Lelaki itu menggenggam sisa gerimis. Hujan yang baru saja meninggalkannya sendiri di bawah serindang pohon, menitipkan gigil di baris-baris giginya yang gemeretak. Kesibukan mulai menggeliat kembali. Anak-anak sekolah yang sedari tadi berteduh, beramai-ramai menapaki jalanan becek, mencipta noda pada sepatu kanvas hitam putih mereka. Lembar-lembar payung sudah dikuncupkan. Beberapa pedagang kaki lima bersiap menjajakan kembali barang dagangan. Badut-badut yang biasa berkeliling di taman kota ini mulai bermunculan. Burung-burung kecil bercericit sembari mengibaskan bulu-bulu mereka, tepat di atas kepala Paundra, lelaki di bawah serindang pohon. Kali ini Paundra begitu membenci hujan. Sebab hujan membuatnya terkenang pada Rana. Begitu nyata dirasakannya tautan kelingking mungil gadis itu di kelingkingnya. Bahkan ia masih bisa mendengar sayup tawa khas dari Rana. Tawa renyah dan mata bulatnya yang teduh, membuat Paundra merasa menjadi lelaki paling beruntung di semesta.
KEMBALI KE ARTIKEL