Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Warna Favoritmu Cermin Isi Hatimu

17 Februari 2012   00:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:33 1276 0

Warna bukan hanya menyangkut selera, tetapi juga emosi. Seringkali orang ragu akan mengenakan apa ketika berkaca di pagi hari. Ritual sederhana seperti memilih warna kemeja yang akan dikenakan dapat berakhir ‘dramatis’ bila orang tidak tahu lagi pengaruh warna terhadap dirinya atau suasana hatinya. Sebagian besar akan memilih warna yang sedang populer atau mengambil jalan pintas dengan memakai warna-warna aman seperti abu-abu, biru tua, dan hitam. Padahal, tanpa disadari, warna itu mempunyai peran komunikatif.

Ada anggapan bahwa warna erat hubungannya dengan selera, tapi sebetulnya kesukaan atau ketidaksukaan seseorang terhadap warna dipengaruhi oleh faktor emosional. Bisa saja seseorang menghindari merah karena di lingkungan rumahnya not done atau benci hijau karena mengingatkan pada gurunya yang super galak di sekolah dasar.

Di Belanda, beberapa tahun belakangan, banyak diselenggarakan workshop bagi masyarakat awam. Lokakarya singkat ini memberikan kiat-kiat mengenai pengaruh dan pilihan warna di lingkungan tertentu. Sebenarnya, workshop ini bukan barang baru di Negeri Kincir Angin dan terutama ditujukan bagi perusahan-perusahaan yang karyawannya kerap berhadapan langsung dengan konsumen.

Secara garis besar, wong Londo dibedakan dua tipe: winter type (mata biru, kulit putih cenderung pucat) disarankan memakai warna-warna ‘dingin’ seperti biru, hitam atau silvery white, sedangkan autumn type (mata dan kulit coklat) dianjurkan mengenakan warna ‘hangat’ seperti merah tembaga atau kuning tua. Duh, kita-kita yang berkulit sawo matang alias bluwek masuk golongan mana ya? Hehe…

Mungkin pernah terlintas di kepala Anda: Mengapa kita butuh orang lain yang dapat menilai warna apa yang cocok dengan kepribadian seseorang? Spektrum warna apa yang dapat memperkuat identitas seseorang? Kenapa kita cenderung memilih warna yang dirasa aman, sedangkan warna ‘berani’ sebenarnya menonjolkan kelebihan kita?

Tanpa disadari, orang meniru gaya berpakaian orang tua mereka. Seorang anak gadis akan menjadi imitasi ibunya yang kebetulan senang warna merah dan coklat. Kadang potongan baju dan gaya berpakaian mereka juga sama. Buktinya? Perhatikan kalau ada resepsi pernikahan.

Pelukis Johannes Itten asal Swiss tidak sengaja mengembangkan ‘teori warna’. Ia melihat murid-muridnya menggunakan warna-warna di kain kanvas yang mencerminkan kepribadian mereka. Menurutnya, pilihan warna seseorang terkait dengan aspek psikis.

Sebenarnya, secara intuitif, setiap orang memiliki warna favorit yang dapat memperkuat identitasnya. Kita dilahirkan dengan kelebihan ini. Seorang anak berusia lima tahun sudah dapat memilih warna yang sempurna baginya. Sayang, industri mode ‘mendikte’ konsumen dan mengarahkan tren seseorang. Sewaktu rumah mode mencanangkan ‘kampanye’ white is pure, orang massal memilih warna putih. Padahal, tak semua orang kelihatan menarik dengan warna ini dan justru terkesan kusam.

Psikolog Max Lüscher, juga dari Swiss, di tahun 1940-an melakukan penelitian karakter seseorang melalui bermacam-macam gradasi warna. Remaja secara naluriah bakal memilih hitam untuk menunjukkan ‘pemberontakan’ mereka. Warna hitam identik dengan ‘Leave me alone!’. Masa puber adalah periode yang paling rawan, terutama menyangkut kepribadian seseorang. Bahkan, di Belanda pernah ada wacana untuk memasukkan ‘pengetahuan ekstra’ ini ke kurikulum sekolah menengah.

Tak ada salahnya jika orang tua mengirim anaknya ke kursus-kursus terkait warna dan kepribadian. Anggap saja semacam ‘injeksi’ untuk rasa percaya diri dan pengembangan kepribadian buah hati mereka. Halah, segitunya… Terdengar berlebihan? Seorang anak yang sejak awal diberi keleluasaan mengembangkan diri mereka dapat menjadi pribadi yang unik dan terbiasa menonjolkan kelebihan mereka. Masa transisi ini amat penting. Bocah-bocah dapat belajar dan mengenal sejauh mana mereka dapat bereksperimen dengan warna dan aksen tertentu tanpa harus menjadi terlalu eksentrik.

Banyak orang—dengan alasan pantas dan rasa nyaman—memilih mengikuti kode-kode tertentu, terutama di ruang lingkup pekerjaan. Meskipun kita dalam sehari lebih dari sepuluh kali mematut di cermin, tetap sulit melihat diri kita sendiri dengan obyektif. Tak hanya kaum hawa, kalangan pria pun yang mempunyai rencana untuk berganti profesi atau sedang meniti karier banyak bergelut dengan ‘problem’ ini.

Mereka seperti kehilangan individualitas dan berpakaian sesuai dengan tuntutan lingkungan sosial atau lingkungan pekerjaannya. Lagipula, masih ada stereotipe yang melekat kuat: inner quality jauh lebih penting ketimbang penampilan seseorang. Betul demikian? Jujur saja, anggapan ini menyesatkan. Lebih dari 80% kesan pertama akan ditentukan oleh proporsi tubuh dan potongan rambut. Warna, gaya, dan pilihan pakaian seseorang amat krusial dalam wawancara kerja. Ini sudah jadi rahasia umum. You never get a second chance to make a first impression!

So, apa warna hatimu hari ini? When I’m feelin’ blue…

Amsterdam, 17 Februari 2012

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun