Di Padang Tandus
Lima tahun yang lalu
“Bapa, aku ingin menjadi seperti saudara- saudaraku yang lain. Mereka luar biasa, perkasa, berani, cerdik dan bijaksana”, kataku mengungkapkan keinginan hatiku pada Bapa-ku.
“Kalau begitu pergilah ke padang gurun seorang diri. Aku akan mempersiapkan engkau disana”, jawab Bapa-ku.
“Bukankah padang gurun tempat yang tandus dan sunyi, Bapa?. Tidak bisakah Bapa mempersiapkan aku dirumah saja supaya aku bisa bersama- sama dengan saudara- saudaraku?”, kataku.
“Jikalau demikian maka engkau tidak akan pernah siap, anak-Ku”, jawab Bapa-ku.
“Kalau begitu baiklah, Bapa. Aku akan pergi ke padang gurun”, dengan berat hati aku mengikuti perkataan Bapa-ku.
Aku menapaki padang gurun yang tandus dan sunyi. Terik matahari menyengat tempurung kepala dikala siang dan dingin angin menusuk sampai ke tulang dikala malam. Sejauh mata memandang hanya hamparan pasir yang kulihat. Dahaga mencekik kerongkongan tetapi air sangat sulit didapat. Tiada kujumpai seorang pun disana hanya desau angin gurun yang menemaniku. Tiga bulan kemudian keputus asaan membuat aku kehilangan keteguhan hati. Kesendirian, kesepian, harus melangkah setapak demi setapak tanpa tahu arah tujuan tidak membuat hatiku semakin tenang. Benang kewarasan pikiranku sudah mulai terkelupas dan sedikit lagi akan putus. Sudahlah, aku sudah tidak mau lagi berjalan menapaki padang gurun. Aku menyerah kalah dan menghempaskan tubuhku diatas hamparan pasir menunggu maut menjemputku. Cukup sudah, kataku.
Dalam keadaan sekarat, seseorang mengangkat tubuhku dan membopongnya. Aku tahu itu Bapa-ku. Bapa membawaku keluar dari padang gurun memasuki kota. Di kota itu aku dirawat supaya keadaanku membaik. Ketika aku mampu membuka mata, kulihat Bapa-ku menunggui aku di tepi pembaringan. Aku tidak tahan berlama- lama menatap mata- Nya. Aku sudah gagal. Seandainya saja aku berhasil melalui padang gurun tetapi kenyataannya tidak. Kapasitasku ternyata jauh dibawah keinginanku. Bapa menggenggam lembut tanganku.
“Aku tetap akan mempersiapkan engkau, anak-Ku”, kata-Nya dengan penuh kasih.
Yogyakarta, 8 Oktober 2010. 00.30 WIB.
Direvisi 17 Oktober 2010.
Di Lembah Pertempuran
Empat tahun yang lalu
“Bersiaplah, Anak-Ku. Aku akan mengajar tanganmu berperang sehingga lenganmu dapat melenturkan busur tembaga”, Bapa berkata kepadaku.
Aku menelan ludah. Membayangkan kata ‘perang’ saja sudah membuatku kecut.
“Perang?”, tanyaku.
“Apakah tidak lebih baik Bapa menyuruhku tetap tinggal di rumah saja dan menggembalakan kawanan kambing domba milik Bapa?”, aku menyambung pertanyaanku dengan pertanyaan lain.
“Engkau sudah dewasa, anak-Ku. Laki- laki dewasa harus tahu berperang”, jawab Bapaku lembut.
Aku terdiam.
“Jangan takut. Tangan kanan-Ku akan menyokong engkau. Mata kakimu tidak akan goyah. Aku akan mengikat pinggangmu dengan keperkasaan untuk berperang”, Bapa sepertinya tahu ketakutan yang ada di hatiku.
“Baiklah, Bapa. Aku akan pergi hanya bila Bapa menyertai aku. Jikalau tidak demikian, janganlah suruh aku pergi”, jawabku sambil meminta jaminan.
Di tepi lembah pertempuran aku berdiri. Dibawah sana puluhan atau mungkin ratusan ribu tentara saling bertempur. Riuh pekik peperangan membahana. Di langit aku melihat ribuan anak panah melesat seperti hujan, mengincar nyawa- nyawa di depannya. Jantungku berdetak kencang. Keringat dingin menetes di keningku. Teror ketakutan mencengkeram hatiku. Ketopong yang menudungi kepalaku, baju zirah yang melilit tubuhku, perisai di tangan kiri dan pedang di tangan kananku tidak juga membuat hatiku tenteram.
Panji- panji dikibarkan. Saatnya pasukan kami terjun ke lembah pertempuran. Aku berusaha mengumpulkan serpihan- serpihan keberanian yang tersisa. Ku genggam erat perisai dan pedangku, kupaksa lututku yang sudah lemas melangkah. Kuteriakkan pekik peperangan. Hanya suara parau yang keluar dari tenggorokan. Sambil mengangkat perisai, aku menuruni lembah memasuki kancah peperangan.
Barisan terdepan pasukan musuh masih jauh. Kami terus berlari menerjang ke garis terdepan. Ribuan anak panah sedang melayang diudara seperti hujan deras. Aku mengangkat perisai menudungi tubuhku. Ketika gelombang anak panah pertama menghantam kami, mungkin ribuan prajurit di sisi kiriku tumbang dan ketika aku menoleh ke sisi kanan, kulihat mungkin sepuluh ribu prajurit sudah rebah.
Gentar! Aku semakin gentar! Kurasakan hatiku semakin mengkerut, lebih kecil dari biji sesawi mungkin! Baris terdepan infanteri musuh semakin mendekat. Aku tidak mau mati disini! Tidak saat ini, tidak besok, tidak kapan pun!. Aku memekik berusaha melepaskan diri dari cengkeraman ketakutan. Kugenggam erat- erat pedang di tangan kananku dan mulai mengayunkannya membabat prajurit musuh di depanku. Hujan panah masih turun dari langit dengan derasnya. Senjata dan perisai masih beradu. Seperti orang gila aku mati- matian berusaha bertahan hidup. Tetapi ketakutan terus membisikkan kata- kata rayuannya di telingaku dan perlahan kembali mencengkeram erat hatiku. Pasukan berkuda musuh tampak sedang mendekat, hatiku semakin goncang. Di titik terendah keberanianku, aku berbalik, berlari meninggalkan pertempuran. Kulemparkan perisai dan pedangku. Ketopong di kepalaku pun sudah entah ada dimana. Aku berlari sekencang- kencangnya menyelamatkan diri.
Aku terus berlari sampai aku sudah tidak kuat lagi. Di sebuah padang alang- alang aku ambruk terhempas. Tubuhku terkapar tanpa daya. Napasku sepertinya sudah mau putus. Mataku terpejam, tidak ingin aku melihat pertempuran lagi tetapi bayangan kengeriannya tetap melintas di pikiranku.
Kemudian kurasakan seseorang mengangkat tubuhku dan menaikkannya diatas hewan. Aku tahu orang itu adalah Bapaku. Ini perasaan yang sama seperti yang kurasakan tahun yang lalu ketika Bapa membawaku keluar dari padang gurun. Selama beberapa hari aku dirawat sampai pulih keadaanku. Ketika kubuka mataku, Bapa masih tetap duduk disisi pembaringan menungguiku. Kembali aku masih tetap tidak cukup berani memandang kedua mata-Nya. Perasaan galau karena kegagalan yang bukan sekali terjadi memenuhi hatiku. Bapa menggenggam lembut tanganku.
“Aku tetap akan mempersiapkan engkau, anak-Ku”, ucapan penuh kasih itu kembali ditujukan-Nya kepadaku.
Yogyakarta, 17 Oktober 2010. 14.18 WIB.
Kembali ke Padang Gurun
Tiga tahun yang lalu
Aku bersujud dihadapan Bapaku dengan muka sampai ditanah,
“Aku sudah gagal sebagai anak. Ijinkanlah hamba-Mu ini kembali ke padang gurun dimana Tuan bisa mempersiapkan aku”.
Tetapi Bapaku memeluk dan mencium aku dengan penuh kasih, kata-Nya,
“Anak-Ku, engkau tetaplah anak-Ku. Jikalau engkau sudah siap, pergilah ke padang gurun. Aku akan mempersiapkan engkau disana”.
Aku menanggalkan jubah, cincin meterai dan kasut yag diberikan Bapa kepadaku lalu mengikat pinggangku.
“Aku serahkan segala yang Bapa sudah, sedang dan akan berikan kepadaku. Aku akan memakainya kembali kelak setelah Bapa selesai mempersiapkan aku”, kataku.
“Jikalau memang itu keinginanmu, anak-Ku”, jawab Bapa-ku.
Aku melangkahkan kaki meninggalkan rumah menuju ke padang gurun. Diluar pelataran aku memalingkan wajahku sejenak memandang rumah Bapa-ku. Entah kapan aku akan pulang kembali kesini.
Padang gurun yang sama. Sengatan terik matahari yang sama. Tusukan dingin angin malam yang sama. Desau angin gurun dan kesunyian yang sama. Setapak demi setapak aku melangkahkan kakiku di hamparan gurun yang luas ini. Dalam kesendirian aku tidak merasa sepi karena aku tahu Bapa bersamaku. Hanya ada sedikit bekal roti dan air minum tetapi aku tidak merasa kekurangan karena aku tahu Bapa menyediakan. Hingga suatu ketika saat mataku terpejam, datanglah suatu bisikan,
“Hai anak manusia, mengapa engkau menyiksa diri di tempat ini? Bukankah engkau salah seorang putra dari Yang Maha Mulia? Mengapakah engkau harus kekurangan roti untuk dimakan dan air untuk diminum? Bukankah Bapa-mu sudah menyediakan segalanya? Mintalah supaya engkau jangan mati kelaparan atau kehausan disini”.
Bisikan itu begitu menggoda, ia masuk melalui telinga dan menyusup kedalam hati dan pikiran. Bisikan itu menghasut perut untuk merintih meminta pemeliharaan, merayu daging untuk melolong atas penderitaan.
“Kesempurnaan hidup manusia bukan hanya karena makan dan minum saja tetapi juga karena damai sejahtera akibat melakukan Firman-Nya”, aku memperkatakan ucapan Sang Putra, yang sulung dari kami semua. Ucapan itu bukan sekedar rangkaian kata- kata belaka tetapi sesuatu yang dituliskan-Nya di hati sanubariku melalui perjalanan ke padang gurun dua tahun yang lalu. Bisikan penuh dusta itu pun mundur, pergi dari hadapanku.
Ketika kubuka kedua kelopak mataku, kulihat Bapa sedang berdiri di hadapanku. Dia tersenyum kepadaku,
“Bagus, Anak-Ku. Aku bangga kepadamu”, kata-Nya.
Aku pun tersenyum. Kutatap kedua mata-Nya yang memancarkan aliran kasih. Kemudian Bapa mengulurkan tangan-Nya kepadaku,
“Marilah kita beranjak dari sini”.
Yogyakarta, 17 Oktober 2010. 15.05 WIB.