Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Cari “Harta Karun” di Balai Lelang

30 Agustus 2012   20:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:07 1094 2

Kompasianers ada yang hobi blusukan di tukang loak? Dulu, sewaktu menetap di Jakarta dan masih piyik, saya sering diajak almarhum kakek saya keliling di Jalan Surabaya. Eyang kakung betah berjam-berjam mencari kerajinan kuningan kesayangannya dan peti kayu jati tua. Saya sih anteng-anteng aja, kan setelah itu bakal ditraktir es krim di sekitar Jalan Veteran.

Barangkali, karena keseringan melihat lapaknya penjual barang antik, kegemaran mendiang opa ini lambat laun menurun ke cucunya. “Buah apel jatuhnya enggak jauh-jauh dari pohonnya,” begitu peribahasa orang Belanda. Saya pun ‘ketularan’ mbah kakung dan mulai senang ngabuburit mencari piringan hitam dan komik kesayangan selepas jam sekolah.

Tak terhitung berapa kali koleksi buku dan LP saya ‘pindah tangan’. Tak mungkin membawa seluruh kardus dan tumpukan itu sewaktu saya ‘hijrah’ ke Belanda. Saya relakan semuanya, daripada terbengkalai dimakan rayap dan jamuran. Toh masih ‘beredar’ dan dirawat oleh anggota keluarga juga. Itung-itung daur ulang dan belajar hidup sustainable.

Sejak menetap di Amsterdam, kebiasaan ini terus berlanjut. Pucuk dicinta, ulam tiba… Ibukota Belanda ini ternyata ‘biangnya’ pasar loak, garage sale, dan balai lelang. Setiap 30 April atau Hari Ratu, seluruh Belanda berubah menjadi ‘pasar rongsokan nasional’. Tiap orang diperbolehkan ‘gelar tikar’ dadakan. Bukan hanya penduduk lokal, turis pun tumpah-ruah mencari ‘harta karun’.

Pasar barang bekas, tukang loak, dan garage sale—baik terorganisir maupun kagetan—mungkin di Indonesia sudah lazim. Kompasianers ada yang pernah iseng pergi ke balai lelang? Bukan pelelangan ikan, lho… Hehe.. Saya pernah punya anggapan, auction house seperti ini hanya untuk kaum the happy few alias gedongan. Usut punya usut, balai lelang ini terbuka kok bagi semua orang.

Tak sengaja, saya pernah kelayapan dan mampir ke salah satu rumah lelang di Amsterdam. Saya sebetulnya enggak niat menawar barang. Tapi, di katalog yang dibagikan oleh penerima tamu, tersembul foto kain songket asal Bukittinggi yang mencuri perhatian. Setelah sepintas melihat kain itu, saya pun masuk ke aula dan memperhatikan kerumunan pengunjung.

Tamu-tamu itu amat beragam: ada remaja berjaket lusuh berambut gimbal sedang meneliti piring antik sembari ber-SMS, ibu-ibu paruh baya bermantel bulu ditemani anjing tekel mencermati pahatan lampu kristal, dan pemuda berkulit hitam berambut ikal mencoba piano di sudut ruangan. Pendek kata, semua orang welcome.

Aula merangkap gudang itu sengaja dibagi-bagi dengan sekat berwarna merah: ada bagian mebel klasik, ruang lukisan, lampu, pecah-belah dapur, mainan, dan barang tak bertuan. Yang terakhir ini kebanyakan adalah kopor-kopor dari Bandara Schiphol. Bagasi tertinggal atau tak bertuan itu sudah diperiksa melalui scanner oleh petugas bandara. Kecil kemungkinan menemukan barang berharga atau obat terlarang di dalam kopor.

Konon, penyelundup narkotika pernah menggunakan metode ini. Mereka sengaja meninggalkan kopor berisi obat bius di bandara dan membelinya kembali dari balai-balai lelang. Rumah lelang berfungsi seperti informan polisi. Bea cukai Belanda mengamankan arloji dan perhiasan mewah selama setahun. Namun, jika tidak ada yang mengklaim hingga batas waktu habis, bakal diserahkan pula ke pelelangan.

Selain itu, masih ada ribuan botol parfum, krim wajah, pemukul bola kasti, gunting, pisau belati, pistol tiruan, dan ratusan perkakas sitaan yang dilarang masuk ke kabin pesawat. Sebagian besar dimusnahkan, sisanya dibeli oleh balai lelang. Kamera-kamera digital eksklusif akan dilelang per buah, sedangkan kamera saku boleh ditawar per kodi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun