Minggu ini, ada selaras wacana yang senantiasa diulang-ulang. Ada fenomena mutlak yang selalu menjadi dambaan segenap Umat Islam. Hari besar yang hanya terjadi setahun sekali, setiap tanggal 1 dan 2 Syawwal. Dia hadir setelah ujian iman setelah sebulan, ia hadir sebagai pengingat bahwa sejatinya segenap umat manusia ini lahir di dalam keadaan yang fitrah, suci, dan beragama tauhid yang hanif. Di hari itu justru puasa diharamkan. Fakir dan Miskin yang seyogyanya tidak punya makanan wajib diberikah hak sebagai bagian dari hari bahagia. Itulah; ‘Id Mubarak. ‘Id al-fitri. Di kalangan masyarakat Indonesia, hari agung ini biasa dikenal dengan Idul Fitri.
Namun biarkanlah itu tetap menjadi wacana yang kita kaji sekarang. Karena toh –sekali lagi- kita coba tekankan di sini, bahwa Idul Fitri adalah sebuah fenonena yang senantiasa terjadwal, ia merupakan kegiatan yang terjadi berulang-ulang. Dia merupakan hari yang tak hidup dan statis. Ia hanyalah hari. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah sejauh mana Umat Islam mampu memaknai kembali makna fitrah? Seluas mana Umat Islam memahami sebuah esensi dari fitrah?
Biarkan femonena berkata. Toh realitas sendiri menunjukkan bahwa mayoritas Umat Islam masih terperangkap dalam istilah. Mungkin tidak secara teori, namun positif secara aplikasi. Sudah tahu, namun acapkali lalai, khilaf, dan –anehnya- selalu terulang setiap tahunnya. Masih ada kesan bahwa ‘fitrah’ di sini hanya terbatas pada renewal fashion, hanya terbatas pada silaturahim, hanya terbatas pada situasi kemenangan setelah sebulan penuh berlatih melawan hawa nafsu. Sehingga banyak yang terjebak di bahkan minggu-minggu pertama usai Ramadhan menganggap bahwa itulah momen kebebasan. Di sini, apakah betul yang seperti itu? Pemahaman manusia sebagai Hamba Tuhan terhadap mungkin bisa jadi sabab-musabab, namun itu bukan layak menjadi alasan untuk kita hingga kebiasaan ini terulang setiap tahun.
Mari kita coba lacak dari terma ‘tattaqun’ yang ada di firman Allah dalam surat Al-Baqarah 183:‘Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.’
La’allakum Tattaqun (agar kamu bertaqwa), di dalam Al-Itqan Fii ‘Ulum al-Qur’an karya al-Imam As Suyuthi dijabarkan sebagaimana berikut; Kata la’alla dalam Al Qur’an memiliki beberapa makna, diantaranya ta’lil (alasan) dan tarajji ‘indal mukhathab (harapan dari sisi orang diajak bicara). Dengan makna ta’lil, dapat kita artikan bahwa alasan diwajibkannya puasa adalah agar orang yang berpuasa mencapai derajat taqwa. Dengan makna tarajji, dapat kita artikan bahwa orang yang berpuasa berharap dengan perantaraan puasanya ia dapat menjadi orang yang bertaqwa. Tafsir ini kemudian diperluas oleh Imam Al Baghawi di dalam Ma’alim At Tanziil, 1/196 dengan penjelasannya: “Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertaqwa karena sebab puasa. Karena puasa adalah wasilah menuju taqwa. Sebab puasa dapat menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat.”
Makna Tattaqun inilah yang kemudian kita coba kaitkan lagi dengan perspektif semantik bahasa. Tattaqun adalah sebuah terma yang secara qawa’id nahwiyyah termasuk dalam golongan fi’il mudhari’. Fi’il mudhari’ adalah bentuk kata kerja (verb) yang secara esensial mengandung makna bahwa pekerjaan itu (fi’il) berada di dimensi zaman al-hadhir (masa ini/now) dan zaman mustaqbal (masa mendatang/future).
Pertanyaannya sekarang, apakah yang dimaksud dengan taqwa tersebut? Taqwa berasal dari fi’il ittaqa-yattaqi, yang artinya berhati-hati, waspada, takut. Secara istilah bertaqwa bermaknakan ‘waspada dan takut terjerumus dalam maksiat.’ Taqwayang bermaknakan ini diberikan oleh Hasan Al-Bashri. Pendapat lain kita coba dengarkan dari Dzun Nun al-Mishri. Sufi yang memperkenalkan pengetahuan sufistik (ma’rifah shufiyyah) ini mendefinisikan Taqwa dengan: ‘Orang yang tidak mengotori jiwa secara lahir dengan suatu hal-hal yang bertentangan dan tidak mengotori jiwa batin dengan interaksi sosial di dalam kondisi demikian, seseorang itu akan mampu mengenal Tuhan.’ Taqwa yang seperti inilah yang tentunya tidak hanya terbatas dimensi waktu. Namun justru menjadi aplikasi kegiatan setiap harinya.
Singkatnya, secara definitif, makna ‘Taqwa’ yang diharapkan di sini adalah sebuah sifat yang dengannya diperlakukan oleh manusia tidak hanya untuk masa-masa pasca puasa Ramadhan, namun hingga akhir zaman. Ia adalah sebuah proses yang senantiasa beriman hingga nanti pertemuan dengan Allah SWT. Maka tidak pantaslah bagi kita yang sudah merasa khatam berpuasa untuk kemudian terperangkap dalam kondisi yang sekiranya tidak berada dalam koridor taqwa tersebut.
Inilah yang mungkin menjadi fenomena yang acapkali teralpakan. Di hari ‘Id al-Fitri, evaluasi besar terhadap standar taqwa di diri kita patut dilakukan. Apakah setelah puasa saya justru merasa ‘biasa-biasa’ saja? Atau mengalami perkembangan? Jika termasuk yang kedua, maka bersyukurlah!
Ketika ada istilah bahwa iman dan taqwa senantiasa bertambah dan berkurang, Ramadhan adalah momentum yang sangat tepat untuk meng-upgrade itu, ketika sementara di luar Ramadhan banyak sekali gangguan dari luar maupun dalam. Di Ramadhan, itu merupakan kesempatan besar. Tidak heran Allah SWT menjanjikan ganjaran sebanya dua kali lipat untuk ‘amal hasanat sebagai motivasi.
Taqwa itu mestinya kemudian dijaga, di-renewal, diperbaharui kembali. Rupa berupa tampang dan fashion, kata Rasul hanyalah pembungkus. Namun yang paling dilihat Tuhan hanyalah taqwa di dalam hati (H.R. Muslim).
Semoga di ‘Id Fitri tahun ini bisa menjadi saat-saat momentum bagi kita untuk memaknai apa arti taqwa sebenarnya. Tidak hanya untuk saat ini, namun hingga juga nanti. Wallahu A’lam.
Denpasar, 30 Ramadhan 1434/ 7 Agustus 2013