Aceh pun bahkan sudah cukup lama terkenal produktif membangun wacana. Di antara wacana-wacana yang muncul itu, sering menyentak dan mendunia. Lalu, ramai-ramai orang menoleh ke Aceh, mencari tahu, meneliti, menelisik dan mengungkap apa yang sebenarnya tersembunyi dari keunikan orang Aceh. Kalian, para pembaca, boleh saja tidak sepakat dengan kesimpulan ini dan menganggap saya terjebak pada ‘cara berpikir’ Acehsentris, selalu melebih-lebihkan (lebih tepatnya: membanggakan) Aceh, karena saya orang Aceh. Itu hak kalian, dan saya tak berhak menghukum kesimpulan kalian itu.
Cuma, saya mau tunjukkan dua contoh saja. Pertama, soal kuliner tadi. Percaya atau tidak, kuliner Aceh (dan juga kuliner di daerah mana pun), mampu membangkitkan selera makan dan decak-kagum betapa kayanya warisan kultural Aceh ini. Harian Kompas, dalam sebuah liputannya di edisi Minggu (31/03/14) menulis secara panjang lebar tentang sejarah dan citarasa kuliner Aceh, begitu juga dengan majalah TEMPO dalam edisi Kuliner Nusantara memasukkan kuliner Aceh sebagai warisan budaya yang perlu dijaga dan pelihara.
Kedua, soal pengesahan Qanun Nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Orang-orang di Jakarta pun pada heboh. Para pengamat membahasnya secara panjang lebar dan sampai pada kesimpulan bahwa Aceh tidak pernah tulus berdamai dalam kerangka NKRI. Kita yang di Aceh sampai mau muntah-darah membaca kesimpulan-kesimpulan ‘sampah’ itu karena minimnya pemahaman mereka tentang persoalan Aceh.
Itu baru dua contoh saja, bagaimana Aceh yang secara ejaan cukup singkat di lidah kita selalu mampu mencuri perhatian dunia dengan wacana yang diproduksinya. Sebagian dari wacana itu menyentak dan mengejutkan nalar kita, sebab Aceh tak pernah (benar-benar) berhenti memproduksi wacana, sekali pun di antara wacana-wacana yang muncul tersebut kerap menempatkan Aceh pada sisi tersudut: kebijakan rok di Aceh Barat, larangan ngangkang, hukum cambuk dan razia pakaian ketat, serta soal hukum rajam.
Agar tidak terlalu panjang lebar ‘basa-basi’, dalam tulisan ini saya akan mengulas tiga ‘wacana’ yang muncul di Aceh dan lalu menyentak-mendunia: GAM, Ganja, dan Giok. Ketiganya, saya yakini, tak akan pernah luput dari ingatan, terutama dari mereka-mereka yang kerap menulis dan meneliti masalah Aceh.
Gerakan Aceh Merdeka
Ingatan saya kembali ke Agustus 2002 ketika menjejakkan kaki di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, mengikuti diklat jurnalis kampus se-Indonesia di IAIN Antasari. Begitu tiba di tempat penginapan, losmen Rahmat, saya langsung disambut kalimat ‘GAM sudah datang’ oleh peserta dari daerah lain yang kebetulan duluan tiba di penginapan. Mereka sebelumnya sudah diberitahu bahwa dua peserta dari Aceh sudah tiba.
“Apa kabar GAM? Selamat datang,” sambut mereka kompak. Saya pun berbaur dengan mereka, menyalami satu per satu. Tentu saja dengan tetap melempar senyum ramah.
“Alhamdulillah, baru saja tiba. GAM baik-baik saja di Aceh,” jawab saya ramah.
Lalu, kami pun terlibat obrolan panjang-lebar, cerita-cerita tentang daerah masing-masing. Mereka tetap saja ingin tahu banyak tentang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pasalnya, waktu itu berita tentang GAM masih sering ditulis oleh media-media di Jakarta. Cerita tentang GAM masih seksi karena mereka lagi kuat-kuatnya di Aceh, apalagi berhasil memaksa pemerintah Indonesia untuk berunding dengan mereka.
Gerakan Aceh Merdeka yang diproklamirkan Teungku Hasan Muhammad di Tiropada 4 Desember 1976 itu memang berhasil menyita sebagian besar perhatian Jakarta ke Aceh. Beberapa formula penyelesaian, termasuk dengan menggelar operasi, tak pernah berhasil memadamkan api pemberontakan, seperti melalui operasi jaring merah yang berdarah-darah. Ya, sejak 1989, Pemerintah Indonesia menggelar operasi militer di Aceh, di kemudian hari dikenal dengan DOM, terutama di tiga kabupaten: Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Ketiga daerah ini masuk kategori rawan dan hitam.
Aceh pun berkubang dalam darah. Setiap hari ada yang mati ditembak, diculik atau dibunuh. Mayat dibuang di sembarang tempat. Malam-malam mencekam. Kota-kota di tiga kabupaten itu seperti kota mati. Ini tentu saja ironis. Sebagai daerah penghasil minyak dan gas dan penyumbang devisa negara, seharusnya Aceh diperlakukan secara manusiawi. Tetapi, di bawah Soekarno, dan lebih-lebih di bawah Soeharto, Aceh tak lebih anjing kurap di republik ini. Kebijakan ‘bumi-hangus’ Aceh itu berlanjut di masa Megawati dan SBY. Mengenang kisah kelam Aceh itu, yang ada hanya luka dan kebencian.
Pun begitu, GAM menjadi senjata promosi ampuh memperkenalkan Aceh ke mata dunia, sekali pun dunia tak bisa berbuat apa-apa. Aceh hanya sendirian menghadapi kejamnya mesin pembunuh yang dikirim Jakarta. Nasib orang Aceh persis seperti salah satu judul buku Pramoedya Ananta Toe, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Situasi yang sungguh kontras dibandingkan saat Tsunami meluluh-lantakkan pesisir Aceh, karena semua mata tertuju ke Aceh dan membantu.
Ganja
Aceh tak hanya terkenal dengan GAM-nya, tapi juga dengan ganja. Orang Aceh bahkan sesumbar, bahwa ganja yang ditumbuh di tanah Aceh memiliki kualitas yang jauh di atas ganja dari belahan dunia mana pun. Sekali pun punya ganja terbaik di dunia, orang Aceh jarang yang mabuk. Mereka menghisap ganja sama seperti orang menghisap rokok.
Ganja pun dipandang sebagai sumber masalah. Dalam sejumlah propaganda, pemerintah menuding GAM menggunakan ganja sebagai tambang uang (haram), terutama untuk membeli senjata. Tudingan yang sebenarnya tak semuanya salah. Sebab, sebagian senjata yang dimiliki oleh GAM memang dibeli dari hasil penjualan ganja. Senjata-senjata itu sebagiannya malah dibeli dari oknum TNI. Tapi, propaganda ‘GAM beli senjata dari uang haram’ hitam itu sengaja dibesar-besarkan untuk memperlemah dukungan orang Aceh terhadap gerakan yang ingin memerdekakan Aceh itu.
Bagi orang Aceh, tak selamanya ganja dipandang sebagai barang haram yang memabukkan. Sebab, banyak orang Aceh yang justru menggunakan ganja sebagai salah satu bumbu masakan. Daun dan biji ganja yang sudah dihaluskan sering digunakan oleh orang Aceh sebagai campuran bumbu masakan, tentu saja dengan takaran yang cukup. Bumbu halus dari ganja itu tak hanya melezatkan masakan melainkan juga mampu membuat daging empuk, sehingga nyaman dikunyah. Sampai hari ini, orang Aceh masih menggunakan ganja sebagai campuran bumbu masakan, termasuk dalam bumbu mie dan dodol. Jika sesekali sempat mencicipi kuliner Aceh dan ada rasa lezat, patut diduga kalau masakan itu ada campuran ganjanya.
Setiap mengikuti pelatihan di luar Aceh, saya selalu ditagih ganja. Mereka berpikir ganja Aceh tersedia dan dijual secara bebas. Mereka tak percaya jika saya bilang tak pernah menghisap ganja. Tapi setelah saya jelaskan panjang lebar, mereka baru percaya. Namun, tetap saja mereka menitip pesan kalau kapan-kapan berkunjung lagi agar tak lupa membawa ganja. Bahkan, kalau mereka datang ke Aceh diminta agar mencarikan ganja. Ini permintaan berat bagi saya, tapi biasa saja bagi teman-teman saya yang memang penikmat ganja.
Saya sering mendengar cerita teman, bahwa kalau ada teman mereka yang datang ke Aceh, akan disuguhkan dengan ganja. Bule sekali pun pernah dikasih ganja sampai mabuk. Anehnya, bule itu ketagihan dan selalu minta dicarikan ganja. Katanya, ganja Aceh benar-benar nikmat. Mereka pun tak akan pernah lupa dengan Aceh. Karena ganja dianggap barang haram, orang menghisap ganja secara sembunyi-sembunyi dan biasanya di tempat-tempat yang jauh dari keramaian.
Saya membayangkan, kalau ganja tak diharamkan dan dilarang seperti di Belanda atau Perancis, orang Aceh pasti akan kaya raya. Apalagi jika sampai ada gerakan “koh kayee pula ganja (tebang pohon, tanam ganja)”, pasti Aceh akan lebih makmur dari sekarang. Di Belanda dan di Perancis, saya sempat melihat orang membeli dan menghisap ganja secara bebas. Kita bisa membeli per batang yang sudah dibalut menyerupai rokok dengan harga yang terjangkau, kalau tidak salah dua batang per Euro.
Giok
Aceh sedang ‘demam’ giok. Kalau tak percaya, cobalah jalan malam-malam di Banda Aceh, kita pasti akan menjumpai penjual batu mulia itu di setiap sudut kota. Para penjual menaruhnya di badan jalan dengan penerangan seadanya. Orang-orang berkerumun. Ada yang ingin membeli, ada yang sekadar melihat-lihat. Begitulah trend yang sedang tumbuh di Aceh.
Tak hanya itu, di warung-warung kopi orang biasa menjaja dan menganalisa batu. Dari yang sekadar paham batu sampai kepala batu (pura-pura paham filosofi batu). Agar tak dianggap buta soal batu, sesekali cobalah ambil batu yang dibawa kawan dan berpura-pura saja menyenternya. Boleh pakai lampu kamera handphone atau senter di handphone nokia jadul. Kalau tidak, maka anda akan dianggap tidak gaul.
Karena lagi ‘demam’ batu, maka gaya hidup orang pun berubah. Ada yang memakai batu cincin di semua jari seperti dalam baliho Abu Usman Indocrase yang begitu mudah kita temui di lokasi pemasangan iklan. Jari tangan pun tak lagi cukup untuk memakai cincin. Mereka pasti tak berharap jari tangannya tak lagi berjumlah sepuluh, seperti jumlah normal.
Dulu, ada anekdot yang berkembang, seorang calon penumpang L300 atau bus, datang ke terminal memesan tiket. Si penjaga loket, tanpa bertanya dan menoleh ke si pemesan tiket, langsung saja menuliskan kota tujuan si calon penumpang di tiket. Dari: Banda Aceh. Tujuan: Bireuen. Ya, orang Bireuen terkenal sebagai pengguna batu cincin besar-besar di jari, jauh sebelum demam giok melanda.
Kini, demam giok tersebut bahkan menjalar hingga ke luar Aceh. Ada teman yang berpesan agar dicarikan batu giok Aceh. Ini tentu saja berat. Karena saya tak termasuk orang yang gila batu giok. Mudah-mudahan kegairahan sesaat itu tak dirampas oleh penguasa dengan melarang masyarakat menambang batu mulia dan berjualan di tempat-tempat gelap pinggiran jalan. Biarlah rakyat senang dan bahagia. Karena berharap perhatian pemerintah, yang ada hanya sakit (hati).
Note: tulisan ini sudah diposting juga di blog penulis www.sulih.com