Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy Artikel Utama

Masalah Kita: Obat Generik Harga Paten

25 Februari 2010   06:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:44 1503 0

Barangkali istilah obat paten dan obat generik ini mungkin sudah tidak asing lagi bagi masyarakat umum, namun boleh jadi masih sedikit sekali yang mengerti dan memahami defenisi paten dan generik itu sendiri. Ketika seseorang ditanya apa yang ia ketahui tentang obat generik, mungkin jawaban yang paling mudah ia berikan adalah murah, tidak bermutu, kurang manjur atau obat kaum tak mampu. Sebaliknya jika ditanya tentang obat paten, mungkin yang langsung terlintas dalam pikirannya adalah mahal, kualitas tinggi, sangat manjur atau obatnya orang-orang punya duit.. Benarkah sesungguhnya demikian ? Mari coba kita lihat.

Bahwa obat generik lebih murah dari obat “paten”, ia. Bahkan jauh lebih murah. Bahwa obat “paten” lebih mahal dari obat generik, ia. Bahkan jauh lebih mahal. Tetapi, bahwa obat generik dikatakan kurang manjur sesungguhnya tidaklah sepenuhnya benar. Bahwa obat “paten” yang selama ini dimengerti masyarakat sebagaimana yang sering disebutkan oleh oknum dokter atau oknum rumah sakit, bukanlah merupakan obat paten yang sesungguhnya paten. Melainkan sejenis obat generik juga yang sudah di beri merek, atau biasa disebut obat bermerek. Namun harga obat bermerek bisa mencapai 200 kali lipat lebih mahal dari obat generik, padahal khasiatnya kurag lebih sama. Hal ini diungkapkan oleh dr. Marius Widjajarta (Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia-YPKKI) dalam wawancara dengan sebuah stasiun radio siaran Jakarta. Menurut dr Marius, dari segi generik atau bukan, paten atau bukan, obat itu tediri dari tiga macam. Yaitu obat generik, obat bermerek dan obat paten.

Lebih lanjut dr Marius menjelaskan, bahwa obat generik adalah obat yang kandungannya adalah zat berkhasiatnya dengan nama yang sama persis dengan kandungannya. Misalnya obat yang kandungannya paracetamol, maka nama obatnya juga paracetamol. Dan harganya memang lebih murah.

Sementara obat bermerek adalah obat generik yang sudah diberik merek. Misalnya obat yang mengandung paracetamol kemudian diberik merek dagang Jayacetamona, atau ParaNex, dsb, yang kemudian di bagian bawah atau belakang kemasannya tertulis kandungan utamanya : Paracetamol. Harga obat bermerek ini lebih mahal dari obat generik, bahkan ada yang menjual sampai 200 kali lebih mahal dari harga obat generik.

Sedangkan obat paten, ialah obat (untuk penyakit tertentu) yang oleh produsennya dilakukan penelitian terlebih dahulu, kemudian melalui beberapa proses (termasuk pengujian) kemudian si produsen mematenkan obat tsb. Biasanya status paten obat tsb berlaku sampai 20 tahun, dan selama itu hanya produsen tsb yang berhak memproduksi dan memasarkan obat dimaksud. Dan setelah 20 tahun atau masa patennya habis, maka obat itu tidak lagi tergolong obat paten dan pihak lainpun dapat pula memproduksi obat yang sama. Ketika masa patennya habis, maka obat paten tsb jadi obat generic. Oleh produsen biasanya (mungkin) diberi merek, maka jadilah ia obat generik bermerek atau lebih umum disebut obat bermerek.dr Marius memberi contoh obat paten ini misalnya obat untuk HIV/AIDS, flu burung dan penyakit khusus lainnya.

Masalahnya sekarang adalah, banyaknya oknum dokter dan atau oknum rumah sakit yang memberikan resep obat (generik) bermerek, tapi kepada pasien disebutkan obat paten. Karena ingin cepat sembuh dan percaya pada si oknum, ia lah pula kata si Fulan yang sesungguhnya tidak paham. Apalagi setelah tahu harganya selangit, makin yakinlah si Fulan bahwa itu obat paten. Apalagi jika si Fulan orang yang duitnya berlebih, tak pernah ada masalah dengan harga. Yang ada malah bangga, bahwa obatnya bukan sembarangan, bhawa obatnya adalah obat paten.

Tapi jelas akan jadi masalah jika terjadi pada si Polan yang tak punya uang, jangankan untuk menebus resep, untuk ongkos ke rumah sakitpun ia harus berhutang pada tetangga. Namun apa daya, karena si oknum bilang, “kalo pengen cepat sembuh, ya obatnya harus obat paten. Lagian, pingin sembuh masak obatnya murahan…”. Dengan segala daya upaya, tentu si Polan harus menebus resep yang diberikan.

Kalau demikian, patut dipertanyakan apakah obat yang selama ini diberikan dokter atau oknum dokter kepada pasien adalah obat paten dengan pengertian diatas tadi ? Sebab (pengalaman penulis) tidak pernah ditawari dokter untuk menggunakan obat generik atau memberikan resep obat generik. Jangankan untuk menawarkan obat generik, menjelaskan obat generik itu apa dan bagaimanapun tidak ada. Jadilah selama ini penulis (sekeluarga) mengkonsumsi obat bermerek, yang katanya paten. Karena memang (Alhamdulillah) selama ini keluarga penulis belum pernah menderita penyakit khusus atau menyebabkan harus di rawat dan mengkonsumsi obat paten dalam arti sesungguhnya.

Sekarang kita tinggal membuat asumsi, berapa banyak (persentase) orang yang berduit seperti si Fulan dan berapa banyak banyak (persentase) masyarakat yang bernasib seperti si Polan. Berapa banyak pasien yang terpaksa harus membeli obat yang diatas kemampuannya, padahal semua orang berhak mendapatkan obat generik. Entah ini masalahnya pada masyarakat yang tidak tahu, tidak mau tahu atau memang (sengaja) tidak diberitahu oleh yang semestinya memberi tahu. Wallahualam.

Pertanyaan selanjutnya, kenapa ya ada (banyak) oknum dokteryang lebih suka memberikan resep obat bermerek ketimbang obat generik ?

Insya Allah dalam waktu lain kita bahas, atau jika ada kompasiner yang mau bahas lebih dahulu, silahkan monggo.

Sumber : Siaran News and Talk edisi pagi (22/02/10), Radio Elshinta FM, Jakarta.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun