BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Negara merupakan suatu bentuk organisasi masyarakat yang hidup dalam suatu wilayah dan mempunyai tujuan yang sama. Terdapat banyak rumusan dari para pakar mengenai tujuan negara. Menurut pendapat Aristoteles, tujuan negara adalah supaya warga negaranya dapat hidup baik dan bahagia[1]. Menurut pendapat Epicuros, tujuan negara adalah menyelenggarakan ketertiban dan keamanan serta ketentraman jiwa warga negara[2]. Menurut John Locke, tujuan negara adalah untuk memelihara dan menjamin hak- hak asasi manusia[3]. Menurut pendapat Immanuel Kant, tujuan negara adalah menjamin terlaksananya kepentingan umum di dalam keadaan hukum[4]. Menurut Franz Magnis Suseno, tujuan negara adalah memajukan kepentingan- kepentingan masyarakat seoptimal mungkin berdasarkan solidaritas seluruh masyarakat dengan menjamin adanya kebebasan dari seluruh anggota masyarakat dan tidak mendapatkan kesewenang- wenangan dari penguasa[5]. Tujuan negara Kesatuan Republik Indonesia adalah membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial[6]. Menurut pendapat Miriam Budiardjo, tujuan negara (terlepas dari apapun ideologinya) meliputi mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya dan menegakkan keadilan melalui badan- badan pengadilan[7].
Dalam rangka mencapai tujuannya, negara dijalankan oleh suatu pemerintah, dengan kata lain pemerintah adalah pelaksana kekuasaan negara. Pemerintah merupakan suatu organisasi yang berwenang untuk merumuskan dan melaksanakan keputusan- keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk di dalam wilayahnya[8]. Kekuasaan pemerintah tersebut rawan disalahgunakan oleh orang- orang yang menjadi pejabat/ aparat pemerintah. Sebagai respon atas kesewenang- wenangan penguasa/ pemerintah timbul konsep negara hukum (rechstaat). Menurut pendapat Frederich Julius Stahl, salah satu unsur dalam konsep negara hukum adalah adanya peradilan administrasi negara yang berwenang menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah[9].
Dalam menjalankan tugasnya, aparat pemerintah tidak lepas dari potensi untuk melakukan perbuatan yang melanggar atau tidak sah jika ditinjau dari segi hukum. James Madison, dalam tulisannya yang berjudul Federalist Papers menyatakan bahwa[10]:
“if men were angels, no government would be necessary .If angels were to govern men neither external nor internal controls on government would be necessary”.
Terjemahan bebas:
“Jika manusia adalah malaikat maka tidak perlu ada pemerintah. Jika malaikat yang memerintah manusia maka pengawasan/ pengendalian/ kontrol dari luar (eksternal) atau dari dalam (internal) pada pemerintah tidak diperlukan”.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pada paragraf- paragraf diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
“Bagaimanakah konsekuensi yuridis terhadap perbuatan aparat pemerintah yang tidak absah menurut hukum?”.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pemerintah
1.Pengertian:
Dalam pengertian sempit, pemerintah identik dengan pelaksana kekuasaan eksekutif. Menurut pandangan klasik, pelaksana kekuasaan eksekutif adalah pihak- pihak yang melaksanakan kebijakan- kebijakan publik (kenegaraan dan atau pemerintahan) melalui peraturan perundang- undangan yang telah dibuat oleh pelaksana kekuasaan legislatif. Secara teoritis pemerintah mempunyai kedudukan sebagai bagian dari organisasi negara dan sebagai administratur negara. Sebagai organ negara pemerintah bertindak untuk dan atas nama negara. Sedangkan sebagai administrasi negara, pemerintah dapat bertindak baik di lapangan pengaturan (regelen) maupun dalam lapangan pelayanan (bestuuren)[11]. ‘Administrasi’ (Negara) adalah badan atau jabatan dalam lapangan kekuasaan eksekutif yang mempunyai kekuasaan mandiri berdasarkan hukum untuk melakukan tindakan-tindakan pemerintahan baik di lapangan pengaturan, maupun penyelenggaraan administrasi negara[12].
Menurut S. Prajudi Atmosudirdjo, Birokrasi (Bureaucracy) atau Administrasi Negara atau Tata Usaha Negara (TUN) meliputi tiga hal, yaitu[13]:
a.aparatur negara, aparatur pemerintah, atau institusi politik (kenegaraan);
b.fungsi atau aktivitas melayani atau sebagai kegiatan pemerintah operasional; dan
c.proses teknis penyelenggaraan Undang-undang.
Ketiga unsur tersebut dapat diwujudkan dalam kenyataan melalui aktivitas pejabat birokrasi atau “aparatur negara yang menjalankan tugas administrasi melalui pengambilan keputusan-keputusan administratif (administratieve beschikking) yang bersifat individual, kasual, faktual, teknis penyelenggaraan, dan tindakan administratif, yang bersifat organisasional, manajerial, informasional atau operasional.
Adapun yang dikategorikan sebagai pejabat birokrasi atau pejabat tata usaha negara berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah apa saja dan siapa saja berdasarkan peraturan perundang-undangan melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan. Dengan demikian yang menjadi patokan bukanlah kedudukan struktural pejabat atau organ yang bersangkutan dalam jajaran pemerintahan dan bukan pula nama resminya, melainkan fungsi urusan pemerintahan. Apabila fungsi yang dijalankan adalah urusan pemerintahan, maka oleh Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara dianggap sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara/Pejabat Birokrasi. Oleh karena itu, suatu Badan Hukum Perdata, misalnya Perseroan Terbatas (PT) atau Yayasan dapat dianggap sebagai Badan atau Pejabat Birokrasi, jika kepada Badan Hukum tersebut diserahi tugas menjalankan urusan pemerintahan[14].
B.Perbuatan Tidak Sah Aparat Pemerintah
1.Pengertian Perbuatan Aparat Pemerintah:
Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah dapat melakukan dua macam perbuatan yaitu; perbuatan biasa (feitelijkehandelingen) dan perbuatan hukum (rechtshandelingen). Perbuatan yang menjadi fokus dalam kajian hukum tata pemerintahan adalah perbuatan dalam kategori yang kedua, yaitu perbuatan hukum. Dengan kata lain, perbuatan hukum pemerintahan adalah perbuatan yang dilakukan oleh Badan atau Aparat/ Pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan. Dalam perbuatan hukum aparat tersebut terdapat beberapa unsur, yaitu[15]:
a.Perbuatan itu dilakukan oleh aparat Pemerintah dalam kedudukannya sebagai Penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuurs-organen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri;
b.Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan;
c.Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi;
d.Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat.
2.Kewenangan Perbuatan Aparat Pemerintah:
Menurut Prof. Dr. Muchsan, S.H, kewenangan dari aparat dapat dibagi menjadi dua macam yaitu kewenangan atributif dan kewenangan non atributif. [16]
a.Kewenangan yang bersifat atributif (orisinil) yaitu kewenangan yang diberikan secara langsung oleh peraturan perundang-undangan. Kewenangan atributif bersifat permanent atau tetap ada selama undang-undang mengaturnya. Misalnya Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU). Kewenangan ini secara langsung diberikan oleh Peraturan perundang-undangan yakni Pasal 5 ayat (1) Undang- Undang Negara Dasar Republik Indonesia 1945 amandemen IV. Gubernur berhak membuat Peraturan Gubernur sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004. Keabsahan dari kewenangan ini tidak perlu dipertanyakan karena sumbernya dari peraturan perundang-undangan.
b.Kewenangan yang bersifat non atributif (non orisinil) yaitu kewenangan yang diperoleh karena pelimpahan wewenang dari aparat yang lain. Kewenagan non atributif bersifat insidental dan berakhir jika pejabat yang berwenagan telah menariknya kembali. Misal penerbitan izin oleh Bupati atau Kepala Daerah seharusnya dilakukan oleh Bupati itu sendiri, namun pada saat Bupati tersebut tidak ditempat, maka dapat diwakilkan pada Wakil Bupati sebagai penjabat sementara.
Dalam politik hukum pelimpahan wewenang dibedakan menjadi dua macam yaitu mandat dan delegasi. [17]
§Dalam pelimpahan wewenang secara mandat, yang beralih hanya sebagian wewenang. Oleh sebabnya pertanggung jawaban ada pada pemberi dan penerima kewenangan.
§Dalam pelimpahan wewenang secara delegasi, yang beralih adalah seluruh wewenang dari delegans. Sehingga apabila ada penuntutan, maka yang bertanggung jawab sepenuhnya adalah penerima kewenangan.
3.Penyebab- Penyebab Tidak Sahnya Kewenangan Aparat Pemerintah untuk Melakukan Perbuatan Hukum:
Menurut pendapat Prof. Dr. Muchsan, S.H., kewenangan aparat pemerintah untuk melakukan perbuatan hukum menjadi tidak sah karena:
a.Alasan materi/ substansi (ratione materiele):
Kewenangan tidak sah karena materi/ substansi tidak termasuk dalam kewenangan aparat pemerintah tersebut.
Misalnya, berdasarkan Undang- Undang Dasar, Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang- Undang sedangkan Wakil Presiden tidak berhak.
b.Alasan wilayah hukum/ yurisdiksi wilayah (ratione locus):
Kewenangan tidak sah karena tempat kejadian perkara tidak termasuk dalam yurisdiksi aparat pemerintah tersebut. Misalnya, Polres Surabaya tidak wenang menangani kasus yang terjadi di wilayah hukum Polres Sidoarjo dan sebaliknya, meskipun yang menangkap tersangka adalah Polres Surabaya.
c.Alasan waktu (ratione temporis):
Kewenangan tidak sah karena telah lampau/ lewat waktu.
Misal suatu kasus telah terjadi pada waktu yang lampau dan baru diungkit sekarang, padahal berdasarkan peraturan perundang- undangan yang mengatur hal tersebut kasus tersebut telah daluarsa.
C.Konsekuensi Yuridis Perbuatan Tidak Sah Aparat Pemerintah
Dalam menjalankan tugasnya aparat pemerintah harus selalu berpedoman pada sah atau tidaknya kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum. Apabila kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum tersebut sah maka hasil perbuatan hukum (dalam bentuk pembuatan suatu keputusan atau produk hukum) tetap sah (legitimate) untuk dilaksanakan. Sebaliknya, apabila kewenangan untukmelakukan perbuatan hukum tersebut tidak sah (ilegitimate) maka timbul konsekuensi bahwa perbuatan hukum tersebut menjadi batal. Kebatalan tersebut dapat dijabarkan melalui teori kebatalan (nietig theorie) sebagai berikut:
1.batal mutlak (absolute nietig).
2.batal demi hukum (nietig van rechts wege).
3.dapat dibatalkan (vernietig baar).
Ketiga kemungkinan kebatalan diatas dapat ditinjau dari dua hal, yaitu
dari akibat hukum/ konsekuensi yuridis yang timbul dan dari pejabat/ aparat yang berwenang untuk menyatakan kebatalan.
1.Batal Mutlak (absolute nietig):
a.Konsekuensi yuridis: semua perbuatan hukum yang pernah dilakukan dianggap belum pernah ada sehingga keadaan harus dikembalikan seperti semula.
Misalnya, seseorang menyewa rumah pada orang yang berada dibawah pengampuan karena pemboros. Setelah perjanjian berjalan beberapa waktu ternyata pengampu dari si pemboros mengetahui hal tersebut dan meminta pembatalan pada pengadilan. Permintaan pembatalan tersebut dikabulkan oleh pengadilan. Karena hal tersebut maka perbuatan sewa-menyewa tersebut dianggap tidak sah dan harus batal.
b.Pejabat yang berwenang menyatakan kebatalan: hanya pejabat yudikatif saja.
2.Batal Demi Hukum (nietig van rechts wege):
a.Konsekuensi yuridis ada dua alternatif:
§Semua perbuatan hukum yang pernah dilakukan dianggap belum pernah ada.
§Sebagian perbuatan dinyatakan sah, sedangkan sebagian yang lain dinyatakan batal.
Misalnya, dalam kasus jaksa Agung Hendarman Supandji yang tetap bertugas walaupun telah lewat masa jabatannya. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Hendarman Supandji diberhentikan. Saat pembacaan putusan, MK menyatakan bahwa sejak palu putusan diketok maka Hendarman Supandji tidak lagi berwenang sebagai Jaksa Agung. Segala perbuatan hukum yang dilakukannya sebagai Jaksa Agung dalam kurun waktu akhir masa jabatan sampai dengan saat putusan dinyatakan tetap sah.
b.Pejabat yang berwenang menyatakan kebatalan: pejabat yudikatif dan eksekutif.
3.Dapat Dibatalkan (vernietig baar):
a.Konsekuensi yuridis: seluruh perbuatan hukum yang telah dilakukan dianggap sah. Perbuatan hukum yang belum dilakukan dinyatakan tidak sah.
b.Pejabat yang berwenang menyatakan kebatalan: pejabat yudikatif, eksekutif dan legislatif.
Berdasarkan hal tersebut timbul pertanyaan: “suatu perbuatan hukum termasuk dalam kebatalan yang mana?” atau “bagaimanakah menggolongkan/ mengklasifikasikan suatu perbuatan hukum dalam kemungkinan kebatalan?”. Untuk menggolongkan, dipakai kriteria- kriteria sebagai berikut:
a.Syarat mutlak (syarat yang harus ada):
Misalnya, syarat mutlak dalam perkawinan adalah “antara laki- laki dan perempuan”.
b.Syarat relatif (pelengkap):
Misalnya, syarat untuk menjadi hakim untuk laki- laki bertinggi badan minimal 165 cm.
Jika tidak memenuhi syarat mutlak maka suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh aparat pemerintah harus dinyatakan “batal seluruhnya” (absolute nietig) atau “batal demi hukum” (nietig van rechts wege).
Jika tidak memenuhi syarat relatif maka suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh aparat pemerintah harus dinyatakan “dapat dibatalkan” (vernietig baar).
Seorang filosof Jerman bernama Immanuel Kant mengatakan bahwa hukum seperti dua sisi suatu mata uang logam, pada salah satu sisi terdapat nilai “kebenaran menurut hukum” (recht matig) sedangkan disisi yang lain terdapat nilai kemanfaatan bagi rakyat (doel matig). Jika kedua aspek tersebut bertentangan maka hakim harus mengutamakan aspek kemanfaatan bagi rakyat (doel matig).
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Bahwa konsekuensi yuridis terhadap perbuatan aparat pemerintah yang tidak absah menurut hukum ada tiga kemungkinan, yaitu:
1.batal mutlak (absolute nietig).
2.batal demi hukum (nietig van rechts wege).
3.dapat dibatalkan (vernietig baar).
B.Saran
Dalam melakukan perbuatan hukum, aparat pemerintah harus selalu berpedoman pada:
1.Materi/ substansi kewenangan sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang- undangan atau dokumen pelimpahan kewenangan.
2.Yurisdiksi wilayah/ teritorial kewenangan kerjanya.
3.Batas waktu supaya tidak lewat dari yang ditentukan oleh
peraturan perundang- undangan.