Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Ide Gila [01] - Kantor Kementerian Pindah ke Daerah

4 Februari 2010   05:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:06 172 0
Terserah saja orang-orang menilai pemikiran ini biasa-biasa saja, tapi menurut saya ide ini gila.

Begini :

"Mhh..!!, Basi...!", begitulah kadang-kadang (mungkin juga sering) rekan sejawat nyeletuk jika seseorang datang tidak tepat waktu sesuai janji atau telat masuk kantor, dan kemudian mengajukan macet sebagai alasan, khususnya di kota Jakarta. Maksudnya alasan macet tak layak diajukan lagi karena jalanan macet di Jakarta sudah bukan barang aneh. Bahkan bak anomali justeru jalanan lancar dianggap aneh. "Tumben.., kok lancar ?!?", demikian kadang-kadang warga Jakarta mengomentari jalanan yang biasanya macet bukan kepalang, suatu ketika lancar entah mengapa. Orang-orang justru bertanya-tanya (merasa aneh) ketika jalanan lancar, "ada apa ya ?, kenapa sih ? Tumben, kok lancar ?!?!", dst dst.

Ilustrasi tsb ingin menggambarkan betapa sudah menahunnya masaalah macet di Jakarta. Bahkan menjadi alasan keterlambatan pun sudah tidak dapat diterima, sekalipun kenyataan macet itu sungguh-sungguh dialami si pemberi alasan.

Suatu ketika, terjadilah obrolan ringan beberapa orang warga sebuah komplek perumahan di pinggir Jakarta, sekitar 7 sampai 8 orang terlibat dalam kumpul-kumpul tsb. Berbagai isu-isu "berat" yang sedang hangat, dibahas (tepatnya diobrolin) dengan "ringan" lengkap dengan banyolan-banyolan khas warga kalau ngumpul sambil ngopi sebagai salah satu bentuk kerukunan dan kerapatan warga. Masalah macet pun tak luput dari obrolan.

"Mestinya Jakarta sudah memberlakukan batasan usia kendaraan yang diperbolehkan melintas pada jalan-jalan atau wilayah tertentu", salah seorang menyampaikan pendapatnya.

"Habis, kendaraan baru keluar terus sih. Lihat saja mobil-mobil, motor apalagi... ", yang lain menimpali.

"Saya setuju dengan ide penggunaan nomor genap-ganjil... ", ujar yang lainnya meneruskan pendapatnya dengan argumen-argumen masing-masing.

Namun satu yang menarik dari sekian banyak yang dibicarakan adalah apa yang diutarakan oleh bapak yang duduk di lantai, sebut saja Pak Irfan (panggilan sehari-harinya), yang dengan logat khasnya mengatakan,

"Kalau menurut saya, bagaimana kalau kantor Departemen (sekarang Kementrian) itu di sebar ke beberapa daerah. Misalnya Departemen A di Semarang, Departemen B di Medan, Departemen C di Samarinda . . .".

"Haha...ha, gila lu !!", yang lain lansung memotong pembicaraan Irfan.

"Lagian, pejabat-pejabat departemen itu mana mau ?", yang lain ikut mematahkan yang diutarakan Irfan.

"Bentar dulu, ntar dulu...", Pak Irfan langsung mencoba menguasai suasana. "Begini..", lanjutnya.

"Memang itu bukan tanpa masaalah, tentu ada. Tapi jika direncanakan sedemikian rupa dan dilaksanakan secara bertahap, why not ? kenapa tidak ?", Irfan mulai dengan argumentasinya.

"Coba, berapa ratus banyaknya karyawan/pegawai suatu departemen. Jika beberapa (5 atau 10) departemen pemerintahan saja yang tersebar di beberapa daerah, bukan hanya kemacetan Jakarta yang dapat dikurangi, tetapi sekaligus juga pemerataan penduduk, pemerataan peredaran uang, otomatis pemerataan pembangunan dan perimbangan kemajuan daerah satu dengan yang lainnya..., pokoknya banyak lah !!!", Pak Irfan terus nyerocos.

Demikianlah bagian dari obrolan di teras sebuah rumah malam itu. Sepintas ide memindahkan kantor kementrian ke daerah itu memang terkesan mengada-ada, bahkan penulis menyebutnya ide gila. Tetapi kalau saja dilakukan pengkajian secara.mendalam dan tentu secara ilmiah, bukan tidak mungkin ditemukan banyak hal yang positif dari pada negatifnya.

Hal yang paling mudah dipahami adalah pemerataan penduduk tadi. Sebut saja setiap pejabat/pegawai mempunyai anggota keluarga rata-rata 4 sampai 5 orang. Maka tinggal dikalikan dengan jumlah pegawai pada kementerian tsb, sekian banyak penduduk akan tersebar ke daerah untuk sebuah departemen. Lalu dikalikan sekian departemen. Rentetan berikutnya adalah perlunya perumahan, maka proyek perumahan pun berjalan di daerah tsb. Lalu setiap anggota keluarga perlu sekolah, maka sekolah-sekolahpun makin berkembang di daerah tsb. Hal ini sekaligus mengurangi persaingan kebutuhan sekolah di Jakarta. Yang tak mungkin terlepas adalah transportasi. Hal ini sekaligus akan meratakan kebutuhan bahan bakar. Tentu hal-hal yang telah disebutkan tadi bukan hanya, masih banyak keuntungan lain yang mungkin akan diperoleh dengan menjalankan "ide gila" ini. Intinya adalah memindahkan banyak aspek kehidupan banyak orang yang selama ini terpusat di Jakarta ke daerah-daerah yang populasinya masih rendah, memungkinkan secara faktor-faktor lain untuk dijadikan tempat berkantornya departemen tertentu.

Bahwa ada masalah lain muncul dengan ide ini, adalah hal wajar. Misal bagaimana cara komunikasi dan koordinasi satu departemen dengan departemen lain atau menteri-menteri dengan presidennya. Atau bagaimana pihak-pihak, masyarakat, rekanan dsb untuk dapat berurusan atau ingin memperoleh layanan suatu departemen, dsb, dsb.

Seperti tadi telah disebutkan, "ide gila" ini tidak untuk serta merta dilaksanakan bulan depan atau tahun depan. Namun perlu ada kajian-kajian, penelitian, diuji dsb. Sehingga suatu saat ide memindahkan kantor kementrian (ke daerah) ini tidak lagi merupakan ide gila. Tapi sebuah ide yang dinyatakan layak dilaksanakan.

Jadi ngga sabar suatu hari melihat (misalnya) Kementerian Pendidikan Nasional berada di Yogyakarta, Kementerian Riset & Teknologi ada di Bandung, Kementerian Kelautan berkantor di Surabaya, Kementerian Pertanian berpusat di Medan, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata berada di Bali, dst, dst. Semoga.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun