpa mengatakan apapun langsung aku sergap air mineral dari tangannya. Tersungging senyumannya yang elok ketika mata kami saling bertemu kembali.
"Aku berada di sini karena kamu yang memintaku. Enam bulan lamanya aku menunggu. Aku memang masih ingin menikmati apa yang aku tunggu tapi aku tidak dapat menghentikan waktu dan aku takut tidak dapat menghormati apa yang menjadi hak kamu. Kini sudah tiba waktunya kamu menunaikan hak! Ini hari yang kamu pinta dariku, Mer."
"Liam, aku merasa nyaman dan aman jika berada bersamamu! Sulit bagiku untuk memberikan jawaban! Enam bulan memang waktu yang lama namun ketika sudah sampai pada waktunya enam bulan sungguh terasa singkat dan tidak terasa begitu cepat berlalu."
"Iya, aku mengerti, Mer. Aku juga merasakan hal yang sama, kesulitan yang sama pula walaupun pada kenyataannya bentuk dan rupa pasti berbeda."
"Terlalu banyak yang kamu korbankan untukku. Semoga kamu tidak berpikir bahwa pengorbananmu untukku adalah kesia-siaan."
"Kamu jangan berprasangka buruk terhadapku, Mer!"
"Sungguh kamu memang sangat baik, Liam! Aku merasa bangga sekaligus beruntung. Maafkan aku, Liam. Aku menyayangi kamu namun aku tidak bisa menjadikan kamu sebagai kekasih!"
"Mer, Dulu aku menyatakan perasaan kepadamu tanpa pernah aku meminta kesepakatan kamu harus mau menjadi kekasihku. Adanya diriku saat ini semata-mata untuk memenuhi permintaanmu. Kamu meminta agar aku menunggu jawaban darimu selama enam bulan untuk kamu pertimbangkan terlebih dahulu. Kini waktunya telah tiba, aku datang ke tempat ini sesuai dengan permintaanmu. Aku ingin menghormati semua yang menjadi hak kamu, Mer." jawabku sambil memberikan sebuah buku. Ketika aku mengutarakan perasaanku kepada Meri enam bulan yang lalu, dia memintaku untuk menuliskan cerita tentang dirinya.