Namun melihat suasana haru dan begitu pribadi, saya batal melakukannya. Ya, saat itu saya tidak berkesempatan menemani mereka mengobrol karena ada keperluan lain. Alhasil, saya hanya mengetahui persoalan yang sebenarnya dari salah seorang kawan yang mendampingi Ani. dari ceritanya, aku kian faham dan mulai mengingat sosok Ani. Dia adalah salah satu klien kami sekitar setengah tahun silam. Dia salah satu korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ani adalah ibu dari satu anak. usianya masih sekitar 27 saat itu. tapi kini usianya sudah jalan 28 tahun. Dia terlalu sering diperlakukan kasar oleh suaminya. bahkan suaminya tak segan-segan mengancam untuk membunuhnya. Dulu, seperti korban KDRT lainnya, Ani pun sempat merasa sulit untuk menceraikan suaminya, bahkan melaporkan suaminya ke pihak berwajib. Meski akhirnya, setelah berusaha melakukan beberapa tahap penyelesaian, dia memutuskan untuk bercerai dengan suaminya. Ya, kini dia masih janda beranak satu. Dia bekerja sebagai sales sebuah produk.
Kawan, tapi Ani yang saya temui saat itu bukan lagi Ani yang dulu. Ani yang terlihat tegar dan masih mau mengobrol serta berguyon dengan kami di kantor. dia yang sekarang terlihat rapuh, dia juga terlihat ketakutan melihat beberapa orang, termasuk lelaki. Dia bahkan telihat menghindar dan menarik tubuhnya, ketika sejumlah orang menyapanya. ketika berbicara, suaranya sungguh sangat pelan dan waspada. tatapannya kosong. penampilan, pun terkesan tak dipedulikannya lagi. Apa yang kurasa benar. Setelah mengetahui persoalan yang sebenarnya, ternyata dia baru tertimpa musibah yang sungguh sangat berat. Satu minggu sebelumnya dia menjadi korban pemerkosaan tiga lelaki. Mendengarnya, hatiku tak lagi setenang sebelumnya. Spontan aku tak henti berdebar dan tergetar.
Dan malam itu, karena malas pulang ke rumah, saya pun memutuskan untuk tidur di kantor. Saat itulah, di mana saya dan Ani bisa lebih dekat dan berbagi kisah. Kebetulan salah seorang temanku yang seharusnya menemani dia, ada tugas lain sehingga hanya aku sendiri di kantor bersama security penjaga kantor. Selama 24 jam, saya menyaksikan sendiri bagaimana Ani tak mampu mengendalikan rasanya. Dia diburu gundah berlebih. Aku bisa merasakan, bagaimana tersiksanya dia. Selain bahwa aku sesama manusia, aku juga sama-sama seorang perempuan. Aku membayangkan rasaku jika aku sebagai dia. Dia yang malam itu tak hentinya bergerak mondar-mandir ke sana kemari. Entah apa yang tengah berkecamuk di pikiranya selain bahwa seminggu lalu dia telah diperkosa. Malam itu aku menghantarkannya tidur dengan alunan musik dari sebuah laptop. Namun, ternyata alunan musik tidak mampu menenangkannya.
Lalu saya mencoba mengajaknya mengobrol, namun tiba-tiba dia memintaku mengoleskan balsem di punggungnya. Saya pun menurut. Di sana, saya melihat sejumlah tanda-tanda mirip cakaran dari tangan-tangan lain selain tangannya. Hampir hilang memang. Mungkin karena sudah hampir dua minggu. Sesekali, usai berjamaah, dia menangis di pelukanku. Sepertinya dia masih belum mampu mencurahkan isi hatinya. dan aku mengerti, maka aku pun tak ingin menuntutnya bercerita. Malam itu, dia hanya mondar-mandir. meminta dipijit. Dioleskan balsem. Menangis dan menangis. Dia masih terlihat rapuh. Tentu saja. Aku bisa merasakannya. tapi sejujurnya, aku melihat ada ketegaran di sana. Dia terlihat lebih kuat. Terbukti ketika dia mendatangi kantor kami dan mencurahkan isi hatinya. Tepatnya setelah satu minggu dia mengalami depresi berat. Dia masih ingin bangkit, itulah yang aku tangkap di sana. Dia membutuhkan teman. Dia membutuhkan perlindungan. Mungkin tulisan ini tidak mampu meng-cover semuanya secara detail. Tapi itulah yang aku rasakan malam itu. Paginya, ia dijemput kedua orang tuanya, karena sebelumnya dia tidak ingin pulang ke rumah orang tuanya. Ketika kami akan meneruskan pendampingan proses hukumnya, kami membutuhkan perkembangan psikologinya terlebih dahulu. Karena dalam beberapa hal dia masih belum mampu memberi keterangan secara baik.
Perempuan dalam Situasi Apapun Tetap Rentan