Aku berjalan bergegas meliwati kumpulan orang orang. Tumben, kenapa jadi ramai tempat ini. Ada apa? Bahkan beberapa polisi bertebaran. Ada apa? Aku masuk ke tempat itu hanya sekadar mencari tahu. "Ada rapat umum!" Aku berkedik bahu. Siapa peduli.
Selama ini tidak pernah kuacuhkan undangan rapat atas nama kepentingan warga itu. Rapat umum disebutnya, tapi bukan untuk kepentingan umum. Umum selalu berkepentingan ingin cari enaknya, mungkin begitu kilah mereka, sehingga panitia membuat rapat atas nama umum untuk kepentingan mereka. Ah, apa urusanku, berapatlah, apapun hasilnya aku ingin lihat seberapa jauh kompromi yang dihasilkan. Komprominya berat kemana. Walau aku sering geram karena mereka selalu menyamaratakan semua begitu saja. Seperti siapa? Hm, seperti pemimpin pemimpin itu. Mereka buat apa saja, pakai visi-misi, pakai pidato, pakai prasasti. Rakyat diharuskan terima saja.
Suasana rapat umum itu membuatku ingin cepat cepat meninggalkan tempat ini. Orang orang yang duduk-duduk, berdiri di setiap sudut, tampak tidak satupun yang merupakan warga disini. Membuatku makin merasa pengap.
Tiba tiba selagi aku berjalan kakiku terasa melemah. Aku merasakan darahku seakan surut tidak mengalir. Sempat kupikir pasti wajahku pasi. Aku berusaha tetap berjalan berharap kalaupun tumbang, ya, jangan disini. Aku melihat orang orang yang berpapasan tidak memandangku aneh. Jadi mustinya aku tidak apa apa.
Aku tak tahan, apa yang terjadi denganku. Aku tidak keringat dingin. Aku tidak pusing. Aku tidak mual. Tapi aku merasa tertarik gravitasi bumi. Aku merasa akan jatuh. Aku belum pernah merasakan pingsan.
Aku masih bisa berpikir baik. Aku tetap berjalan, bahkan bergegas. Tidak ada orang mau pingsan masih bisa berjalan segegas aku. Aku tahu di kelokan itu ada kursi taman. Aku bersyukur kursi itu kosong. Aku segera duduk menenangkan diri.
Aku tidak berkunang kunang. Aku tidak keringat dingin. Aku tidak pusing dan mual. Tapi aku hanya tidak mampu melanjutkan jalanku karena pikirku aku akan jatuh. Ayolah tinggal sedikit lagi, berjalanlah, kalaupun mau pingsan di rumah saja, aman, tidak mengganggu orang orang. Orang berlalu lalang mereka melihatku dengan pandangan biasa biasa saja, ya, mungkin mereka melihatku hanya sebagai seseorang yang sedang duduk duduk menikmati ujung siang.
Aku mencoba berjalan lagi. Belum juga dua puluh langkah. Kembali aku merasa akan jatuh. Kali ini kupanggil Tuhan. Karena bukan hanya seperti mau pingsan tapi aku serasa sempat berhadapan dengan ambang batas kehidupan. Aku tahu di kelokan itu tersedia kursi taman lagi yang kebetulan juga kosong. Aku duduk. Aku bingung. Aku sempatkan bercakap dengan Tuhan. Aku berkata padanya, sebetulnya, bisa jadi ini akhir yang manis, tidak merasa apa apa, selain kebingungan sangat karena yang teringin terjadi sekadar jatuh menggeletak.
Akhirnya, entah bisikan dari mana, aku mencoba muntah. Memuntahkan apa yang ada di perutku, di dadaku. Aku muntah, yang keluar hanya liurku terpaksa. Aku mengawasi liurku, putih menggumpal berbola udara. Tak peduli, aku muntah saja, walau tahu tidak akan ada yang keluar selain cairan putih. Tapi aku lega. Beberapa yang lalu lalang tidak juga memandangku aneh.
Seseorang membantuku menuju rumah. Dengan agak bingung dia membiarkan tangannya kupegang. Dia berkata basa basi sesopannya bahwa mungkin aku masuk angin. Aku segera mengangguk. Aku memilih bersetuju dengannya hanya supaya tidak ada diagnosa diagnosa lain. Seandainya saja dia asal ceplos mengatakan mungkin aku sedang hamil, mungkin aku akan mengakak, sembuh seketika. Tidak mungkin saja.
Sesampai di rumah, aku berpikir akan pingsan. Pingsanlah baik baik di rumah. Ternyata tidak, malah aku mendapatkan diriku baik baik saja. Sementara aku mencerna atas apa yang kualami, begitu saja menyelinap dalam pikiranku sepertinya aku mengenal orang yang ada dalam kesaksian yang baru kulihat.
Wajah itu kembali membayang. Samar, tapi mirip dengan yang baru saja kusaksikan.
Aku suka sejarah. Aku suka mempelajarinya. Aku bangga akan sejarah. Itu semua harus terjadi demi kebenaran ditegakkan. Jika kemudian timbul penafsiran berbeda. Itu soal lain. Soal nanti.
Aku ingat dia ada dalam rombongan. Ada beberapa orang bule. Aku semangat menceritakan peristiwa itu seolah aku ada di dalamnya. Aku ingat dia mendekati dan bertanya padaku: "Kamu percaya dengan ini semua?" Aku mengangguk kuat, bangga.Paling tidak itu yang aku pelajari di bangku sekolah dan dari referensi yang ada.
"Ah, kamu masih terlalu muda," keluhnya. "Kamu percaya?" ulangnya seakan menguji keteguhan anggukan kepalaku.
Aku jadi tertarik kenapa dia mengatakan begitu. Dia berusaha meyakinkanku bahwa yang terjadi tidak seperti yang kutahu, yang dengan bangga kuceritakan. Aku kesal dan jadi mendesak dia menjelaskan apa maksudnya meragukan itu semua. Dia dapat merasakan kekesalanku. "Nanti, nanti, kamu juga akan tahu." Aku tidak mendesaknya lebih jauh, aku memutuskan dia mungkin hanya salah seorang yang kecewa. Atau, atau sebetulnya dia salah satu korban yang harus terpaksa berganti identitas.
Aku sempat menanyakan kenapa dia ikut dalam rombongan ini. Bukan rombongan, kelompok kecil saja, hanya beberapa orang. Dia salah satunya. Sedari tadi aku juga bertanya tanya dalam hati, ngapain si tampang melayu yang tidak tampak sedang iseng liburan ikut dalam rombongan yang menapaktilasi sejarah hitam negeri ini. Untuk apa? Sekadar untuk meragukan pengetahuanku tentang sejarah? Kurang ajar.
Aku tidak melupakan apa yang disampaikan si tampang melayu itu. Ya, banyak desas desus dan lembar resmi yang kubaca juga kemudian. Tapi aku juga yang bersikeras bahwa itu harus terjadi karena membela kebenaran. Bukankah orang harus memilih.
Ingatanku itu mendorongku mengulangi lagi menyaksikan kesaksian itu. Aku perhatikan sungguh sungguh. Ya, Tuhan, aku memang tidak begitu yakin. Tapi dari gayanya berbicara mengingatkanku pada seseorang yang pernah mengatakan bahwa suatu saat aku akan tahu yang sebenarnya terjadi.
Aku jadi berpikir bahwa jika benar itu dia, yang kupikir ya, apakah mungkin dia ada dalam rombongan itu karena dia tengah membenahi suara hatinya. Ia agak terganggu ketika aku dengan bangga bercerita bahwa semua ini harus terjadi karena suatu kebenaran harus dimenangkan. Dan, pihak 'mereka'lah yang kejam.
Aku tergugu melihat dia, kurasa memang dia, mengatakan bahwa bukan mereka yang kejam, pihak kita yang kejam. Benarkah begitu? Apakah dia memang pernah sekejam itu? Apa yang ada dalam pikirannya ketika dia tanpa hati melakukan demi sesuatu yang dikatakan benar.
Aku tiba tiba muntah. Muntah di ruang tamuku sendiri. Aku tidak peduli. Aku semuntah-muntahnya. Yang keluar lagi lagi hanya cairan lendir putih. Itu saja. Aku mengelap mulutku yang penuh liur. Mengelap mataku yang berair. Aku melonjorkan kakiku di sofa. Aku biarkan muntahku yang sedikit itu tetap di lantai. Nanti saja kubersihkan.
Tiba tiba aku ingin muntah lagi. Aku hampir yakin pernah bertemu dengan salah satu jagal itu. Wajahnya sungguh bukan wajah seorang jagal. Wajahnya biasa biasa saja.
Inikah saatnya? Sebagaimana yang pernah dijanjikannya padaku waktu itu? Dia tampak sangat sadar dan tidak peduli akan dampak kesaksiannya. Tanpa merasa bersalah, dia dan temannya bercerita tentang pembunuhan yang mereka lakukan. Walau dia mengatakan tidak menyesal karena menurutnya dilakukannya atas permintaan 'negara', aku yakin dia dan temannya menceritakan peristiwa yang terjadi hampir 50 tahun yang lalu sebagai pengobatan batin, membersihkan nurani di usia senja mereka. "Ini harus berani diungkap," kata dia. Demi keadilan sejarah?
Dia pembunuh.
Bukankah aku juga.
Aku muntah.