Matahari hampir beranjak ke peraduan, aku mengajak semua orang untuk pulang. Perjalanan menuju penginapan masih jauh, sedangkan aku sudah lelah dan ingin segera menikmati empuknya kasur. Aku bersadar di kursi minibus dan mengamati orang di sekitarku. Beberapa orang terlihat memejamkan mata dan ada yang memainkan ponsel, mungkin mengedit fotonya agar terlihat indah. Aku pun tidak tahu.
Aku kembali melihat ke depan sembari menghela napas. Jalanan yang dilewati sekarang benar-benar buruk. Mobil yang kugunakan sudah cukup tua dengan pintu tengah sisi kanan yang tidak bisa dibuka, cat yang mengelupas, dan suara mesin yang terkesan kasar. Aku sadar bahwa mobil ini tidak layak untuk digunakan di kondisi jalan yang terjal. Namun, aku tidak punya pilihan untuk tidak menyewa minibus milik Pak Her. Beliau orang yang selalu kupercaya untuk menemaniku setiap berkunjung ke daerah ini. Selain itu, aku ingin membantu Pak Her untuk biaya sekolah anaknya yang masih sekolah.
Laju minibus tiba-tiba terhenti pelan. Pak Her tampak menghidupkan minibus. Namun, hanya terdengar ngaungan pertanda mogok. "Sepertinya, kita harus keluar Pak Her." Pak Her menganggukkan kepala tanda setuju. Aku meminta semua orang yang ada di minibus untuk keluar.
Pak Her membuka kap minibus dan mencoba melihat kerusakan. Beliau tampak mengotak-atik sebentar dan menatapku. "Ini saya gak bawa alat-alat," Pak Her menatapku terkesan takut. "Padahal sebelum berangkat sudah saya bawa ke bengkel." Aku seketika bingung menghadapi ini.
"Tapi ini beneran sebelum berangkat sudah di cek rutin, mulai mesin, ban, sampai saya cuci juga," Aku menganggukkan kepala dan mencari ponsel untuk mencari bantuan. "Setelah kejadian mogok ini tetap sewa minibus saya kan? Kamu gak trauma kan? Saya takut kamu gak mau nyewa lagi." Aku tersenyum menatap Pak Her yang mengkhawatirkan jika tidak mendapat penghasilan lagi.