Layar ponselnya berkedip. Nama Vanya tertera disana.
” Ada apa de?”
“Kak, elo bisa pulang sekarang?”
“Kenapa? Suara lo koq serak gitu? nangis lo ya? berantem? putus?”
“Lebih buruk dari itu ka!” dan saat mengatakan kenyataannya, 1 jam kemudian Vanya sudah berdiri didepan pintu rumah mereka.
Ketika mendapati kakak nya berdiri di ambang pintu sambil menatapnya sendu, Kara langsung menghambur kepelukan kakaknya. Vanya membalas pelukan Kara sambil ikut menangis. ” Ini salah gue de. Gue ninggalin lo sendirian disini. Gue ngebiarin lo kemana-mana sendiri. Gue gak jagain lo. Gue.. hiks..hiks.. “
Lama mereka berpelukan sambil menangis. Lupa, kalau menangis atau emosi apapun itu, takkan bisa menyelesaikan masalah besar yang sudah ada dihadapannya.
“Ata ya?” tanya Vanya memastikan dan dijawab Kara dengan anggukan. ” Terus, sekarang lo mau gimana de?”
Kara menatap Vanya lama. Berpikir.. untuk apa berpikir? Toh dipikir berulang kalipun tetap sama hasilnya. Ia tidak akan mengubah keputusannya. Keputusan yang sudah diperkirakannya sejak lama, sebelum dua garis sialan itu muncul di setiap testpacknya.
" Jangan bilang Ata ya ka? " pinta Kara perlahan
Vanya tak menjawab. Tapi mimik wajahnya jelas mempertanyakan keputusan adik semata wayangnya itu.
" Gue gamau nyusahin Ata. Dia masih mahasiswa kak. Semester 4. Udah lagi, dia lagi sibuk sama acaranya di Pandeglang. Dia gaperlu tau, kak. Cukup gue aja. "
Jauh sebelum hari ini diturunkan Tuhan untuk menghukum Kara, ia sudah mempersiapkan rencana apabila hal buruk ini terjadi. Ia akan pergi dari kehidupan Ata, membiarkan Ata bahagia, berkarier cemerlang dan memiliki keluarga yang lebih hebat dibanding ia dan calon anak yang ada diperutnya ini. Biar saja ia ditampar mama, diusir papa.. pokoknya Kara bertekad tidak akan memberitahu siapapun tentang ayah biologis janin yang membuat perutnya membuncit. Hanya ia, Tuhan, dan Vanya yang tahu.
Kenapa? Bukan hanya karna ia sangat mencintai Ata, tapi juga karna ia tak akan pernah mau menikah?! Untuk apa sih menikah itu? Mama cuma dapat sakit hati gara-gara menikahi papa. 10 tahun mama dibuat habis airmatanya karna ulah papa yang gila sama biduan PAMMI *Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia* sebelum akhirnya papa bangkrut, tobat dan kembali pada mama. Huh, sampai sungai Amazon kering-pun ia takkan mau menikah! Persetan dengan pernikahan!
Sebenarnya Kara mau saja menikah. Dengan syarat, ia hanya menikahi pria yang berhasil membuatnya menemukan sudut pandang lain tentang pernikahan selain seks, punya keturunan, dan perselingkuhan. Toh tanpa menikah pun Kara sudah dapat merasakan 2 diantaranya. untuk yang ketiga, Kara bersumpah akan menghindarinya semaksimal mungkin. Amit-amit deh sama perselingkuhan!
" Ra.. ke dokter yuk! kita periksa kehamilan kamu, " ajak Vanya yang disetujui Kara.
Jangan salah, biar tak menginginkan kehamilan ini tapi Kara peduli dengan calon anaknya. Ia tak akan mengambil langkah yang selalu ia kutuk tiap kali berita di televisi menayangkan ironi aborsi. Bodoh nian perempuan yang mengambil jalan terburuk itu. Sudah zina, membunuh anak sendiri pula! Yaaa biarpun ia juga berzina, setidaknya ia sama sekali tidak ada pikiran untuk membunuh anaknya sendiri. Lebih baik satu tingkat dibanding remaja lain yang juga kebobolan.
" Nih, aku beliin Lactamil. Aku juga beliin kamu sayur daun katuk diwarteg tadi. Dimakan ya, Ra! Aku mandi dulu, "
Kehamilannya sudah memasuki bulan kedua. Sepulang dari dokter kandungan dua bulan yang lalu, ia langsung pindah ke apartemen Vanya. Kemudian segala sesuatu yang dapat menghubungkannya dengan Ata langsung dipangkas! Facebook, Twitter, Kompasiana... dia vacum dari kejayaan dunia mayanya. Begitu juga dengan nomor yang biasa Ata hubungi, langsung dipatahkannya si SIM card tersebut. Pokoknya tanpa pamit, tanpa meninggalkan jejak, Kara mengundurkan diri dari hidup Ata tercintanya.
Ata harus bahagia. Hidupnya akan cemerlang. Ia akan jadi wartawan terkenal dan memiliki keluarga terbaik sedunia, bukan dengannya, bukan dengan janin ini.
Kara juga sudah memberitahu orang tuanya. Dibantu Vanya, Kara selamat dari tamparan papa tapi tetap dikatai anjing dan setan. Sambil melotot dan tangan yang tak berhenti menunjuk, papa menghina anak yang dulu dibanggakannya habis-habisan. Mama menangis sambil menahan suaminya yang kalap mendapati anak emasnya hamil tanpa suami. Kebun binatang tiba-tiba pindah ke mulut papa. Pokoknya buat papa sepertinya Kara tidak lagi berwujud manusia dan bukan anaknya, melainkan anak setan.
Tidak heran papa begitu. Justru Kara heran kalau papa nya diam saja. Kara sadar, ia pantas menerima semua celaan itu. Kalau jadi orang tua pun, ia pasti sudah mencambuk anaknya. Masih untung tidak dilempar ke dinding oleh papa. Setelah petir menggelegar didalam rumah mereka, mama menghampiri Kara dikamarnya. Mama bilang, mama akan dukung apapun keputusan Kara. Kalau mau aborsi-pun mama mau mengantarkan dan mencarikan tempat yang pantas.
Naif juga rupanya bidadari ini. Untuk tempat aborsi, mana ada yang pantas sih? Kara mencibir terang-terangan dihadapan mama-nya. Dan mama menerima keputusan Kara yang tetap akan mempertahankan janin itu walau dengan raut putus asa. Sebelum pergi meninggalkan Kara, mama memeluknya dan menangis meminta maaf atas kelalaiaannya mendidik Kara. Sebenarnya bukan mama yang salah. Toh yang melakukan hubungan intim kan Kara dan Ata, bukan Kara dan mama. Mama sama sekali tidak salah. Mama sudah memberikan pendidikan semaksimal mungkin. Agama, etika dan moral sudah mama tanamkan sejak Vanya dan Kara masih baru tumbuh gigi dua. Anak nya saja yang belangsatan. Begajulan dan lupa diri. Lupa kalau masih ada surga - neraka dan pencipta Nya.
" Tahun depan mau kuliah dimana, Ra? " tanya Vanya ditengah makan malam mereka.
" Haduh kak, kempes aja belum perut ini, elo udah nanya gue kuliah dimana, "
" Hahaha.. bukan gitu Ra! Maksud gue nanya kan biar gue bisa siap-siap kalo elo mau serius kuliah. Kita gak mungkin minta uang sama mama-papa. Mereka pasti udah eneg banget sama kita. Gue gamau kawin, gapunya pacar. Elo gamau kawin tapi hamil duluan. " kedua adik-kakak itu terbahak-bahak.
"Jadi, elo mau biayain gue, kak? Walaupun gue pingin ke Eropa?" goda Kara sambil mengunyah sayur daun katuknya. Setiap hari makan daun katuk, Kara makin merasa mirip kambing.
"Gue udah ngira koq. Lo pasti minta ke Jerman kan? In crush lo sama Postdam tuh selalu ada dimuka lo udah kayak spanduk!" Vanya terkekeh. "Lagian, kalau memang lo mau dan serius, gue ada tawaran promosi ke Jerman. Si boss minta keputusan akhir gue dua minggu lagi. Terus, 6 bulan ini gue akan urus semua keperluan dan administrasi buat kesana. Tiga bulan kemudian, gue harus bikin laporan terakhir proyek gue. Gimana? Gratis lho, gue kasih lo tawaran ini... "
Ke Postdam. Dulu, waktu belum jadi ibu hamil, ia antusias sekali. Setelah buncit begini, masih adakah sisa semangatnya?
"...sepuluh tahun lagi aku pasti lebih hebat dari Jeremi Teti dan Putra Nababan!" tekad Ata
"Sepuluh tahun lagi juga aku bakal jadi lebih hebat dari Mario Teguh!" dan tawa mereka pun membahana dilangit senja....
Ata... bagaimana dengan Ata? Dua bulan saja tersiksa sekali tanpa Ata. Bagaimana tahun-tahun berikutnya? Bagaimana dan bagaimana? Tetap di Jakarta masih ada kemungkinan bertemu dengan Ata, yang berarti masih ada kemungkinan hatinya sakit lagi. Atau labih parah, hati Ata yang sakit. Ah, mungkin tawaran Vanya ini adalah solusi terbaik yang bisa diambilnya. Agar hidup Ata tetap normal dan ia bisa memulai hidup baru bersama jejak yang Ata tinggalkan ini.
Ata.. sayang.. aku bukan pergi. Hanya jalan-jalan sebentar menelusuri jarak dan waktu untuk memberi mu ruang kebahagiaan. Dan bidadari kecil ini akan aku jaga sampai ia dewasa. Sampai ia lebih cerdas dari ayahnya. Sampai ia lebih cerewet dari ibunya. Sampai ia mengerti alasan apa yang melatar belakangi aku memilih jalan ini. . . Dear, sorry for leaving.
" Oke! Tahun depan kita ke Jerman. " Kara tersenyum, berusaha se-riang mungkin. " Let's start our new white paper! "
to be continued ...