Dalam pertimbangan MK berdasarkan sejumlah fakta hukum, calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak boleh dibatasi pemberlakuannya. Jika diberlakukan, menurut MK, akan mengakibatkan perlakuan yang tidak adil dan ketidaksamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan antara warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi Aceh dan yang bertempat tinggal di wilayah Indonesia lainnya.
Disebutkan, jika soal Calon Independen dibatasi, warga negara indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi Aceh akan menikmati hak yang lebih sedikit karena tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah secara perseorangan yang berarti tidak terdapat perlakuan yang sama di depan hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945.
Secara tegas, dalam bagian konklusi, MK menyatakan, Pasal 256 UU 11/2006 melanggar hak-hak konstitusional warga negara Indonesia/bertentangan dengan UUD 1945, kemudian dikuatkan dalam amar putusan yang menyebutkan, pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sejumlah pihak menyatakan gembira dengan keputusan MK tersebut. Fadjroel Rachman misalnya, menyebutkan sebagai kemenangan demokrasi, kemenangan kedaulatan rakyat di Indonesia. Dengan adanya keputusan tersebut, setidaknya, semua orang di Aceh memiliki hak yang sama di mata hukum untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin di Aceh. Aceh tidak akan lagi krisis pemimpin.
Kita berharap, dengan keputusan tersebut, tidak ada lagi polemik soal calon independen. Semua pihak harus menerima dengan dada yang lapang, bahwa inilah yang terbaik bagi rakyat Aceh. Bahwa, demokrasi harus tetap tegak di Aceh, meskipun sebelumnya ada upaya-upaya menggagalkan peluang calon independen bertarung dalam Pemilukada.
Kepada para politisi Partai Aceh (PA) juga seyogyanya menerima keputusan ini. Semoga tidak ada gerakan-gerakan atau upaya-upaya menghalangi keputusan MK tersebut. Yakin dan percayalah, rakyat Aceh memiliki memori yang tidak pendek, dan bisa mengenali mana saja sosok yang layak memimpin Aceh. Biarlah soal siapa yang dipilih nanti menjadi keputusan final rakyat Aceh selaku pemilik kedaulatan (suara).
Pihak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan juga Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh harus segera merumuskan hal-hal terkait keputusan MK, seperti Qanun soal pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dan Bupati/Walikota. Jika waktu terlalu sempit, tak ada salahnya menggunakan kembali perangkat hukum (Qanun) lama saat Pilkada 2006 lalu.
Ke depan, pascakeputusan tersebut, politik di Aceh akan menjadi lebih semarak. Para calon yang sebelumnya masih malu-malu menyatakan maju sebagai kandidat Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Walikota akan lebih terbuka. Apalagi, jadwal Pemilukada di Aceh akan dilakukan secara serentak pada Oktober 2011 mendatang.[]
---tulisan ini diposting juga di blog Aceh Pungo