Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story Artikel Utama

Penghasilan Tamping Penjara Rp 500 Ribu - Rp 1 Juta/hari

13 Januari 2010   15:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:29 2115 0
[caption id="attachment_53435" align="alignleft" width="300" caption="Shutterstock"][/caption] Adanya temuan “Istana dalam Penjara” telah membuat khalayak terperangah, bahkan Menkumham pun merasa kaget dan tidak menyangka jika memang ada kenyataan seperti itu. Ketidaksangkaan Pak Mentri ini cukup beralasan, mengingat beberapa waktu sebelumnya ia sempat juga melakukan sidak alias inspeksi mendadak ke rutan yang sama, namun tidak menemukan “istana” seperti yang ditemukan oleh Satgas Pemberantasan Mafia Hukum minggu lalu itu. Konon fasilitas yang terdapat di salah satu ruangan tahanan disebutkan sama atau menyerupai fasilitas kamar hotel berbintang lima. Banyak media sudah menyiarkan dan memberitakan hal ini.

Belum lagi hilang keterperangahan di atas, kita (paling tidak saya) dikejutkan lagi oleh kenyataan bahwa ternyata adanya fasilitas “mewah” di pejara itu bukanlah hal baru. Ternyata hal itu sudah berlangsung sejak lama. Hanya saja selama ini tidak pernah mencuat kepermukaan atau tidak ada publik yang mengetahui. Selain tersedianya fasilitas mewah bagi tahanan dalam penjara, ada juga praktek-praktek dimana bagi sebagian napi mencari uang lebih mudah di penjara ketimbang di luar penjara.

Adalah seseorang yang disebut Boy (bukan nama sebenarnya), seorang mantan narapidana yang pernah menjadi salah satu penghuni LP Salemba, Jakarta (thn 2000) dan pernah juga mendekam di LP Tengerang, Banten (2003) yang menceritakan pengalamannya dalam wawancara di studio Metro TV, Selasa(12/1).

Menurut penuturan Boy, fasilitas itu ditawarkan sejak saat pertama ia masuk penjara. Ketika ia masuk, ia langsung ditawari oleh seseorang semacam petugas pendamping (katanya biasa disebut Tamping), apakah ia mau enak dan aman di penjara. “Atau mau seperti mereka”, kata si Tamping sambil menunjuk ke arah kumpulan narapidana di sel yang siap menunggu datangnya penghuni baru, seperti dituturkan Boy. Boy mengaku pernah melihat kamar sel yang menurutnya mewah itu untuk ukuran dalam penjara, dimana ada terdapat tempat tidur empuk (mungkin sejenis spring bed), pendingin ruangan (AC), fasilitas telepon seluler, TV dsb.

Malang bagi Boy ia tidak punya pilihan dan terpaksa masuk sel biasa karena tidak punya apa-apa. Meskipun secara singkat, tapi Boy sempat menuturkan perlakuan-perlakuan kasar yang ia alami di sel tsb, jadi bulan-bulanan sang Tamping sampai babak-belur.

Tamping sendiri adalah juga seorang napi yang direkrut oleh petugas lapas. Namun tidaklah mudah untuk menjadi seorang Tamping, sebab selain harus bisa dekat dengan sang petugas, memenuhi kriteria tertentu, seorang Tamping harus membayar sejumlah uang kepada petugas penjara. Seperti yang diceritakan Boy -yang wajahnya disamarkan (ditutup dengan kain) pada wawancara itu- ia berhasil menjadi Tamping ketika thn 2003 ia harus mendekam di LP Tangerang karena kasus narkoba.

“Saya membayar Rp 2,5 juta kepada petugas”, kata Boy. Dan hari-hari ia paling tidak memberi satu petugas Rp. 50 ribu. “Itu belum termasuk piket yang berganti-ganti”, kata Boy. Ketika ia ditanya dari mana ia mendapatkan uang untuk membayar para petugas itu, Boy mengaku sebagai seorang Tamping ia menagih atau mengutip dari setiap napi lainnya. Kata Boy, setiap napi baru masuk harus membayar sejumlah uang padanya, Setiap ada kunjungan kepada seorang napi, maka napi tsb juga harus setor semacam fee kepada sang Tamping. Bahkan ketika seorang napi mau keluar/bebaspun ia masih harus memberi setoran pda Tamping. Tak tanggung-tanggung, selaku seorang Tamping, ia bisa berpenghasilan Rp, 500 ribu sampai Rp.1 juta perhari dalam penjara. Minim-minim, ia masih mengantongi Rp 500 ribu bersih setiap hari, setelah dikeluarkan setoran bua petugas. Waow…, menggiurkan sekali.

Cerita Boy (yg bukan nama sebenarnya ini) memanglah tidak dapat mewakili apa yang dialami oleh ratusan bahkan ribuan napi lainnya. Demikian juga apa yang terjadi di LP Salemba & LP Tangerang yg diceritakan Boy belumlah tentu dapat mewakili belasan bahkan (mungkin) ratusan LP-LP lainnya di seluruh tanah air. Sehingga memang tidak dapat kemudian disimpulkan bahwa seluruh napi dan seluruh LP di Indonesia adalah seperti demikian. Namun yang pasti, ini adalah kisah nyata yang benar2 terjadi. Di alami oleh Boy (mantan napi) yang menjadi narasumber daalam sebuah wawancara di studio Metro TV, serta hasil temuan sidak Satgas Pemberantasan Mafia Hukum di Rutan Pondok Bambu Jakarta minggu lalu. Dan kecenderungan kemungkinan terjadinya hal yg sama di LP-LP yg lain sangat besar sekali. Jika memang itu yang lebih banyak terjadi, tidak heran jika Rutan-Rutan tetap penuh. Penjara bukannya tempat pesakitan bagi mereka yang terhukum, bukannya tempat pendidikan atau perbaikan moral bagi para narapidana agar nantinya setelah ia keluar dari tahanan, ia bisa kembali bergabung dengan masyarakat biasa. Sebaliknya mereka menjadikan penjara sebagai istananya. Wallahualam…

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun