Entah ini perlu diceritakan atau tidak. Tapi, video terakhir yang saya tonton---video bu Irma S. Chaniago berdebat dengan Rocky Gerung di ILC---betulan bikin saya mikir. Kita semua tau. Setiap kali kita klik video Rocky Gerung, maka isinya sudah bisa ditebak. 20% isinya gagasan, sisanya debat-debat gak perlu.
Di video itu, Bu Irma yang kekeuh menolak argumen Rocky mendidih darahnya.
"Anda ini mengkritik dan bilang Pak Jokowi dungu, memangnya anda lebih pintar dari Pak Jokowi?" Tegas Bu Irma.
Dahi saya mengernyit lalu dengan sembrono nyeletuk, "Lha, memangnya sejak kapan kalau mau mengkritik kita harus lebih pintar dari yang dikritik?".
Omongan Bu Irma bagi saya jelas adalah omong kosong.
Membedakan kritik dengan hinaan adalah persoalan kedewasaan. Boleh setuju, boleh juga tidak. Tapi, ini penting karena kritik adalah mekanisme utama melawan status quo. Hadirnya kritik justru bagus untuk memastikan bahwa oposisi tetap berlaku dan melakukan fungsi kritisnya.
Jadi, sebetulnya gak ada soal bagaimana menyakitkannya kritik yang disampaikan. Karena pada hakikatnya, kritik  ya harus dilihat pada fungsinya sebagai sebuah gagasan saja. Bukan masalah personal dan bukan pula persoalan orang tersebut suka atau tidak suka.
Kritik Gak Pandang Bulu
Bersyukurlah kepada Allah, juga pada demokrasi. Karena kalau bukan karena dua itu, kita tidak bisa bebas berpendapat. Di mata demokrasi sudah jelas bahwa suara Professor sederajat dengan suara petani. Suara saya, sederajat dengan suara anda. Tapi, kenapa kritik dibatasi oleh kelas-kelas palsu tadi? Kenapa masih ada anggapan bahwa kalau mau mengkritik maka kita harus lebih baik dari yang dikritik? Kenapa masih ada salah nalar bahwa kalau mau mengkritik kita juga harus lebih suci dari yang dikritik?
Logika itu tidak boleh dibenarkan. Demokrasi menjamin suara kita. Semua bebas mengkritik. Tidak perduli lebih miskin, lebih jelek, atau lebih bodoh.
Logikanya juga gak masuk akal. Kalau kritik harus bersyarat lebih baik, maka kira-kira begini logikanya:
Masa iya, kita harus jago bikin rendang dulu kalau mau bilang rendangnya Pak Saripno gak enak?
Istilah kritik yang membangun juga bagi saya adalah persoalan yang mesti diperbincangkan lebih jeruh. Kritik yang membangun awalnya populer pada orde baru. Istilahnya jelas politis. Digaungkannya istilah itu adalah upaya untuk membuktikan bahwa rezim tidak anti kritik.
Pertanyaannya, memangnya ada kritik yang membangun?
Istilah itu bagi saya cuma halus-halusan saja. Istilah untuk mengurangi sakit hati dan anggapan personal. Supaya antara yang dikritik dan yang mengkritik tidak bermusuhan---yang bagi saya sangat aneh. Kalau kita merujuk pada definisinya yang paling sederhana, kritik bahkan menurut KBBI sangat jauh dari istilah bangkit, tumbuh, atau membangun. Itulah juga mengapa saya sependapat dengan Daniel Dhakidae. Menurut Daniel, kritik memang harus tajam dan menghujam. Kalau yang dikritik sakit hati, ya memang begitulah sifat kritik. Menjalar sampai ke akar. Menguliti sampai ke luar.
Daniel cukup keras mengatakan bahwa kritik tidak seharusnya dan memang tidak perlu digabung-gabungkan dengan membangun. Karena itu bertolak belakang. Mirip dengan bagaimana kita mengatakan malam yang siang. Hitam yang putih. Dan sebagainya, dan sebagainya.
Dalam konteks tertentu yang berkaitan dengan pemangku kebijakan, pengkritik tidak perlu repot mencari-cari solusi. Karena itu sudah konsekuensi logis pemangku kebijakan. Kalau hendak membantu. Maka cara paling bijak bagi saya adalah melalui kritik.
Makanya, ketimbang menggunakan istilah "Kritik yang Membangun", Daniel lebih memilih menggunakan istilah "Membangun dengan Kritik".
Karena dengan kritik, maka yang akan diperbaiki adalah bukan orang sebagai individu biasa. Tapi, orang dalam kapasitasnya sebagai pemangku kebijakan. Oleh karenanya, seharusnya ketika kritik berjalan, maka ia dapat dengan mudah dan lapang diterima.