Sebelum berangkat ke tanah suci, regu kami berkumpul untuk membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan persiapan dan kegiatan di tanah suci, termasuk urusan soal makan selama di sana.
Ketika sampai kepada masalah makan ini, muncul dua pendapat yang sulit disatukan. Sebagian mengusulkan selama di Makkah sebaiknya jamaah memasak bersama-sama, cara ini bisa menghemat pengeluaran. Sebagian lagi bersikeras tidak mau, alasannya selama di tanah suci mereka hanya akan berkonsentrasi ibadah saja, tak mau memikirkan yang lain-lain. Karena tidak ada kesepakatan, akhirnya diambil keputusan bahwa soal tersebut akan diputuskan nanti melihat situasi dan kondisi di lapangan.
Singkat cerita, akhirnya kami berangkat ke tanah suci. Kami termasuk jamaah gelombang pertama yang diterbangkan ke Madinah terlebih dahulu. Di sini kami tinggal selama 8 hari untuk menyelesaikan program arbain, sholat wajib berjamaah selama 40 waktu di Masjid Nabawi Madinah dan kalau bisa dilaksanakan tanpa ketinggalan takbirotul ihram.
Selama tinggal di Kota Nabi ini persoalan makanan lancar tidak ada masalah. Setiap harinya, para jamaah mendapat jatah nasi kotak lengkap dengan buah dan air kemasan sebanyak dua kali, untuk jatah makan siang dan malam. Untuk sarapan pagi, jamaah bisa membeli makanan di sekitar hotel.
Ketika pindah ke Makkah, soal makan ini mulai menjadi masalah. Tidak ada lagi jatah makanan yang dibaikan, kecuali jamaah yang berasal dari propinsi DKI Jakarta atau beberapa daerah lain masih mendapat jatah 2 kali sehari dari pemerintah propinsi mereka.
Di luar daerah tersebut, semua urusan makanan diserahkan pada jamaah sendiri. Dalam kondisi seperti ini, uang living cost yang diterima setiap jamaah menjadi terasa sangat mepet. Padahal masa tinggal jamaah di Makkah tidak bisa dibilang pendek. Mereka harus tinggal di kota ini selama sebulan penuh.
Pada waktu pemberangkatan, di embarkasi memang untuk setiap jamaah dibagikan uang living cost sebanyak 1.500 Riyal. Di tanah suci, uang tersebut harus dipotong 500 Riyal, rinciannya 350 Riyal untuk bayar Dam (denda) haji Tamatu’ dan 150 Riyal untuk keperluan tur dan ziarah. Praktis uang yang dipegang tinggal 1.000 Riyal atau sekitar 3 juta rupiah.
Berbagai pilihan
Sebenarnya, untuk keperluan makan selama di Makkah ini tersedia berbagai pilihan. Pilihan pertama adalah membeli di rumah makan yang banyak bertebaran di sekitar pemondokan. Harga 1 piring lengkap dengan lauk sederhana dan minuman sekitar 10-15 Riyal. Dengan cara ini jamaah harus mengalokasikan uang sebesar 45 Riyal sehari atau 1.350 Riyal selama sebulan atau sekitar 4 juta rupiah. Bagi jamaah berduit tentu tidak masalah, tetapi bagi yang berkantong tipis ya masalah besar.
Pilihan yang lebih hemat berikutnya adalah masak bersama. Dengan iuran 5 Riyal bisa untuk biaya dua kali makan, siang dan malam. Iuran sebulannya sekitar 150 Riyal, jika ditambah untuk membeli makan pagi sekitar 150 Riyal juga, maka total pengeluarannya sebulan adalah sebesar 300 Riyal atau sekitar 900 ribu rupiah. Selain lebih irit dan cocok di lidah, masak bersama juga cukup bagus untuk menumbuhkan kebersamaan di antara jamaah. Regu kami sempat masak bersama selama 1 minggu.
Kalau pembaca punya kesempatan berangkat haji, kira-kira pilih yang mana ya ?
Catatan haji lainnya :
1. Naik Haji, Mandiri atau Ikut KBIH ?
2. Bakhutmah, Kawasan Pemondokan Haji di Kota Makkah
3. Di Makkah, Harga Air Kencing Unta Lebih Mahal dari Harga Susu Unta
4. Menengok Bekas Rumah Abu Jahal
5. Beda Perlakuan Terhadap Jamaah Haji dengan PesawatGaruda Dan Saudia