Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Segenggam Pasir Senja

21 Januari 2014   19:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:36 51 0
Aku selalu menyimpan rasa ingin tahu menyaksikan batas senja menuju malam. Adakah itu berbatas atau senja meredup tanpa bisa disaksikan. Dari senja dan tiba tiba malam. Tapi, tak pernah sekalipun aku berhasil melihat batasnya. Walau aku percaya mustinya ada. Bukankah setiap waktu ada siklusnya. Penandanya.

Senja ini, kembali aku duduk di pantai. Tak terlalu sulit untuk mencari tempat yang agak lengang. Aku menjauh dari orang orang yang masih cukup banyak di pantai itu. Sama saja denganku pasti mereka ingin menyaksikan senja. Tapi pasti mereka tidak ingin mencari batas senja dan malam seperti aku.

Matahari masih bersinar keperakan, walau tidak menyilaukan. Aku akan setia menunggu dan berharap senja ini berhasil menatap batas malam saat matahari menghilang. Aku diam mematung, mencoba berkonsentrasi, meditasi. Menyerap energi semesta.

Aku bersila. Memejamkan mata. Meditasiku terganggu merasa ada yang terlampau iseng menghampiriku. Berdiri disampingku dan menanyakan apa yang tengah kulakukan. Aku pura pura tidak mendengar. Yang bertanya terlampau degil kembali menanyakan aku sedang apa. Aku terpaksa membuka mataku melihatnya tajam sekilas, kemudian buang muka. Pesan yang jelas supaya ia tidak menggangguku.

Seolah ia berhasil menerka, dia mengatakan, "Oh sedang menunggu matahari terbenam?" Dengan judesnya aku terpaksa berkata, "Ya, dan kamu mengganggu saya". Tegas agar dia segera enyah.

Bukannya beranjak pergi, dia menjatuhkan tubuhnya dan duduk di dekatku. "Senjanya indah ya," ujarnya tak mempedulikan kejudesanku. Aku menggeser agak menjauh dengan gerak tubuh yang tentu bisa mudah dibacanya ia menggangguku.

Rupanya ia bukan orang yang mudah diancam. Ia malah melempar sejumput pasir ke kakiku. Dengan kesal aku segera berdiri meninggalkannya tanpa menoleh lagi. Memilih tempat di hamparan pasir untuk menatap senjaku. Aku mengibaskan rambutku seolah mengibas kehadirannya yang tadi telah menggangguku.

Matahari yang tadi bersinar keperakan kini mulai memerah. Kali ini aku bersungguh sungguh menyaksikan batas antara senja dan malam. Tak kan kubiarkan mataku berkedip, karena biasanya begitu cepat peralihannya. Tak pernah sekalipun aku dapat menangkap peristiwa itu.

"Mataharinya gagah." Aku terlonjak, kaget, menengok ke belakang. Dia telah duduk tepat di belakangku entah sejak kapan. Kemudian beringsut tanpa merasa bersalah menjejeriku. Ia membawa kamera dan mengabadikan matahari.

"Suka lihat matahari terbenam?" tak putus asa membuka percakapan denganku. Aku yang putus asa, dan akhirnya menatapnya. Dia sengaja melihat ke depan, sehingga aku dapat mempelajari profilnya. Sepertinya dia baik, bukan tipe penjahat. Lagipula jauh di sebelah sana masih cukup ramai. Jadi kalau ada apa apa aku akan berteriak orang orang pasti akan menolongku.

"Tak usah berpikir macam macam. Aku baik," katanya. Aku kesal karena dia dapat membaca pikiranku. Kemudian kami terdiam.

"Kamu tersenyum. Mataharinya gagah ya," terdengar suaranya.

"Jangan terkejut begitu," ujarnya tertawa. Ya, aku memang terkejut karena sejenak aku tenggelam dalam lamunan tentang senjaku. Aku diam saja.

"Tadi pikir apa?" tanyanya ringan.

"Yang pasti bukan pikir kamu," kataku kesal.

"Terus pikir apa," tanyanya tanpa ada nada selidik.

"Bisa diam," kataku dengan nada sangat sopan.

"Bisa, tapi jawab dulu tadi kamu pikirkan apa," tanyanya sambil menyiram pasir ke kakiku.

Aku diam saja. Apa yang ada dalam pikiranku bukan untuk diumbar apalagi kepada dia yang entah siapa.

Bulatan merah matahari itu sudah tepat di tepi horison. Aku menahan nafas.

"Gagah ya," kembali terdengar suaranya

Aku kesal dan menendang kakinya. "Aw," dia berteriak kecil tapi tidak marah. Ya, itu balasan untuk siraman pasirnya ke kakiku tadi.

Aku tahu sedari tadi dia bukan menikmati matahari. Dia lebih banyak mencuri pandang kepadaku. Dan tepat ketika aku tahu dia tengah melihatku, aku menoleh kepadanya. Menaruh telunjukkau di bibir "Shusst" seperti kepada anak kecil. Dia membalasnya dengan senyum.

Sepertiga matahari terbenam ke dalam laut. Dari kejauhan masih terdengar suara suara menjerit teriakan mengagumi keindahan yang ada. Cahayanya memutih membias tepat di hadapan sang pemberi cahaya. Seperti jalan membelah menuju kepadanya.

Aku tahu dia tidak memotret matahari. Dia malah beberapa kali memotretku dengan sudut yang sama. Setiap kali terasa dia akan membidikkan kameranya ke arahku, aku membuang pandang ke arah berbeda. Biar saja rambutku yang dipotretnya. Ya, ada mungkin beberapa kali dia berhasil mengambil profilku. Tadi kusempat perhatikan kameranya masih baru. Mudah mudahan hasilnya gelap semua. Tapi tak urung aku memeriksa bajuku tetap rapi. Paling leherku yang nampak jika angin meniupnya ke belakang.

Karena sibuk berkonsentrasi menghindari dari bidik kameranya. Tak terasa matahari tergelincir cepat. Menghilang walau merahnya tetap membias. Heran, aku tidak kecewa.

"Besok kesini lagi?" tiba tiba ia bertanya yang membuatku terkejut. "Sudah empat kali senja, dan ini yang ke lima," katanya yang membuatku terkejut. Dia memperhatikan aku. Aku merasa jengah. Bagaimana ia bisa tahu.

"Besok kesini lagi," tanyanya kali ini dengan nada menuntut ingin tahu.

Aku tak ingin menatapnya. Aku tetap memandang jauh hingga warna merah itu memudar dan menghilang. Senjaku telah berlalu. Hari telah masuk malam. Aku tak menghiraukannya dan berencana meninggalkan dia, maksudku, pantai ini. Aku belum berhasil lagi mendapatkan misteri batas senja dan malam.

Sebelum sempat berdiri. Dia berpindah cepat duduk dihadapanku. Menatapku sehingga aku pun menatapnya.

"Senja besok datang lagi?" tanyanya sungguh sungguh.

Aku menganggukkan kepalaku. Dia tersenyum. "Boleh aku menyaksikan bersamamu?" Kali ini aku tak terpaksa kembali mengangguk dan mengirim senyum tipis padanya.

Tiba tiba, ia meraih tanganku. Ia mengambil sejumput pasir dan menaruh di tanganku "Ini pasir senja dariku. Pegang. Simpan. Besok kembalikan," katanya tegas.

Aku menggenggam pasir itu yang sebagian mengucur di sela sela jariku. Aku berdiri dan berjalan meninggalkannya.

"Besok, di tempat ini lagi," teriaknya.

Aku menoleh dan tersenyum padanya. Kulambaikan tangan kiriku karena tangan tanganku menggenggam pasirnya. Tak terasa aku menggenggam pasirnya sungguh sungguh. Takut tertumpah.

Taxi yang kupesan itu telah menunggu.

"Langsung ke bandara," kataku. Aku meraih tasku dan dengan susah payah lengan kiriku membuka dan mencari tissue. Kutuang hati hati pasir dari genggamanku. Membungkusnya rapi dan melapisnya beberapa kali.

Aku tersentak, aku tak tahu siapa namanya.

Aku tersenyum. Bersandar nyaman, memegang tasku seolah ada yang sangat berharga disana.Aku tetap tidak tahu batas senja dan malam. Tapi ini senja termegah. Dan, entah kenapa, aku berharap suatu saat, dia akan datang menanyakan "Kau menyimpan pasir senja kita?"

Aku percaya cahaya matahari senja akan mengantarnya menemuiku kembali. Entah kenapa aku merasa itu akan terjadi.

Dia, aku dan senja. Segenggam pasir jadi saksinya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun