Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Menyongsong Pilkada Serentak

8 Desember 2015   21:04 Diperbarui: 8 Desember 2015   21:04 30 0

Pilkada serentak yang akan digelar besok Rabu 9 Desember, akan menjadi rintisan sejarah yang penting dan bermakna bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Tercatat ada 269 daerah, yang terdiri dari 9 Daerah Provinsi dan 260 kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan pilkada. Bagaimana pilkada bisa dianggap penting dan bermakna bagi kehidupan demokrasi di tanah air? Tentu jawaban sederhananya, bahwa dalam pilkada besok akan terjadi pergantian kepemimpinan lokal yang akan membawa dampak bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Rumus demokrasi mensyaratkan bahwa ciri demokrasi yang sehat adalah adanya pergantian kepemimpinan secara berkala baik secara nasional maupun lingkup lokal seperti pilkada.
Ekspektasi publik terkait jalannya pilkada serentak tahun ini membumbung tinggi. Kegaduhan, kekacauan, dan kekurangan pilkada sebelumnya diharapkan tidak terjadi dalam pilkada serentak tahun ini. Kita bisa melihat fakta kilas balik, bahwa pilkada sebelum-sebelumnya masih menyisakan berbagai macam persoalan.
Pertama, salah satu masalah yang kerap terjadi dalam Pilkada adalah konflik horizontal yang melibatkan pendukung pasangan calon. Internasional Crisis Group (ICG) mencatat sekitar 10% dari 200 pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang digelar sepanjang tahun 2010 diwarnai aksi kekerasan. Seperti di Mojokerto, Jawa Timur, Tana Toraja di Sulawesi Selatan dan Toli-toli di Sulawesi Tengah. ICG menyebutkan bahwa kekerasan dalam Pilkada antara lain dipicu oleh lemahnya posisi penyelenggara Pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum kabupaten/kota dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), serta konflik antar peserta Pilkada. Dari fakta ini, jelas bahwa konflik horizontal telah merusak mental rakyat dan menimbulkan pembelahan-pembelahan sosial.
Kedua, terjadi gangguan pelayanan terhadap masyarakat. Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi tidak netral. Di daerah Riau, 130 pejabat pemerintah diturunkan pangkatnya karena diduga tidak mendukung incumbent. Bahkan di daerah Jawa Timur, ada sekretaris daerah diturunkan jadi sekretaris desa.
Ketiga, terkait data perselisihan hasil pilkada di MK (dari tahun 2008-2014). Ada 956 pemilukada dan yang ang masuk ke MK adalah 76 persennya (732 perkara). Dari jumlah itu hanya 68 perkara yang dikabulkan oleh MK. Dari 732 perkara yang masuk, gugatan yang tidak diterima ada 151 perkara karena tidak memenuhi syarat formal. Sedangkan yang ditolak ada 146 perkara, yang ditarik kembali berjumlah 20 perkara, dan yang gugur berjumlah 3 perkara. Ramenya gugatan ke MK (dengan fakta sedikit perkara yang dikabulkan) mengindikasikan adanya sikap “hanya siap menang, tapi tidak siap kalah” bagi calon yang bertarung.
Ke-empat, data dari Dari Departemen Dalam Negeri (28 Februari 2013), sejak diberlakukannya pemilukada langsung hingga awal 2013, kepala daerah yang terbelit kasus hukum mencapai 291 orang. Dari jumlah itu, 70 persen di antaranya akibat terlibat praktik tindak pidana korupsi. Hal dikarenakan biaya kampanye yg tinggi antar calon bupati sehingga saat terpilih dia akan berpikir bagaimana cara mengembalikan uang tersebut.
Data dan fakta di atas seperti maraknya korupsi kepala daerah, konflik horizontal yg meluas, terjadi gangguan pelayanan masyarakat, banyaknya sengketa pilkada di MK, secara perlahan dapat mengancam serta merusak kualitas demokrasi di Indonesia. Apakah keadaan seperti ini akan dipertahankan dalam Pelaksanaan Pilkada serentak yang akan berlangsung esok hari?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun