Senja pada hari kemaren bisa jadi senja paling terang yang aku saksikan. Disana, di ufuk barat yang temaram sesosok bintang senja berdiri menerangi sore yang beranjak menghitam. Tak pernah ada seperti biasa, tapi ini terjadi begitu nyata. Aku yang terpana dengan kilaunya tak kuasa menahan bahagia, sepertinya bintang memang ada karena asa. Kian lama kupandang, ia kian indah. Tak ada keraguan dalam rasa, tak ada kebimbangan dalam suka. Bila jadinya harus ada sesal dalam suka, mungkin diamlah yang menyebabkannya luka. Aku yang terpaku mematung karena menyaksikan keindahan paras bintang harus menerima kenyataan bahwa malam semakin dekat dengan kegelapan. Lambat-lambat bintang senja pun pergi, kembali sirna bersama hadirnya cahaya bulan musim hujan. Berlalu sudah satu-satunya bintang senja yang aku saksikan seumur hidupku. Bintang terindah, bintang tercerah dan bintang terbaik. Bintang pada akhirnya harus aku abadikan dalam bingkai perjalanan, tanpa tahu harus menyebutnya apa bintang aku sapa dengan ana. Ana yang disana tanpa kembali.