Bicara soal NU dan Muhammadiyah menurut saya sebenarnya sama halnya dengan bicara The Avengers atau Justice League karena keduanya sama-sama kumpulan superhero yang punya misi menyelamatkan dunia. Ya meskipun agak dipaksakan dengan analogi The Avengers dan Justice League, NU dan Muhammadiyah dalam hal ini sama-sama punya itikad baik sebagai organisasi islam dalam membangun Indonesia yang lebih baik. Keduanya saling melengkapi. Para pendirinya, bahkan belajar di guru yang sama. Lalu apa yang membedakan?
Ada banyak hal fundamental yang bisa kita bahas kalau mau bicara perbedaan NU dan Muhammadiyah, karena yang pasti, keduanya beda strategi dakwahnya, dan hal-hal lain yang saya tentu nggak begitu paham. Salah satu hobi masyarakat kita yang paling njengkelke menurut saya adalah gak tau kenapa orang kita suka sekali membeda-bedakan dan membanding-bandingkan.
Baik itu ibu-ibu yang suka bandingin anaknya dengan anak tetangga, mertua yang suka banding-bandingin pekerjaan menantu dengan menantu yang lain.
Yang jelas, di masyarakat kita hari ini, timbul banyak sekali dikotomi lucu yang membedakan NU dengan Muhammadiyah. Sepengalaman saya, ini tiga dikotomi yang populer, yang bisa jadi Anda temukan di wilayah Anda.
Muhammadiyah Puasa Duluan, NU Nyusul
Saya rasa ini dikotomi yang paling menyenangkan. Sebagaimana kita tau bahwa dalam menentukan awal bulan syawal, Muhammadiyah menggunakan metode hisab, dan NU menggunakan metode rukyat. Oleh karenanya, tak jarang ada perbedaan dalam waktu merayakan hari raya yang istimewa tapi kadang bikin jengkel karena biasanya ramai pertanyaan "Kapan nikah?" Itu. Menyikapi perbedaan ini, masyarakat kita santai. Kadang, ada yang kreatif dengan ikut yang mulai puasanya lebih lama, dan kemudian mengakhiri dengan yang puasanya selesai duluan. Dalilnya satu. "Loh, kan dua-duanya benar?"
NU Smoking, Muhammadiyah No Smoking
Saya tidak merokok. Pertama, mungkin karena orang tua saya tidak merokok. Kedua, mungkin karena saya kekeh dan punya pendirian untuk tidak merokok. Dan yang ketiga, karena saya Muhammadiyah. Â Begitu kira-kira guyonan kawan saya yang salat subuhnya baca qunut lengkap. Dalam urusan rokok, Muhammadiyah berpandangan bahwa rokok itu haram. Bahkan belakangan ini Muhammadiyah juga mengeluarkan fatwa bahwa rokok elektrik juga haram. Tapi meskipun begitu, masyarakat kita memang sejak bangsa ini ada, sudah punya sifat rebel. Kalau gak melawan, gak merdeka.
Muhammadiyah memang mengeluarkan fatwa haram, tapi warga Muhammadiyah sendiri juga tidak sedikit yang merokok. Warga NU pun begitu, tidak sedikit juga yang tidak merokok. Saya juga gak begitu paham sejak kapan dikotomi ini ada. Tapi dikotomi ini jadi lucu karena akhirnya tiap organisasi islam ini jadi punya lubang untuk kemudian bisa saling mengisi.
NU Qunut, Muhammadiyah Langsung Sujud
Saya tinggal di lingkungan yang banyak warga NUnya. Kebetulan rumah saya sangat dekat dengan wilayah paling sakral, masjid dan musala. Saat masih piyik, saat kulit saya masih segosong isu yang digoreng abang-abang makelar politik kampus, saya sering sama kawan-kawan kecil menginap di musala. Terutama waktu bulan puasa, beuh asyik.
Hal yang masih saya ingat jelas adalah bahwa saya gak tau kalau kawan-kawan saya yang notabene NU, salat subuhnya baca qunut.
Waktu itu saat sedang asyik menginap di musala, saya dibangunkan dari tidur. Setelah setengah nyawa saya terkumpul, saya beranikan diri untuk ambil air wudhu lalu salat subuh. Sampai tiba saatnya saya hendak sujud, dengan pedenya saya asal nyelongsor. Teman-teman saya yang sedang khusyuk baca qunut, mendadak cekikikan menahan tawa. Cuk! Malunya! Saat teman-teman saya baca qunut, saya malah langsung sujud!
Di ulang tahun NU yang ke 94 tahun ini, sebagai warga Muhammadiyah saya turut senang. NU dan Muhammadiyah sejak lama bersinergi. Sebagai organisasi Islam, NU dan Muhammadiyah harus terus bisa membingkai nuansa keislaman yang nyaman. Saling menyokong, saling melengkapi. Saya bersyukur NU pernah lahir. Karena kalau tidak, saya mungkin tidak kenal dengan Cak Nun yang sangat produktif menulis esainya. Atau mungkin saya tidak bisa menikmati tulisan Gus Mul yang menggelitik. Bagaimana di daerah Anda? Adakah dikotomi lain yang menguatkan keberagaman kita?