Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Metode Reportase dari Jurnalis Perang Homer Bigart

5 Maret 2023   23:36 Diperbarui: 6 Maret 2023   00:02 230 6
Kali ini saya akan bercerita tentang Homer Bigart, seorang reporter The New York Times dengan gaya bicara sedikit gagap, jurnalis peliput perang handal, dan penyabet dua Hadiah Pulitzer untuk liputan perangnya. Ia bisa menjadi sumber inspirasi bagi wartawan muda yang ingin menjadi jurnalis jempolan.

Sebagai wartawan perang, Bigart memiliki metode liputan yang sedikit berbeda dari juru warta lain yang meliput bersamanya. Ia mampu mengendus sebuah fakta yang coba disembunyikan darinya, di mana wartawan lain mungkin alpa memperhatikannya. Alhasil, ia mampu membongkar kegagalan sejumlah pejabat militer yang menjadi penanggung jawab di lapangan.

Metode liputan Homer Bigart itu sangatlah sederhana: ia tidak begitu saja percaya omongan pejabat berwenang. Setiap wartawan memang harus meniru metode ini, agar tidak menjadi sekadar tukang ketik omongan narasumber di media tempatnya bekerja. Menulis ulang omongan pejabat itu pedih, jenderal!

Dalam Blur: Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi (2012), Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menulis bahwa Bigart tidak gampang menelan apapun yang didengarnya, dan tidak mengutip pernyataan seseorang mentah-mentah. "Dia memulainya dengan konsep tabula rasa," tulis dua penulis buku laris The Elements of Journalism, itu.

Bigart memulai reportasenya seperti orang bodoh yang tidak mengerti apapun, pikirannya tidak dijejali dengan asumsi-asumsi sesat, dan jika seseorang memberitahukan sesuatu maka ia akan minta ditunjukkan buktinya.

"Dia datang dengan pengetahuan sedikit tapi lantas menguak semuanya," kata William Prochnau, seperti dikutip Kovach dan Rosenstiel. Prochnau sendiri adalah seorang koresponden perang yang masih muda ketika itu, dan dia banyak belajar dari Bigart dalam hal reportase.

Bigart memang tidak lama meliput perang Vietnam, namun kehadirannya ke Saigon (kini Ho Chi Minh City) memberi pengaruh luar biasa kepada para jurnalis muda yang meliput bersamanya di Vietnam.

Bagi kalian yang sudah menonton film The Post, sebuah film yang mengisahkan upaya koran The Washington Post membocorkan Pentagon Papers ke publik Amerika, pasti ingat Neil Sheehan, sebuah nama yang begitu diperhitungkan oleh Ben Bradlee, editor The Washington Post. Bradle bahkan sampai harus mengirim wartawan magang ke kantor The New York Times untuk menelisik apa yang dikirimkan Sheehan dari Vietnam.

Sebelum The Washington Post membongkar Pentagon Papers sebenarnya The New York Times lebih dulu menulis soal perang Vietnam itu termasuk mengabarkan tentang kebohongan pemerintah mengenai perang. Penulisnya adalah Sheehan, wartawan yang belajar banyak pada Bigart.

Sekiranya The Times tidak dihukum berupa pelarangan terbit kala itu, mungkin bukan The Post melainkan The Times-lah yang bakal membongkar skandal Pentagon Papers itu. Entahlah.

Liputan Perang Vietnam
Seperti sudah disinggung di atas, Bigart tidak lama meliput di negara Ho Chi Minh, itu. Ia hanya sebulan berada di Saigon, dan Neil Sheehan selalu bersamanya. Dalam waktu empat pekan, itu Sheehan banyak mempelajari tentang metode tabula rasa atau portable ignorance (ketidaktahuan portable) Bigart. Kata Sheehan, jurnalis lain hanya mempersiapkan diri alakadarnya ketika diajak oleh militer Amerika meliput ke desa-desa.

"Sebelum kami turun ke lapangan, Homer meneliti pertanyaan yang akan diajukan ke para penasehat Amerika," katanya. Dia akan bertanya, apa yang ingin anda temukan, berapa unit di area, dari kesatuan mana. Dan, kenang Sheehan, pertanyaan Bigart itu tidak akan habis-habisnya.

Seusai meliput ke lapangan itu, dalam perjalanan pulang ke Saigon, Sheehan sempat mengeluh bahwa dua hari liputan ke desa itu sia-sia saja dan tidak ada satu pun cerita menarik. "...Demi Tuhan, Homer, kita menghabiskan dua hari berjalan melewati persawahan padi dan kita tak punya satupun cerita," Sheehan mengeluh ke Homer Bigart.

Bigart lalu memandang jurnalis muda itu dan mengatakan, "Kamu belum mengerti, ya? Mereka gagal. Program ini tak berjalan," katanya seperti dikutip Kovach dan Rosenstiel dalam Blur.

Alhasil, laporan reportase yang ditulis Bigart berbeda dengan tulisan reporter lain termasuk dari Associated Press (AP). Jika media lain memuat cerita berdasarkan pengarahan dari militer, maka Bigart menulis berdasarkan reportase lapangan. Dia membangun laporan lapis demi lapis berdasarkan kejadian yang disaksikan langsung, dipadu dengan fakta lain yang diperoleh dari para tentara yang sedang berperang.

Praktis tak ada fakta dari tangan kedua dalam laporan reportase Bigart, karena dia lebih percaya pada apa yang disaksikannya langsung alih-alih mendengar klaim pejabat militer dalam pengarahan pers. Bigart menunjukkan bukti bahwa Amerika telah kalah dalam perang Vietnam, seperti yang kini kita ketahui.

"...Itulah Homer, tak mau menerima apapun begitu saja," kenang Sheehan, jurnalis yang kemudian menjadi salah satu andalan The Times.

Apa yang dapat kita pelajari dari metode Bigart? Sebagai jurnalis, hendaknya kita tidak menelan bulat-bulat pernyataan dan omongan narasumber. Jika berkesempatan mewawancarai mereka, bersikaplah 'seolah-olah bodoh' dengan bertanya apapun. Verifikasi dan uji ucapan dia dengan fakta yang bisa kita cari dari sumber lain. Ingatlah, wartawan itu memang kerjanya mengetik dan menulis berita, tapi bukan cuma menjadi tukang ketik pejabat! []

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun