Ungkapan Socrates ini sangat tepat jika ditinjau dari perspektif pembelajaran yang membebaskan, sebagaimana dirumuskan oleh Paulo Freire, seorang pakar pendidikan asal Brasil. Freire memandang pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan dari guru ke murid, melainkan sebagai proses yang memanusiakan dan memerdekakan manusia. Dalam pandangan ini, murid dianggap sebagai subjek yang memiliki potensi besar berupa kemampuan berpikir dan berkreasi.
Pendekatan ini menekankan bahwa setiap individu harus dihargai potensinya untuk berpikir mandiri. Namun, untuk mencapai pemikiran mandiri, murid perlu diajarkan atau lebih tepat dilatih agar terbiasa berpikir kritis dan tidak selalu mengandalkan guru. Dalam konteks ini, peran guru menjadi sangat krusial. Guru tidak hanya sekadar menyampaikan materi pelajaran, tetapi juga menjadi fasilitator yang membantu murid untuk menemukan cara berpikirnya sendiri.
Untuk mewujudkan hal ini, dibutuhkan ketangguhan dan kesabaran dari seorang guru. Tidak jarang, guru terburu-buru menyimpulkan bahwa murid masih sulit diandalkan untuk mampu berpikir mandiri. Padahal, kemampuan berpikir kritis ini memerlukan latihan terus-menerus. Seperti halnya otot yang harus dilatih secara berkala agar kuat, begitu pula dengan kemampuan berpikir yang harus diasah secara konsisten.
Oleh karena itu, untuk membuat murid mampu berpikir mandiri, diperlukan proses pembelajaran yang tidak hanya mengandalkan metode ceramah atau pengajaran satu arah. Guru harus kreatif dan inovatif dalam merancang strategi pembelajaran yang melibatkan murid secara aktif. Diskusi, debat, proyek kelompok, dan metode pembelajaran berbasis masalah adalah beberapa contoh cara yang bisa digunakan untuk merangsang kemampuan berpikir kritis murid.
Perkataan Socrates ini memang tidak bisa dipahami secara hitam-putih. Ini bukanlah pilihan antara mengajar murid atau membuat murid berpikir. Kedua hal ini harus dipandang sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Mengajar bukan hanya sekadar transfer pengetahuan, tetapi juga membimbing murid untuk menemukan cara berpikir yang efektif.
Dalam konteks ini, tugas mengajar tidak lagi sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga memfasilitasi proses berpikir. Guru harus mampu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, di mana murid merasa dihargai, didorong untuk bertanya, dan diberikan ruang untuk mengeksplorasi ide-ide mereka sendiri. Dengan demikian, murid tidak hanya menjadi penerima pasif informasi, tetapi juga menjadi individu yang aktif dan kritis dalam berpikir.
Pada akhirnya, pembelajaran yang membebaskan seperti yang digagas oleh Paulo Freire dan Socrates adalah pembelajaran yang memerdekakan pikiran dan jiwa. Ini adalah proses yang panjang dan menantang, tetapi hasilnya akan melahirkan generasi yang mampu berpikir mandiri, kritis, dan kreatif.