Oleh : Ali Arrida*
Nabi bergerak dari Makkah menuju Madinah—hijrah. Dan inilah falsafah pengaturan waktu dalam Islam—Hijriyah. Apakah substansi dan esensi hijrahnya Nabi Islam.? Makkah sudah congkak dan keras bagaikan batu. Nilai kemanusiaan sudah dilenyapkan itulah tradisi jahil—jahiliyah.
Madinah, peradaban yang maju dan menerima segala kebenaran Ilahiyah untuk ditransformasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Madinah sebagai simbol masyarakat madani, modern, open-mind terhadap keanyaran yang tidak bertentangan dengan nilai dan norma.
Nabi di Mekkah dan Nabi di Madinah tetaplah dia sebagai Nabi yang membawa wahyu Tuhan yang mengajarkan kebenaran sejatinya. Hijrah Nabi setiap waktu dilakukan dan setiap waktu adalah awal dari tahun Hijrah—Hijriyah. Setiap waktu Nabi berjalan dari Makkah menuju Madinah.
Makkah adalah mereka yang tidak menghendaki hukum Tuhan di muka bumi. Madinah, menyambut kerendah-hatian untuk merendahkan diri dihadapan Rabbi Makkah dan Madinah.
Teks-teks seperti Hijrah, Makkah, Madinah hanya serangkaian kata yang dimisalkan. Toh, nyatanya Makkah yang sampai saat ini simbol ke-islam-an seseorang karena letak Ka’bah di kota Makkah, Nabi lahir di Makkah. Lalu, mengapa saya umpamakan Makkah sebagai kecongkaan dan kekolotan?
Iya, jelas ini mengacu pada rentetan sejarah yang panjang ketika Bani Umayyah dengan kerasnya menentang Nabi bahkan berniat menghabisi nyawa Simbol Mahluk yang Amin dan penuh Akhlak ini.
Bisa saja Makkah kita umpakan sebagai kota manapun saja di dunia. Dan di kota itu terdapat pribadi-pribadi Abu Lahab, Abu Sofyan, dan Amr bin Abdu’it. Madinah juga sama. Namun penghuninya Anshor/penolong yang dermawan dan menerima segala kebenaran kontemporer.
Akhirnya kita beralih dari Makkah ke Madinah. Kita seperti Nabi yang seyogyanya ber-Hijrah dari kebisingan yang kotor dan penuh kecurangan menuju perdamaian. Kita adalah Abu lahab yang ingin menjadi Anshor. Kita adalah Muhajirin yang mengikuti kebenaran walaupun harus meninggalkan segala-nya bahkan yang urgent sifatnya seperti Tanah Kelahiran.
Menuju Madinah, awal kehidupan dan awal di mulainya umur kita. Karena sama antara manusia dan batu jika kita keras dan kolot bahkan jahil. Tapi ketika pintu hati kita buka dan mau Legowo, nerima kebenaran serta mengaplikasikan kebaikan di sanalah di mulainya hidup kita.
Memang, banyak arti tentang Hijrah-Nya Nabi Muhammad. Pertimbangan yang matang dan kesiapan yang secara strategi telah menyusun berbagai rancangan-rancangan setelah Hijrah atau saat di Madinah.
Islam yang memulai melalui utusannya sudah melampaui zamannya pada saat itu. Hijrah-nya Nabi merupakan langkah maju dan modern dari zamannya. Sehingga islam-lah yang mengawal zaman, bukan sebaliknya. Bukan berarti Hijrah menjadi indikator bahwa para Kafir-Qurays Makkah menjadi momok yang harus ditakuti oleh Nabi. Sehingga Nabi terlihat cengeng dan Hijrah ke Madinah. Rancangan dari segelumit strategi tersebut adalah pengembangan dan pembaruan bahkan perubahan pada masyarakat yang maju dan berwawasan luas. Jelas, ini bukanlah teknik untuk keluar dari peperangan akan tetapi menjadi pribadi-pribadi yang Aslam-Islam-sejahtera, penuh cinta dan kedamaian. Arti keberanian pun tersirat pada hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Makkah ke Madinah. Peperangan yang mengangkat senjata dan melucuti musuh-musuh serta membinasakannya bukanlah ajaran Islam dan bahkan Islam tidak datang untuk memusnahkan siapa saja yang tidak beragama Islam. Lebih dari itu Islam lahir sebagai Rahmatan Lil Alamin.
Makkah yang gersang kedamaian telah kehilangan oase yang tak pernah berhenti mengalirkan air kehidupan. Nabi sebagai penawar rasa haus Ilahiyah. Madinah telah dianugerahi Cahaya dari segala cahaya yang menerangi penghuninya dengan Rahmat Nilai yang tak terkirakan.
Will Durant dalam karyanya The Story of Civilization pernah bersaksi, “Tak ada peradaban yang mendatangkan kekaguman seperti peradaban Islam.”
Karakteristik paling promordialnya, yaitu mengakomodasikan tuntutan zaman. Karenanya, kemudian ada momentum hijrah dalam Islam; yang mengajarkan pada umat Islam untuk bergerak dari titik semula demi sebuah kemajuan peradaban mereka.
Gerakan Makkah ke Madinah bukan hanya gerakan transmigratif. Lebih jauh lagi, Hijrah terkait erat dengan kemajuan dan pembaruan (tajdid) dalam menghadapi tuntutan zaman dengan orientasi, akan tercipta suasana tertentu ke arah yang lebih baik di Madinah. Allah pun dalam Qur’an menyerukan agar Umat Islam ber-hijrah demi sebuah tatanan kehidupan yang lebih baik dan menjanjikan di masa depan (Q.S an-Nisa’: 100).
Sehingga, kita tentukan tinggalkan Makkah yang congkak dan jahil menuju Madinah yang modern dan maju. Di mana Makkah kita?, di mana Madinah kita? Hijrahkan diri kita dari kejahilan menuju peradaban modern dan maju yang Islami.