ALJA YUSNADI | Foto : Tauris Dering hapeku semakin kencang. Mata yang akan terpejam seakan melawan. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, artinya waktu larut semakin kelam. Di luar, deru kendaraan belum juga padam. Anak-anak nakal masih saja mempertaruhkan nyawanya di sepanjang jalan. Segera kuraih hapeku, sambil membetulkan lapik dipan. “Paen abg?” sebuah pesan dari seberang. Tak kupikir panjang. Dengan mata yang masih kelilipan, kupencet duabelas digit nomor digital. Tak lama berselang, percakapan mengalir kencang, seperti aliran sungai yang mengikuti siklus alam. Padahal, jarang sekali semenjak makhluk aneh bernama hape itu hadir menjadi penyambung lidah kugunakan untuk menelepon di tengah malam. Seperti kebiasaan, malam Minggu aku menghabiskan bersama ketiga rekanku untuk sekedar berjalan kaki ke Simpang Galon Darussalam. Alasan untuk cari santapan malam, sesekali melirik kawan-kawan yang bawa pasangan. Bandul kehidupan mulai berubah pascamalam Minggu itu. Pertemuan dengan adik angkatanku seminggu sebelumnya jadi titik balik dari segala keegoan dan ketangguhan. Berbeda dengan beberapa teman perempuan, apalagi bagi mereka yang berasal dari kalangan ekonomi menengah, seolah enggan untuk menoleh atau dekat dengan lelaki yang berasal dari gampong sepertiku. Sebab itu pula, mereka mendapat tempat tersendiri dari pandangan sujektifku. Perempuan yang kuberi nama Dek Nong ini seakan menjelma menjadi sesuatu yang sangat indah dalam kehidupan. Harapannya tak lapuk dimakan zaman. Tutur sapanya teratur, ramah, luas pergaulan. Awalnya dia supel, riang. Sedikit demi sedikit kuubah menjadi seorang manut dan patut, ingin kukuasai jiwa raga dan pikirannya. Berbagai peraturan tanpa kesepakatan kubuat, walau melawan, akhirnya dia luluh juga, mengikuti aturan main yang kuberi peran. Beberapa tahun kemudian, aku sadar. Sesuatu yang dibangun di atas pondasi rapuh dan penuh keterpaksaan tidaklah kokoh. Sangat mudah dimakan gesekan. Aus. Lapuk. Bahkan membusuk. Tiada yang istimewa pertemuan dengan Dek Nong. Diawal kuliah, aku adalah seorang lelaki lusuh, berambut gondrong, sandal jepit, celana robek lutut, dan kemana-mana ada tas ransel menyerupai lemari yang turut kubawa pergi. Maklum, di situ berbagai alat kelengkapan kusimpan rapi. Walau dari sisi wajah, aku tak terlalu kalah, tapi tertutup oleh kesemberautan yang kubuat sendiri. Saat itu, ada kenikmatan tersendiri, pikirku. Aku juga aktif di beberapa lembaga kampus, termasuk di himpunan. Saat penyambutan adek-adek baru, aku sempat berbicara mewakili himpunan, tapi tak tersirat di benakku menoleh gesit, seperti beberapa kawan yang langsung memasang target, menyurvei, mencari calon pasangan. Aku tak kepikiran. Pada acara puncak, aku tak bisa datang, ada tugas dari tempat kubekerja untuk liputan keluar daerah. Dua minggu berselang, kudengar kabar seantero kantin, kawan-kawan angkatanku membicarakan perihal target baru mereka. Dek Nong termasuk salah satu. Aku penasaran. Naluri lelakiku muncul. Masuk ke dalam pembicaraan kawan. Sampai satu saat, seorang kawan memperkenalkan, tak lama berselang kami sudah kenal. Semua mengalir, tidak ada yang direncanakan. Aku masih ingat, hari itu jumat. Aku ke kantin, meng-copy catatan kawan, karena beberapa waktu lalu aku tidak masuk kuliah, sementara ujian sudah di ambang. Selagi menunggu, mataku menoleh tiga perempuan yang sedang duduk. Sesekali mereka bersenda, tak jelas apa yang mereka bicarakan. Aku menghampiri. Tak lama, dua temannya pergi, tinggal Dek Nong. Aku masih ingat, itu Dek Nong yang sempat berkenalan tempoe hari. Aku mulai membuka pembicaraan, tak teratur, bicara apa yang kami suka. Soal kuliah, teman, termasuk soal selera pacar. Aku merasa nyaman. Sekian menit sudah kami berdua. Seakan telah kenal lama. Temannya datang dan mereka pulang. Selepas itu, pikiranku terus berjelaga. Liar dalam seperempat sadar. “Apa gerangan?” batinku. Besok, lusa, asal ketemu, aku selalu menyapa Dek Nong. Pun begitu, tidak bertahan lama. Aku harus kembali tak tampak di kampus. Selain kuliah, aku juga ada kesibukan di luar. Mengais rejeki sambil belajar menjadi pewarta. Setelah teleponan malam Minggu. Aku dan Dek Nong semakin dekat. Tidak tahu siapa yang mulai, tanpa berujar, atau tanpa berawal. Sejak itu, kami sering bertegur sapa. “Kita coba saja, siapa tahu kita cocok,” kalimat itu yang masih kuingat. Waktu lama telah berselang. Aku mulai memakan omongan sendiri. Dulu, aku paling anti melihat kawan yang waktunya hanya untuk pacar. Antar-jemput. Tapi aku menikmatinya. Ada sesuatu yang membuat hidupku sebagai anak rantau lebih teratur. Ada yang mengingatkan. Pelan-pelan, aku mulai masuk ke dalam keluarga Dek Nong. Aku sudah dekat dengan kakak-abang, ayah, ibu, bahkan semua keluarga besarnya. Hidupku mulai berubah. Menjelma bak seorang pencinta sejati. Seperti yang dikisahkan di cerita dan televisi. Banyak sekali kisah yang kulukis bersama Dek Nong, tidak tahu harus mulai darimana. Sejujurnya, tak cukup kuat untuk mencari padanan kata yang mampu mengimbangi keindahan kisah dengan Dek Nong. Terakhir, 18 Mei 2010, saat sepeda motor yang kukendarai tabrakan, nyaris masuk kolong mobil double cabin. Hampir satu minggu Dek Nong dirawat di rumah sakit. Jantungku seakan behenti berdetak. Tak tahu harus bagaimana kujelaskan kepada keluarganya. Entah bagaimana, akhirnya keluarga Dek Nong tahu. Aku hanya bisa diam. “Aku siap menerima segala konsekwensi,” gumamku. Rupanya, semua keluarga tidak menyalahkanku, bahkan, menanyakan kenapa terjadi saja tidak. Aku malu. Takut. Semua bercampur aduk. Sejak itu, kubulatkan tekad untuk menjadi penjaga Dek Nong dan menjadi suami suatu hari kelak. Mencintai, menyayangi, itu pasti sedari dulu. Sejak peristiwa itu pula, Dek Nong jadi susah bernafas, suka sesak. Sebuah penghormatan yang tidak bisa kubayar dengan materi. Aku menghormati ayah dan ibunya seperti ayah dan ibuku sendiri. Namun, takdir tuhan tak bisa ditebak. Hamba hanya bisa berusaha. Beberapa bulan setelah itu, hubunganku dengan Dek Nong mulai retak digoncang prahara. Tidak ada penyebab yang begitu berarti. Hanya keegoan, dan ke-AKU-an terlalu tinggi. Dek Nong jenuh dengan egoku. Muak. Membalas pesanku saja ia mulai tidak. Berbagai cara sudah kulakukan untuk minta maaf. Rupanya, Dek Nong keburu meledak. Aku hanya bisa menyisakan asaku melalui sebuah bait.
Aku kalah dalam kekasaranku Aku lemah dalam kekuatanku Aku hina dalam kesucianku Izinkanku untuk memelukmu Dek Nong, Walau dalam mimpi Beberapa waktu ke depan, aku meninggalkan kota yang sesak dengan kenangan. Dek Nong, beberapa janjiku yang belum sempat kutunaikan, tolong diizinkan. Ini jalanku, ini jalanmu! Jalan kita! sampai ketemu di perempatan!. jangan lupa saling mendoakan. moga Tuhan beri umur panjang!. Kisah, biarlah hidup bersama jiwa. Kita ceritakan pada anak, cucu, atau rumput di padang!.. Jika berlebih silahkan kurang, jika tak cukup mohon ikhlaskan! Desember Kelabu…Banda Aceh 2010 Sumber : http://atjehpost.com/read/2012/05/27/10140/37/13/Surat-untuk-Dek-Nong
KEMBALI KE ARTIKEL