Membaca berita berjudul “Israel Kecam Kesimpulan Sinode Katolik” di harian Surya edisi Senin, tanggal 25 Oktober 2010 membuat saya berpikir tentang konsep “Tanah Perjanjian” (the Promised Land) yang selama ini diklaim oleh penganut Zionisme. Secara umum, para penganut Zionisme menganut kepercayaan bahwa “Tanah Air Israel” (Eretz Israel) atau Zion yang wilayahnya dahulu termasuk wilayah kerajaan Israel Raya pada masa pemerintahan raja Daud dan penggantinya yaitu raja Salomo adalah tanah yang dijanjikan oleh YHWH/ Yahweh/ Jehova (sebutan orang Yahudi untuk TUHAN) kepada bangsa Israel melalui perjanjian dengan Abraham. Dalam sejarah, setelah pecahnya kerajaan Israel Raya menjadi kerajaan Samaria dan kerajaan Yehuda, penaklukan oleh kerajaan Babilonia yang diikuti pengasingan bangsa Israel keluar dari Zion yang kemudian diikuti penaklukan oleh kerajaan Persia, kerajaan Masedonia-Yunani dan akhirnya oleh kerajaan Romawi. Selama ribuan tahun bangsa Israel terpencar ke berbagai penjuru dunia dan hidup sebagai orang asing namun keinginan mereka untuk kembali ke tanah airnya dan membangun kembali negara Israel tidak pernah surut. Menjelang akhir abad ke-sembilan belas mereka mulai kembali ke wilayah Palestina.
Pemikiran untuk mendirikan kembali negara Israel diwarnai dengan perdebatan diantara orang Israel sendiri. Golongan ‘Teritorialis’ termasuk Theodore Herzl (bapak Zionisme dunia) menginginkan sebuah negara untuk orang Yahudi saja. Bertentangan dengan golongan “Teritorialis” adalah para pemikir seperti Ahad Ha’am dan Yitzhak Epstein. Dimulai oleh Ahad Ha’am pada tahun 1891, setelah kunjungan pertamanya ke Palestina, dalam sebuah tulisan mengutuk perilaku orang Yahudi yang terlalu ingin mengontrol dan kadang tidak bersahabat dengan etnis Arab (Alan Dowty, 2001, “A Question That Outweighs All Others”: Yitzhak Epstein and Zionist Recognition of the Arab Issue, Israel Studies, vol.6, no.1, 2001, Indiana University Press, hlm.34-54). Pada tahun 1893 dalam tulisan “Truth from Eretz Israel”, Ahad Ha’am kembali menegaskan bahwa etnis Arab bukanlah ancaman atau isu utama dalam pendirian negara Israel (Ibid).
Pemikiran Ahad Ha’am dipertajam oleh Yitzhak Epstein. Dalam pidatonya yang berjudul “Sebuah pertanyaan yang lebih penting dari lainnya” (A Question That Outweighs All Others) didepan ‘Ivriya’, sebuah asosiasi kebudayaan yang sedang mengadakan konvensi rutin dengan Organisasi Zionis Dunia (World Zionist Organization) di Basel, Swiss pada tahun 1905, Epstein memaparkan pemikirannya tentang sebuah negara Yahudi hidup berdampingan dengan komunitas Arab di tempat yang sama. Prinsip dasar pemikiran Epstein adalah bahwa golongan Zionis harus menghormati tidak hanya ‘hak- hak individu’ etnis Arab tetapi juga ‘hak- hak nasional’ mereka. Menurut Epstein, akar masalah yang dihadapi Zionis adalah konflik penguasaan tanah. Pembangunan pemukiman Yahudi tidak boleh menggusur pemukiman etnis Arab dan sebaiknya difokuskan pada wilayah yang belum dihuni. Sayangnya pemikiran tentang hidup berdampingan secara damai yang disuarakan oleh Epstein tenggelam oleh dominasi pemikiran Zionisme eksklusif yang dimotori oleh Theodore Herzl.
Dominasi Zionisme eksklusif semakin membuat Israel identik dengan Zionisme. Ide- ide pendekatan damai seperti yang dikemukakan oleh Yitzhak Epstein sepertinya semakin tertutupi oleh peristiwa penggusuran perumahan rakyat Palestina oleh buldozer Israel (termasuk yang menewaskan Rachel Corrie), pembangunan tembok pemisah, pembajakan kapal Mavi Marmara oleh Israel Defence Forces dan peristiwa – peristiwa lain yang sering diekspos oleh televisi- televisi di Indonesia. Sungguh menyedihkan melihat sebuah pemikiran objektif yang jika diterapkan puluhan tahun yang lalu mungkin dapat mencegah pertumpahan darah ternyata semakin terlupakan.
CATATAN:
Paragraf kedua dan ketiga dalam tulisan ini disarikan dari essai karya Alan Dowty yang berjudul “A Question That Outweighs All Others”: Yitzhak Epstein and Zionist Recognition of the Arab Issue.