Dan kayaknya memang begitu, bukan karena Kabayan. Buktinya, Nyi Iteung irit banget ngomongnya. Yang disapa pertama juga bukan Kabayan, tapi Ua Barhum. “Wa, makan dulu nih, saya bawain goreng mujaer sama rujak lobi-lobi biar seger!” katanya tanpa melirik Kabayan yang cengar-cengir kepedean. Meski nggak disapa, Kabayan tetep seneng, paling nggak Nyi Iteung masih merhatiin dia meski mungkin agak-agak terpaksa. Dan yang cukup membuat Kabayan senang, karena ternyata Nyi Iteung masih mengirim salah satu makanan kesukaannya; rujak lobi-lobi! Tengah hari makan rujak lobi-lobi, pasti seger!
Lobi-lobi (flacourtia inermis), sekarang sudah jadi buah yang langka, sama langkanya dengan buah-buahan kampung lainnya seperti jamblang (syzygium cumini), pukih (cynometra cauliflora), kupa (syzygium polycephalum), cecendet (physalis angulata), dan buah-buahan lain yang sudah mulai jarang ditemukan. Pohon buah-buahan itu memang habis bukan dengan sendirinya, kebanyakan memang ditebang dan diambil pohonnya untuk bangunan atau kayu bakar dan jarang yang mau nanam lagi gara-gara buahnya nggak populer seperti rambutan, duku, manggis, atau durian. Tapi justru karena kelangkaannya itulah, rujak lobi-lobi yang diantarkan oleh Iteung menjadi sangat istimewa.
Buah lobi-lobi itu berbentuk bulat, diameternya kurang lebih satu sampe tiga sentimeter, warnanya bulat denan warna merah kekuningan hingga merah tua. Sepintas, kalau orang yang tidak tau, pasti akan menyangka buahnya manis banget, tapi setelah menggigitnya, pasti semuanya bakalan nyengir karena asem dan sepat, belum lagi bijinya yang banyak. Sepintas, buah lobi-lobi itu seperti buah rukem (flacurtia rukam) yang sama langkanya. Bedanya, rukem tidak seasem lobi-lobi, dan nggak terlalu cocok dijadikan rujak. Nah, karena rasanya yang asem itulah yang membuat lobi-lobi di kampung Kabayan hanya bisa dinikmati sebagai rujak, meski di tempat lain ada yang diolah menjadi manisan atau selai.
Bahan rujak lobi-lobi tidak berbeda dengan rujak lain, gula aren, garam, terasi, cabe, dan kalau suka, bisa ditambahkan dengan honje (kecombrang/etlingera elatior). Tapi jika merujak lobi-lobi, jangan model rujak buah lainnya yang buahnya diiris lalu dicocol ke sambelnya, karena rasa asem lobi-lobinya kurang menyatu. Jadi paling cocok adalah dengan model rujak bebek (tumbuk) kasar, sehingga buahnya ikut hancur dan berbaur rasanya dengan bumbu. Hal yang sama bisa dilakukan dengan membuat rujak kupa. Rujak lobi-lobi juga lebih asyik tidak dibaurkan dengan buah-buahan lain, alias dirujak sendirian. Kalaupun mau dicampur, campurlah dengan buah-buahan yang mempunyai citarasa asam lain, seperti nanas, kupa (gohok), dan atau ‘semanis-manisnya’ dengan belimbing.
Nah, ternyata rujak lobi-lobi yang dibawakan Nyi Iteung juga seperti yang digambarkan tadi, lengkap dengan honjenya, jadi rasanya asem-asem seger dengan aroma has honje alias kecombrang itu. Sayang, Nyi Iteung tidak bersedia menemani Kabayan menikmati hidangan super seger itu. Ia pamitan setelah menaruh makanan dan meninggalkannya begitu saja. Akhirnya Kabayan menikmatinya berdua saja dengan Ua Barhum. Setelah menyantap habis nasi dengan lauk ikan mujair goreng, mereka langsung menyikat hidangan penutup yang menyegarkan itu. Ua Barhum yang giginya sudah langka pun –selangka buah lobi-lobi, hehe—masih bersemangat menikmatinya, meski gusinya harus berjuang melawan biji lobi-lobi yang sesekali mampir.
“Edun Yan rujak lobi-lobinya...” kata Ua Barhum sambil menyeka keringetnya yang bercucuran, entah keringet karena habis capek kerja, kepanasan, dan ditambah lagi kepedesan. “Lama saya nggak pernah makan rujak lobi-lobi lagi, sudah langka pisan sekarang mah...” tambahnya sambil menyeruput bumbu cair dari wadah pincuk daun pisang yang dipakainya. “Di mana yang masih ada pohonnya Yan?” tanya Ua Barhum.
Kabayan menjawab sambil megap-megap, “Di belakang rumah Abah, masih ada dua pohon...” katanya. “Waah jangan sampe ditebang Yan, sayang. Paling tidak biar anak-anak sekarang tau yang namanya buah lobi-lobi, bukan hanya tau buah-buahan impor. Padahal kan buah-buahan kampung lebih nikmat, khasiat dan gijinya juga sama!” kata Ua Barhum.
Kabayan melirik Ua Barhum, “Memang khasiat lobi-lobi apaan Wa?” tanyanya. “Banyak Yan, salah satunya menyembuhkan orang ngidam!” jawab Ua Barhum. “Salah duanya?” tanya Kabayan lagi. Ua Barhum mengernyitkan dahinya lalu menjawab, “Menyegarkan badan!”
Kabayan tidak bertanya lagi, soalnya ia yakin, jawaban Ua Barhum pasti akan tambah ngaco. Ia memilih untuk menghabiskan rujak lobi-lobi yang masih tersisa. Segeeeer!