Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Pengamen-Pengamen Tangguh (Atau Ngeyel..?)

8 Maret 2015   08:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:00 41 3
Sore hari, seperti biasa, aku menidurkan anakku dalam gendongan. Hampir setengah jam kemudian bayi mungilku tertidur. Rencananya aku akan segera membaringkannya di tempat tidur setelah benar-benar nyenyak. Tapi niatku kutunda karena terdengar suara kencang serombongan pengamen dari ujung gang. Sebentar lagi pasti lewat di depan rumah.

Pintu rumah segera kututup. Berharap rombongan pengamen itu tidak mampir dan membangunkan anakku yang baru saja tertidur.

Tapi aku salah.

Sebentar kemudian suara gitar dan kendang nyaring menimpali suara penyanyinya yang asal-asalan. Aku diam saja. Menunggu pengamen itu sadar bahwa pintu rumahku tertutup dan segera pergi.

Tapi lagi-lagi aku salah.

Entah karena sudah terlanjur jadi langganan ngamen, atau karena alasan lain, rombongan pengamen yang terdiri dari 3 anak muda itu tetap bertahan. Terus menyanyi dengan semangat membara.

Tiga menit berlalu. Akhirnya aku menyerah . Mengambil uang recehan dengan muka tertekuk. Membuka pintu dengan setengah dongkol. Mengulurkan uang receh sambil bilang "Sttttt....," sambil menunjuk anakku yang tertidur... tanpa senyum.

Anak-anak muda itu menghentikan lagunya, mengambil uang yang kuulurkan tanpa suara, dan bergegas pergi sambil nyengir kuda.

Aku kembali masuk rumah dengan masih menyimpan kesal. Dan sepertinya, aku tak akan mendapat nilai sodaqoh dari uang recehan itu. Mana mau malaikat Rokib mencatat amalan yang sama sekali tak dilandasi rasa ikhlas?

Hemmm...

Peristiwa serupa tapi tak sama pernah juga kualami tahun 2003.

Saat itu keluarga kecilku baru hijrah dari Denpasar untuk memulai sebuah usaha di kota ini. Masih 'babat alas' orang Jawa bilang. Ibarat baru menanam pohon, kami masih sangat prihatin dan mengeluarkan semua yang kami punya untuk memupuknya. Sementara hasilnya masih sangat jauh dari yang kami harapkan.

Pagi itu, aku benar-benar sedang trenyuh karena hanya bisa membekali putri sulung kami yang baru duduk di kelas 2 SD dengan sebotol air putih. Kami benar-benar kehabisan uang hingga tak bisa memberinya uang jajan. Untung putri kecil kami mau mengerti dan tetap bersemangat pergi sekolah.

Jam tujuh lebih sedikit. Seorang pengamen (yang memang sudah biasa lewat di depan rumah kontrakan) melakukan aksinya. Memainkan alat musik kotak kayunya.
Aku buru-buru keluar dan bilang "Libur, Mas. Lain kali aja."
Tapi seolah tak mendengar, si mas pengamen terus saja beraksi. Untuk kedua kalinya aku bilang libur.
"Kasih berapa aja, Bu... Buat penglaris, " katanya disela-sela bunyi musik yang terus dimainkan.
"Tapi saya ndak punya uang, Mas, " sahutku.
Si mas pengamen tetap membandel. Aku benar-benar bingung.

Akhirnya aku masuk rumah kontrakan untuk mencari uang receh yang mungkin jatuh atau terselip di bufet ruang tamu.
Setelah beberapa saat menggeser meja dan kursi-kursi, akhirnya aku menemukan uang 50 rupiah di bawah meja telpon.

Cepat-cepat aku keluar.
"Cuma ada ini, Mas," kataku sambil mengacungkan uang logam 50 rupiah tadi.
"Gak apa-apa, Bu," kata si mas pengamen.
Aku mengulurkan uang itu sambil tersenyum kecut.
Mentertawakan kengenesan kami. Karena mungkin penghasilan si mas pengamen saat itu jauh lebih besar dari penghasilan kami.

Entah ada manfaatnya atau tidak ceritaku di atas, entah ada hubungannya atau tidak ceritaku itu dengan sebuah pepatah, yang jelas aku hanya ingin mengingatkan diri sendiri.
Bahwa tangan di atas masih tetap lebih mulia daripada tangan di bawah.
Walau mungkin kita lebih tak punya dari orang yang kita beri.

Karena saat sampai saat ini, aku masih sering bertemu mas pengamen itu persis seperti 12 tahun lalu. Dengan topi lusuh dan sebuah kotak musik dari kayu.

Sedangkan aku, Alhamdulillah sudah tidak lagi tersenyum kecut seperti di tahun 2003 bila memberi si mas pengamen itu sedikit rezeki.

Salam...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun