Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Mengkritisi Balance Scorecard-nya Robert Kaplan

2 Maret 2012   15:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:36 2320 0

Oleh : Mathiyas Thaib

CEO Alomet and Friend

Akhirnya Prof. Robert S. Kaplan menjejakkan kakinya di Jakarta. Bagi publik pembelajar dan pengguna pengetahuan manajemen strategi di tanah air, kedatangan pencetus gagasan dan pengetahuan sekaligus guru balanced scorecard pada tahun 1990-an ini tergolong istimewa. Sebelumnya, karena pelbagai alasan terutama umurnya yang sudah agak lanjut, Kaplan selalu menolak bertandang ke Indonesia.

Kaplan adalah Profesor Emeritus Universitas Harvard. Namun almamater utamanya adalah Massachusetts Institute Technology (MIT). Ia merampungkan pendidikan S1 dan S2-nya di bidang electrical engineering di MIT. Sementara gelar doktor di bidang Operation Research disandangnya dari Cornell University.

Riwayat keilmuan ini dinyatakan secara jelas pada sesi awal pembelajarannya. Penjelasan ini menjadi sangat penting bagi publik pembelajar di Indonesia yang mengadopsi dan menggunakan balanced scorecard. Penjelasan ini telah menggunting penyimpangan (bias) yang terjadi selama ini, bahwa Kaplan adalah seorang guru besar di bidang akuntansi dan keuangan.

Sejatinya Kaplan adalah seorang insinyur ahli di bidang akuntansi biaya (Cost Accounting). Sebelum bukunya yang terlaris Balanced Scorecard terbit, banyak buku-bukunya yang membahas tentang biaya perusahaan seperti Cost and Effect dan Time based Activity Based Costing.

Kedatangan Kaplan kali ini khusus untuk memberikan pembelajaran tentang manajemen strategi dalam seminar bertajuk “Using Strategy Map and Scorecard for Effective Strategy Execution”. Menelisik judulnya, tergambar upaya Kaplan untuk menyampaikan framework dan konsep berpikirnya yang telah termaktub dalam 5 bukunya yang mendunia, yakni Balanced Scorecard, Strategy Map, Strategy Focused Organization, Alignment, dan yang terakhir Execution Strategy.

Melalui kelima buku ini Kaplan ingin meyakinkan dunia bahwa merancang, merencanakan dan menilai sebuah perusahaan harus melihat semua aspek penting perusahaan terutama seluruh aspek penting yang diinginkan setiap pemangku kepentingannya, dan bukan hanya kepada investor atau pemegang saham semata. Selain pemegang saham, pemangku kepentingan lainnya adalah karyawan perusahaan, pelanggan, dan mitra kerja. Kemudian setiap strategi perusahaan harus terhubungkan dengan kegiatan operasional perusahaan yang dapat dieksekusi, dimonitor dan dievaluasi secara efektif.

Selanjutnya, dalam pembelajarannya kali ini, sangat terlihat Kaplan mencoba menekankan pemaparannya pada tiga pokok pikiran, yaitu peta strategi (strategy map), balanced scorecard dan cara menurunkannya (cascading).

Persoalan apapun yang muncul di perusahaan selalu dijawab dengan tiga pokok pikiran tersebut. Akibatnya ada beberapa jawaban yang terlontar atas pertanyaan beberapa peserta seminar menjadi tidak jelas. Contohnya ketika Kaplan dihadapkan pada pertanyaan, “bagaimana cara menurunkan personal scorecard dari balanced scorecard?” atau “bagaimana caranya menggunakan balanced scorecard untuk pengelolaan risiko di sebuah perusahaan?”.

Kesenjangan Pengetahuan

Ada beberapa catatan dari ceramah, buku dan pemikiran Kaplan dalam pendayagunaan dan penerapan balanced scorecard di perusahaan, yang perlu dipahami para pembelajar atau pengguna balance scorecard antara lain:

Semua konsep dan model manajemen yang diciptakan Kaplan adalah bersifat kerangka kerja (framework) yang utuh pada level strategi (level1).

Kaplan banyak mengutip rantai nilai (value chain)-nya Michael Porter dan proses bisnis (business process)-nya Michael Hammer. Rantai nilai dan proses bisnis adalah konsep proses kerja (work process) yang utuh pada level operasional (Level 2…dst)..

Sayangnya Kaplan tidak pernah menjelaskan secara rinci pengetahuan, pemahaman dan pendayagunaan rantai nilai, proses bisnis dan struktur kerja. Padahal alat-alat manajemen (management tools) tersebut sangat perlu dipahami dalam merancang internal proses bisnis dan program inisiatif yang merupakan jabaran lebih lanjut dari balanced scorecard, bila ingin workable.

Sebetulnya hanya dengan pengetahuan dan pendayagunaan alat manajemen rantai nilai (value chain), proses bisnis (business process) dan struktur kerja (work structure) pada level operasional, kerangka kerja strategi (strategy frame work) balanced scorecard dan strategic map, dapat terhubungkan secara utuh dengan mekanisme dan proses kerja sehari-hari karyawan di perusahaan. Sehingga kebutuhan karyawan dan pimpinan perusahaan agar target kinerja perusahaan dapat tercapai dan terlaksana dengan baik.

Berdasar hal-hal di atas maka pemahaman tentang kerangka kerja (framework) berbasis balanced scorecard dan strategy map, proses kerja (work process) berbasis rantai nilai dan proses bisnis, serta struktur kerja (work structure) untuk aktivitas kerja sehari-sehari sangat perlu dipahami oleh para pembelajar dan pengguna pengetahuan manajemen strategi, terutama bagi penggemar balanced scorecard.

Mengapa kesenjangan ini bisa terjadi ? Barangkali Kaplan beranggapan bahwa para peminat ilmunya sudah memahami alat-alat manajemen pada level operasional tersebut, sehingga tidak diperlukan penjelasan dan penjabaran lebih jauh. Di lain pihak para peminat ilmu Kaplan beranggapan bahwa cukup dengan balanced scorecard, strategy map dan cascading seluruh persoalan kinerja perusahaan dapat dipecahkan.

Kesenjangan ini menyebabkan terjadinya banyak penyimpangan dalam pendayagunaan balanced scorecard dengan istilah cascading-nya. Sebagai contoh, saat ini banyak digunakan istilah KPI individu atau Sasaran Kinerja Individu (SKI), ataupun personal scorecard dengan indikator 4 perspektif.

Dalam prakteknya tidak mungkin seseorang karyawan pada level operasional dipaksa memiliki indikator kinerja layaknya seorang direktur dengan berbagai perspektif. Mustahil seorang supervisor atau karyawan di lantai pabrik dihitung kinerjanya berbasis perspektif keuangan. Hal ini terlalu mengada-ada. Seorang karyawan, baik yang di lantai pabrik atau seorang perawat yang bertugas di kamar operasi rumah sakit, tidak mungkin memikirkan soal-soal keuangan sebagai indikator keberhasilan yang akan dievaluasi.

Sayangnya Kaplan ketika menjawab pertanyaan seorang peserta, yang menyangkut istilah personal scorecard, tetap mempertahankan konsep cascading-nya.

Jawaban yang sama tidak jelasnya, kembali terjadi ketika Kaplan menjawab pertanyaan “bagaimana caranya memanfaatkan balanced scorecard untuk risk management”. Khusus untuk pertanyaan ini, ia sempat bergurau bahwa pertanyaan tersebut akan dijawab pada kedatangan berikutnya.

Semua hal ini cukup dapat dipahami. Memang dalam buku-buku ataupun ceramahnya Kaplan tidak banyak menyinggung soal bagaimana menjabarkan dan merancang proses kerja untuk level operasional.

Work Break Down Structure (WBS) adalah metoda klasik yang menjadi dasar pengetahuan manajemen proyek (project management) yang sudah sangat dikenal. Alat manajemen ini sangat berguna ketika kita ingin mengetahui apa dan siapa pelaksana sebuah aktifitas atau proses kerja. Konsep inilah yang seharusnya digunakan ketika kita hendak membedah perspektif internal proses, dan bukannya sebatas mengandalkan pemahaman cascading yang banyak dilakukan oleh pengguna balanced scorecard di tanah air.

Hal ini pulalah yang menyebabkan istilah KPI individu atau personal scorecard menjadi polemik yang tak kunjung tuntas.

Strategi, Operasional dan Arsitektur bisnis

Walaupun begitu, bagaimanapun kedatangan Kaplan ke Jakarta adalah sebuah event penting dan sangat berharga. Banyak penulis maupun publik pengguna dan penggemar ilmunya dapat mendengarkan langsung penjelasan tentang teori dan pengalamannya selaku guru besar global.

Beberapa pelajaran yang dapat kita petik dari ceramah Kaplan antara lain:

Balanced Scorecard adalah sebuah kerangka kerja strategi (strategy frame work) global yang telah banyak diserap oleh perusahaan-perusahaan di manca negara pada saat ini untuk dapat memenangkan persaingan yang berkelanjutan. Namun dalam pendayagunaan balanced scorecard di level operasional harus dikombinasikan dengan pemahaman dan pengetahuan manajemen lain terutama rantai nilai, proses bisnis dan struktur kerja.

Untuk mendapatkan hubungan keterkaitan antara kegiatan dan kinerja karyawan di level operasional dengan tujuan akhir perusahaan yang tercermin dengan KPI perusahaan, tidak cukup hanya dengan mengandalkan metodologi cascading seperti yang diungkapkan Kaplan. Publik pengguna balanced scorecard juga perlu memahami dan mengetahui lebih jauh tentang rantai nilai (value chain) Porter dan proses bisnis (business process) Prof. Michael Hammer serta rincian dalam bentuk work break down structure.

Masalah rantai nilai, proses bisnis dan struktur kerja tergambarkan dengan jelas dalam beberapa slide di hands out (paper) Kaplan yang dikutipnya dari beberapa perusahaan global seperti Volks Wagon (VW) di Brasil yang telah mengadopsi balanced scorecard sebagai framework. Tetapi Kaplan tidak mengeksplorasinya lebih jauh, mengingat keterbatasan waktu ataupun keterbatasan lainnya. Hal ini pula yang membuktikan bahwa merancang sebuah starategi perusahaan yang dapat dilaksanakan, harus mendayagunakan beberapa pengetahuan yang komprehensif dan terintegrasi.

Merancang dan merencanakan strategi perusahaan yang terhubungkan dengan kegiatan sehari-hari karyawan pada level operasional sehingga terintegrasi dengan baik, tentunya memerlukan keahlian seorang arsitek bisnis (business architect) yang memahami strategi dan operasional perusahaan.

Terakhir, tidak ada seorang professor yang sempurna ataupun ilmu pengetahuan yang utuh kecuali hanya dengan kolaborasi dan perbaikan serta penyesuaian yang terus menerus untuk kemaslahatan dan kemanfaatan masyarakat banyak.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun