Mohon tunggu...
KOMENTAR
Foodie

Angeun Tutut Chef Kabayan

11 Februari 2012   13:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:46 2022 1

Setelah berhasil mengumpulkan tutut seember (tujuannya sih bukan hanya untuk memenuhi hasrat ngidam si Iteung, tapi karena pada dasarnya Kabayan juga doyan makan angeun tutut itu), Kabayan pun pulang ke rumah. Iteung kemudian menyuruh suaminya untuk menyiapkan segala sesuatunya. Setelah merendam tutut dalam ember penuh air –berdasarkan pengalaman, semakin lama tutut direndam, semakin baik, karena tutut akan mengeluarkan kotorannya sebelum dimasak nanti. Kabayan lalu menyiapkan bumbu-bumbu seperti yang disebutkan Iteung; bawang merah, bawah putih, kunyit, kemiri, daun salam, laos, sereh, dan daun bawang. Kadang-kadang Iteung memasaknya dengan menambahkan santan, tapi kali ini Iteung sedang ingin memasaknya dengan bumbu kuning, katanya.

Setelah direndam, Kabayan mulai membersihkan tutut yang didapatnya dengan cara menggosok cangkangnya hingga bersih, lalu memotong sedikit ujung rumah tutut untuk membuang kotorannya, sekaligus berfungsi sebagai saluran udara saat tutut dicok-crok (cara makan tutut disedot-sedot dengan sedikit tenaga) nantinya. Lubang itu juga berfungsi sebagai celah masuknya bumbu, karena biasanya bagian depan tutut akan tertutup rapat beserta ‘pintu-nya.’

Beres dengan tutut, Kabayan mulai menggarap bumbunya. Biasanya sih si Iteung yang mengerjakan semuanya. Tapi kali ini spesial, Kabayan pun rela melakukannya. Kabayan memasukkan 8 siung bawang merah, 8 siung bawang putih, kunyit segede kelingking, dan 6 butir kemiri, ke dalam cowet (cobek) dan mulai menguleknya. Setelah halus bumbu tadi segera ditumisnya. Saat tumisan sudah menyebarkan aroma harum, Kabayan memasukkan tutut yang sudah dibersihkan tadi ke dalam penggorengan, lalu menambahkan air secukupnya, daun bawang, garam dan gula secukupnya. Karena ia tahu si Iteung doyan pedes, Kabayan pun menambahkan beberapa butir cabe rawit utuh.

Saat Kabayan asyik memasukkan kayu bakar ke dalam hawu (tungku ranah liat), Nyi Iteung menghampirinya, membuka tutup penggorengan dan mencicipi masakan buatan suaminya. Tanpa banyak komentar, ia ‘memperbaiki’ kekurangan-kekurangan dari masakan suaminya, entah itu menambahkan gula atau garamnya. Yang jelas, masakannya itu tanpa penyedap rasa (buatan), karena semuanya sudah sedap dari sananya.

“Masih lama ini teh, Teung?” tanya Kabayan yang ikut mencicipi masakannya sendiri. Boleh juga rasanya. “Lima menitan lagi!” jawab Iteung. Nah, setelah 15 menitan dimasak, akhirnya angeun tutut bumbu kuning a la chefKabayan itu sudah siap untuk disajikan. Kabayan pun menyajikannya ke hadapan istrinya tercinta yang sudah menunggu dengan nasi putih pulen yang masih hangat karena baru di-akeul (baru masak terus dikipasi), tak lupa disertai sambel goang –sambel yang hanya terdiri dari ulekan cabe rawit plus garam saja.

Kabayan dan Iteung pun makan dengan lahap sampe monyong-monyong karena harus nyokcrok tutut (Saran buat yang tidak ahli nyokcrok, gunakanlah pencukil dari lidi atau tusuk gigi baru dan bersih untuk mengeluarkan daging tututnya. Terus, jangan sekali-kali membuka tutut dengan menggigit cangkangnya, karena bisa melukai mulut. Lebih-lebih kalo sampe memakan tutut sekalian cangkangnya! Catatan lain, kadang-kadang ada tutut yang sedang beranak, jadi ketika dikunyah ada yang gregel-gregel kayak mengunyah pasir. Saran Kabayan, makan saja anak tutut beserta rumahnya itu, selain rumahnya masih kecil dan bersih, konon mengandung kalsium yang baik buat membangun rumah, eh baik buat tulang dan gigi).

Setelah selesai makan dan teurab (sendawa) saking nikmatnya, Kabayan mendekati Nyi Iteung, “Kapan kita ke Puskesmas buat periksa si Utun Inji?” tanyanya sambil mengusap-usap perut istrinya yang sedikit membulat. “Siapa yang hamil?” Iteung malah balik nanya. Kabayan mengernyitkan dahinya, “Lah, tadi katanya ngidam...”

Iteung nyengir, “Memangnya harus hamil dulu baru boleh ngidam tutut?” tanyanya santai. “Kemarin kan kamu muntah-muntah, bukannya hamil?” tanya Kabayan dengan nada setengah protes. “Pan Akang tau sendiri, saya muntah gara-gara masuk angin, kemarin habis dari kebon kehujanan...” jawab Iteung. “Terus, kenapa perutmu buncit waktu saya pegang barusan?” Kabayan masih nggak percaya dengan jawaban Iteung. “Ya gimana nggak buncit atuh Kang, saya kan makan tutut habis sebaskom!”

Kabayan mengurut dada nahan jengkel. Kalau saja ia nggak ikut menikmati angeun tututnya, pasti dia sudah ngamuk-ngamuk ‘dikerjain’ si Iteung!

Jogja, 11 Pebruari 2012

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun