21 Juli 2014 11:14Diperbarui: 4 April 2017 17:3915580
Terjebak diantara kesunyian dan hasrat metropolitan.Saya mulai nyaman, dengan kehidupan para nelayan.Hidup dengan pertaruhan alam.Demi kebutuhan sandang dan papan.Anak-anak mesti sekolah, mesti sorenya mencari kerang.Diantara ganas ombak yang garang.Kehidupan seperti bola berputar kencang kearah gawang.Demi esok hari, diatas meja terdapat daun bawang.Diujung dermaga beratap bintang,Musim timur segeralah pulang...¬ Namrole, 27 Juni 2014, 22.40 WIT Hari masih pagi, ketika itu dibangsal penumpang KM. Elizabeth 2 yang semalam lepas dari pelabuhan Ambon, Maluku.Ombak di musim timur sukses membuatku mabuk laut, perjalanan 12 jam menuju pulau Buru cukup mengguncang manusia-manusia dalam besi mengapung itu. Ketika menyapa mentari, sudah nampak pula daratan pulau tujuan, tepatnya di selat antara pulau Buru dan Ambalao. Awan mendung yang seolah mengatapi deretan pulau Buru dengan pegunungannya cadas, tempat dimana ribuan orang diasingkan di era orde baru, yang katanya terlibat dalam gerakan komunis terlarang di jamannya.Sekilas nampak terdengar menyeramkan, apalagi mengingat tragedi kerusuhan di hampir seluruh penjuru Maluku beberapa tahun silam. Tapi cerita itu hanyalah alamat masa lalu, kini Maluku terus berbenah, dengan potensi wisata yang luar biasa, pembangunan infrastruktur, perbaikan kualitas pendidikan, merevitalisasi potensi mata pencaharian penduduk atau bukankah Maluku adalah pintu gerbang strategis rempah-rempah dunia di masa yang lalu?
Jixie mencari berita yang dekat dengan preferensi dan pilihan Anda. Kumpulan berita tersebut disajikan sebagai berita pilihan yang lebih sesuai dengan minat Anda.