Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature

Bayarlah Utangmu pada Anak-Cucu!

4 September 2012   01:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:57 213 1

Kabayan yang punya kebun tak jauh dari kebun Ki Uking dan baru saja menyelesaikan pekerjaannya memangkas dahan pohon jengkolnya, menyempatkan diri untuk mampir dan mendekati Ki Uking. “Nanam pohon apa aja Ki?” tanyanya. Ki Uking menghentikan pekerjaannya sebentar, mendekati Kabayan, mengambil bekong (cangkir dari seng besar) yang berisi teh pahit kesukaannya, lalu meminum sebagian isinya. “Aah cuma nanam rambutan, duku, durian, sama kebetulan dikasih bibit matoa oleh si Ahyar...” jawab Ki Uking.

“Lah, kapan berbuahnya Ki, kalau hari ini baru ditanam?” tanya Kabayan. Ki Uking tersenyum, “Ya kalau yang cangkokan paling nggak lima tahun lagi, kalau yang bibit dari biji yang bisa puluhan tahun lagi...” jawabnya, “Memangnya kenapa?” Ki Uking balik nanya.

“Ya enggak, Aki kan sudah tua, punten (maaf) yeuh, apa sempat nanti menikmati hasilnya?” tanya Kabayan. Ki Uking tersenyum lagi, “Memangnya saya harus menikmati buahnya sendiri? Ya biar saja, nanti kan yang menikmati anak saya. Kalau nggak sempet ya cucu saya, kalau nggak sempet ya cicit saya.. yang pasti kan kalau pohon ini hidup dan berbuah, pasti ada yang menikmatinya, meski saat itu mungkin saya sudah jadi tanah, sudah jadi pupuk buat pohon-pohon yang lain...” jawab Ki Uking.

“Ya itu maksud saya. Aki kan kemungkinan nggak sempa menikmatinya, kenapa harus bersusah payah menanamnya?” tanya Kabayan lagi. “Nah itu...” kata Ki Uking, “Mumpung saya masih hidup, saya harus menanamnya sekarang. Kalau saya tidak menanamnya sekarang, saya berarti punya utang sama anak sama cucu saya...” lanjutnya. Kabayan melongo, “Maksudnya?” tanya Kabayan lagi.

Ki Uking duduk di atas tikar butut yang dipake buat alas beristirahat dan menyimpan bekalnya, lalu menyodori singkong rebus pada Kabayan. “Kamu sekarang kan sering menjual jengkol ke kota, dan penghasilannya kamu pake buat biaya sehari-hari. Apa pohon jengkol itu kamu yang nanam?” tanya Ki Uking. Kabayan menggeleng, “Yang nanam kalo nggak kakek saya ya buyut saya...” jawab Kabayan. “Nah itu... kalau sekarang kamu menikmati hasil tanaman jengkol kakekmu, belum tentu kan yang nanam sempet menikmatinya?” tanya Ki Uking, “Waktu kakekmu itu menanamnya, dia sudah tau, kalau dia belum tentu menikmati hasilnya. Tapi bukan berarti dia nggak sempat makan jengkol kan? Dia menikmati jengkol yang ditanam kakeknya juga. Nah, kalau dia menikmati jengkol hasil tanam kakeknya, maka kakekmu itu berutang sama cucunya, jadi dia juga menanamkan pohon jengkol yang lain buat cucunya, kamu....” kata Ki Uking.

Kabayan mengangguk-angguk. “Nah, sekarang, kamu kan sudah menikmati hasil tana jengkol kakekmu. Apa kamu sudah menanam jengkol lain supaya nanti anak cucumu bisa menikmati jengkol pula?” tanya Ki Uking lagi. Kabayan menggeleng, “Saya belum punya anak Ki, apalagi cucu...” jawab Kabayan. “Tapi bukan berarti kamu nggak punya utang jengkol sama anak sama cucumu nanti kan?” tanya Ki Uking lagi. Kabayan mengangguk, “Tapi apa hutang jengkol harus dibyar jengkol lagi? kalau misalnya saya ganti yang lain yang harganya lebih bagus misalnya, gimana?” tanya Kabayan.

“Ya terserah. Pokoknya kalau kamu diwarisi pohon apapun oleh leluhur kamu, ya kamu juga harus mewariskan pohon juga sama anak cucumu. Jangan serakah, jangan cuma mau menikmati warisan tapi nggak mewariskan apa-apa buat keturunanmu!” jawab Ki Uking. “Kalau kamu sudah menebang sepuluh pohon, minimal kamu punya utang untuk menanam sepuluh pohon lain buat keturunanmu. Sukur kalo lebih...” kata Ki Uking lagi.

“Tapi saya nggak pernah nebang pohon Ki, apalagi pohon jengkol...” kata Kabayan. “Tapi itu bukan berarti kamu nggak punya utang pohon. Walaupun kamu nggak nebang pohon, kamu tetap pake kayu kan? Kursi di rumahmu, jendela, tiang rumah, kayu bakar, pasti kamu make. Berarti kan tetap saja kamu punya utang...” kata Ki Uking lagi. “Kamu bayangkan coba, kalau semua orang sekarang nggak mau bayar utang, sementara mereka semuanya make hasil tanaman, dalam bentuk apapun, buahnya, kayunya, getahnya, apanya lah. Gimana nasib anak cucu kita? Kasian kan kalao mereka nggak diwarisi apa-apa karena kita sudah menghabiskannya....“

Kabayan mengangguk-angguk. “Iya ya Ki, saya kok baru kepikiran sekarang kalau saya punya utang buat keturunan saya...” katanya. “Nah itu...” kata Ki Uking, saya punya banyak utang sama anak cucu saya. Saya nggak bisa menghitungnya. Tapi paling tidak, di sisa umur saya, saya berusaha untuk membayarnya, meski mungkin itu belum bisa dikatakan impas atau lebih...” kata Ki Uking lagi.

“Kalau saya nanti nggak punya anak apalagi cucu, gimana Ki?” tanya Kabayan. Ki Uking manyun, “Memangnya kakek buyutmu itu juga tau kalau mereka akan punya cucu kayak kamu? Enggak kan? Soal punya turunan atau tidak, itu nggak berarti kamu nggak punya utang, karena bagaimanapun kamu sudah menikmati warisan nenek moyangmu, kamu tetap harus membayarnya...” jawab Ki Uking.

Kabayan cengar-cengir, “Iya ya, kakek saya aja nggak pernah liat cucunya yang ganteng ini, dia keburu meninggal sebelum saya lahir...” kata Kabayan. Ki Uking manyun, “Yang ada kakekmu mungkin nyesel, punya cucu pikasebeleun (nyebelin) kayak kamu!”

Kali ini giliran Kabayan yang manyun, “Iya lah Ki, nanti saya bayar utang saya...” katanya. “Kok nanti, sekarang. Mumpung kamu masih hidup!” kata Ki Uking. Kabayan nyengir, “Iya Ki, ntar saya tanam, tapi saya minta bibitnya ya...” kata Kabayan. Ki Uking manyun, “Yang punya utang kamu kok saya yang harus bayar....” katanya sambil ngeloyor, melanjutkan pekerjaannya.

Jogja, 4 September 2012

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun