Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Pattimura Itu Kami

19 November 2010   16:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:28 472 10
Beberapa hari yang lalu beredar lelucon ala sotosop buatan anak negeri ini di Internet, lelucon kalo boleh dibilang, sayah salut dengan teknik olah digitalnya yang bisa membuat kita terpingkal-pingkal, sebuah gambar yang dibuat oleh orang super kreatif, untuk memberi kritikan bagi Negeri ini seperti yang lainnya. Akan tetapi disisi lain ada rasa perih yang menyengat di sudut hati, rasa perih yang menjalar ke seluruh tubuh yg membuat sayah ingin menangis sekaligus tertawa melihat gambar itu. Pada gambar itu wajah Pattimura di Mata Uang Rp. 1.000 di ganti dengan wajah Gayus Tambunan. Gayus Tambunan sang pembuka kehancuran negeri ini dengan mempermainkan Indonesia bak rumahnya sendiri yang bisa diobrak-abrik, Gayus yang seakan-akan Tuhannya negeri ini yg tak bisa disentuh oleh siapapun. Gayus menjelma di lembaran seribu rupiah menggantikan wajah Pattimura lengkap dengan menenteng "Parang". Maaf, tapi bagi sayah pribadi, seseorang yang lahir di Maluku, seseorang yang hidup ditengah-tengah hutan sagu, gelombang laut Banda, seseorang yang lebih banyak belajar tentang kepahlawanan dan budaya orang lain dari pada belajar tentang lingkungan kami sendiri. Pattimura adalah kebanggaan kami, Pattimura adalah jiwa kami yang membangun negeri untuk kami sendiri. Ditangan Pattimura "Parang" untuk membela rakyat, di tangan Gayus, Parang untuk membelah rakyat Negeri ini. Nunu oli Nunu seli Nunu karipatu Patue karinunu [Thomas Matulessy] [Saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah beringin besar, dan setiap beringin besar akan tumbang. Tetapi beringin lain akan ganti. (Demikian pula) saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah batu besar, dan setiap batu besar akan terguling. Tapi batu lain akan ganti] Dia Thomas Matulessy sang Kapitan Pattimura telah mengucapkan kalimat-kalimat saat menghadapi tiang gantungan dari Belanda atas perlawanannya membebaskan negeri ini dari cengkeraman Belanda, Dulu, saat watak asli budaya zaman "Hena Masa Waya Lotto Honimua". Kalimat patriotis yang mampu membakar jiwa mereka saat itu dan generasi berikutnya, kalimat tegas sekaligus penyerahana tanggung jawab yang sangat besar bagi Pattimura-pattimura baru untuk menjadi Batu bagi penindasan di negeri ini, menjadi Beringin besar bagi para penjajah negeri ini yang ingin merampas cengkeh dan pala di ewang-ewang cucu alifuru. Pattimura adalah teladan jujaro mungare Maluku yang telah mengakar sebagai sebuah kebanggan kami untuk menunjukkan jiwa heroisme dan patriotisme ditengah merosotnya identitas lokal, nasional oleh kepungan globalisasi. Pattimura adalah simbol perlawanan kami terhadap penindasan dan ketidak adilan. Di tangan kanan tergengam dengan erat sebuah "Parang" yang tidak hanya dapat diartikan secara sempit sebagai simbol dari "kekerasan", dimana apapun yang terjadi "Parang" akan berbicara, akan tetapi ini adalah simbol untuk menaklukkan dunia bagi kami, parang menjadi senjata untuk menaklukkan ganasnya Ewang-ewang di belantara Nusa Ina, dengan parang kami jaga dan kami pelihara setiap benih cengkeh, pala dan sagu demi kemakmuran kami. Di tangan kiri, "Salawaku" sebagai perisai demi mempertahankan setiap tapak kaki negeri ini, sambil berteriak "Mena" yang berarti "Maju kedepan" menyongsong masa depan yang lebih baik. Sungguh, kadang bagi kami orang-orang Maluku merasa telah tersingkir dari ruang bernama "Indonesia", sekian lama tertinggal dari pembangunan ditambah disayat-sayat oleh konflik yang makin menghancurkan negeri ini. Negeri ini hanyalah menjadi perhatian ketika RMS melempari "Indonesia" dengan kotoran, Selebihnya? Demi asin lautan yang menghitamkan kulit ari Kesetiaan adalah bahasa lumba-lumba yang mestinya di mengerti sebagai cinta Nasib anak negeri yang hanya bertengger sebagai janji Telah menjelma bisa pari sejak hati terlukai Kami bukan ikan-ikan mati yang bisa dilempar sebagai tumbal negara ini Demi kesetiaan berpuluh tahun yang hanya menorehkan luka Anak-anak hitam, bau bia, bau laut kini memanen kata merdeka Sekali berucap LAWAMENA selebihnya parang dan salawaku akan berkibar Bahasa perlawanan sejak Nuku hingga Pattimura adalah bahasa kesetiaan Kepada negeri airmata dan darah tertumpah sesungguhnya karena cinta Tetapi Jakarta... Tetapi Jakarta telah menarik balik pabrik gula di Laimo Jakarta telah mengambil stasiun oceanologi dan menaruhnya di Bali Jakarta telah membiarkan kami sejak 19 Januari 1999 tanpa hati Lalu kesetiaan macam apalagi yang harus kami beri Untuk hanya sekadar jadi petinju dan penyanyi di jantung negeri Bukankah Soekarno bilang tanpa kami Indonesia tak jadi apa-apa Seribu ton kopra yang kami bawa ke istana dimana kini harganya? Maka demi asin lautan yang mengeritingkan rambut kami Sumpah Pattimura muda telah kami ikrarkan di seluruh pelosok negeri Biar peluru menembus kulit kami tetap menerjang Meminta keadilan sebagai harga atas nasib anak negeri Selebihnya hanyalah bait-bait pada Sajak "Sumpah Pattimura Muda" karangan Bang Dino Umahuk sajalah yang mampu bercerita tentang segalanya. Bercerita tentang apa yang kami rasakan di sudut Indonesia ini, Sayah masih ingat cerita Bapak dulu, ketika Soekarno datang ke Nusa Ina. Beliau meresmikan sebuah kota yang sekarang menjadi pusat Kabupaten Maluku Tengah, kota yang diberi nama "Masohi" yang merupakan budaya gotong royong memetik cengkeh dikalangan masyarakat Seram Selatan. Masih terngiang desis suara Bapak yang menceritakan tentang pidato Soekarno yang berapi-api, masih teringat sebuah ucapan yang kadang dilupakan oleh mereka yang merasa memiliki Indonesia "Indonesia Tanpa Maluku Bukan Indonesia, Maluku Tanpa Indoensia Bukan Maluku". Namun itu mungkin sudah terlupakan, kalimat itu hanya sekedar kata mutiara untuk membuat kami terus terbuai oleh angin surga dari barat. Sayah hanya Memohon untuk di Hentikan Penyebaran lelucon gambar itu, anda yang membuatnya mungkin tidak berpikir sampai kemana kami bisa terluka, aku tahu mungkin niat anda hanyalah untuk menjelaskan betapa bahwa Gayus telah merasuki sistem ini, tapi disisi lain anda telah melukai hati rakyat Maluku. Pattimura-pattimura muda telah sering dilukai oleh negeri ini, Tolong jangan anda menambah luka itu... menyamakan Gayus dengan Pattimura hanyalah sebuah tindakan yang sangat tidak CERDAS. karena "Bangsa Yang Besar adalah Bangsa Yang Menghargai Jasa Para Pahlawannya..!!!" Hormat! [Maafkan jika isinya semrawut]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun