Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Jangan Namakan Gayus

26 Januari 2011   05:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:11 24 0
Malam itu seperti biasanya, udara begitu dingin. Hujan telah turun mengguyur sejak sore. Tulus telah capek seharian bekerja di sawah. Sawah satu-satunya warisan dari orang tua. Tulus hanya lulusan SD, dan pasti Ijazahnya tidak laku lagi untuk mencari pekerjaan. Warisan satu-satunya berupa dua petak tanah menjadi ladang pekerjaan. Membersihkan rerumputan di dua petak sawah miliknya menjadi pengisi hari-hari.

Tulus telah berkeluarga, tetangga satu kampung menjadi pendamping hidup. Prihatin. Ya, Prihatin nama istrinya. Dialah yang membantu Tulus mengerjakan sawah. Hasil tani hanya untuk kebutuhan makan sehari-hari. Itupun dengan seadanya dan bisa dibilang kurang. Sayur, cabai dan kebutuhan makan yang sekiranya ada di kebun dan sawah, menjadi santapan mereka. Sayur singkong, papaya, dan bayam, dengan sedikit hiburan tempe dan ikan asin.

Tiga tahun sudah mereka berumah tangga. Kini Prihatin telah mengandung calon anak yang pertama. Tulus sangat tidak sabar menantikan kelahiran anaknya. Dari pertanda perut Prihatin yang agak lonjong dia berkeyakinan anaknya akan laki-laki.

Kata Bu Bidan sekitar seminggu lagi akan segera lahir.

Dingin malam kian menusuk menerobos lubang-lubang gedhek rumah. Gemericik sisa hujan tadi sore menetes di tritisan. Memberi irama tersendiri di tengah keheningan malam. Tulus dan Prihatin sedang berbincang di dalam rumah. Rumah yang hanya ada sekat untuk satu kamar tidur. Selebihnya dibiarkan lapang untuk dapur di sisi pojok dan beberapa kursi di tengah.

"Mas, anak kita sebentar lagi akan lahir," tutur Prihatin pada suaminya.

Dalam hati Prihatin sebenarnya juga ingin mengatakan sebenarnya dia sudah tidak sabar untuk segera melahirkan.

Selain ingin segera menimang anaknya, badannya yang rapuh tidak kuasa lagi menahan bayi yang dikandung.

Tulus berusaha menyempilkan senyum diantara legam wajah pada istrinya.

"Tin, semoga bayi kita sehat ya. Kamu pun juga bisa melahirkan dengan lancer," pinta Tulus pada istrinya. Dengan penuh kelembutan Tulus mengelus perut istrinya.

"Mas, Anak kita mau Mas namakan siapa?" tanya Prihatin.

Sambil menghela nafas, Tulus mencoba berpikir mencari nama yang cocok untuk anaknya. Memang sampai usia kehamilan istrinya yang sekarang, Tulus belum sedikit pun sempat memikirkan nama anaknya. Pikirannya sudah luber terjejali dengan beban hidup.

"Ndak tau Tin, Aku juga bingung anak kita mau dinamakan siapa".

Ingatan Tulus terbang tertuju pada perkataan almarhum Bapak. Pernah dikatakan padanya mengapa dia dinamakan Tulus Darminto. Saat itu Almarhum melihat banyak orang yang mulai membunuh arti ketulusan di hati. Ketulusan saling berbagi, ketulusan saling memberi. Almarhum berharap Tulus menjadi orang yang tanpa pamrih dalam berbagi dengan orang lain.

Sempat juga terpikir nama gabungan dengan nama istrinya. Tulus Prihatin. Ya, Tulus Prihatin. Nama yang diinginkan almarhum Bapaknya untuk cucu laki-lakinya kelak.

Namun betapa kasihan, apabila anaknya bernasib sama dengan yang dialami dia dan Prihatin. Dia selama ini selalu berusaha berbuat baik kepada siapa saja di kampung. Namun, orang justru terkesan memanfaatkan. Apalagi ditambah kata Prihatin, nama istrinya.

Sudah cukup istrinya yang selalu prihatin dalam hidup. Hidup serba kekurangan. Dia sebagai suami merasa jarang melihat istrinya tersenyum bahagia. Wajah Prihatin penuh guratan penderitaan hidup.

Ada juga pikiran untuk memberi nama anaknya seperti artis-artis sinetron yang saat ini sedang naik daun. Namun, apa pantas anak orang miskin diberi nama artis. Betapa sedap untuk dijadikan bahan gunjingan para tetangga.

Malam kian larut, Tulus dan Prihatin terus membincang nama yang pas untuk anaknya. Bahkan pembicaraan itu terus berlanjut sampai mereka di tempat tidur. Di sela kantuk yang tak tertahan, Prihatin lirih berkata, "Apapun nama anak kita mas, aku pengen anak kita jadi anak yang baik. Tidak menjadi mudharat buat orang banyak".

Tidak lama kemudian Prihatin tertidur. Tulus masih saja kepikiran dengan nama anaknya. Matanya tajam menatap genting-genting rumah yang sebagian sudah pecah. Dan reng-reng bambu yang sudah mulai rapuh. Serapuh hatinya yang sudah bosan dengan kegetiran hidup.

"Aku ingin anakku kelak menjadi orang kaya, jadi terpandang. Sekarang hartalah yang membuat orang jadi hormat dengan kita. Aku ingin anakku kaya," benaknya terus bicara, terus menari, hingga tertidur juga.

Pagi itu, seperti pagi-pagi yang lalu, Prihatin membungkusi tempe. Untuk menambah pemasukan, Prihatin membuat tempe yang dijual ke tentangga-tetangga. Dari lembar yang tumpukan kertas koran yang dipakai untuk membungkus tempe, ada satu judul berita yang menahan Prihatin untuk membaca. Meski sama seperti suaminya yang lulusan SD, Prihatin kalau sekedar membaca dan menulis juga bisa. Dalam Koran itu tertulis judul berita Gayus ingin menjadi Staf Ahli Kapolri.

Hari penantian datang juga. Waktu subuh setelah sholat, Prihatin merasa akan segera melahirkan. Perutnya sudah mulai kontraksi. Tulus yang menyadari istrinya akan segera melahirkan buru-buru memanggil Bu Bidan yang biasa tempat Prihatin memeriksakan bayi yang dikandungnya.

Kamar berukuran kecil itu menjadi saksi perjuangan Prihatin mempertaruhkan hidup untuk melahirkan anaknya. Anak yang telah sekian lama didambakan bersama suami. Muka Prihatin terlihat pucat pasi tiada daya. Namun satu keinginan kuat tetap ada agar anaknya terlahir dengan selamat.

Perjuangan Prihatin tidaklah sia-sia. Bayi laki-laki telah berada di pangkuan Tulus.

"Anak kita laki-laki Tin. Dia mirip dengan kamu," sapa gembira Tulus pada istrinya sambil mendekatkan bayinya ke samping Prihatin yang terbaring lunglai.

Rupaya hari itu hari terakhir Prihatin menjalani keprihatinan hidup. Tiada lagi sisa daya dalam diri Prihatin. Kondisi Prihatin kian lemah, Bidan pun tidak bisa menolong lagi.

Di penghujung hidupnya Prihatin sempat mendengar erangan tangis anaknya. Derai air matanya menetes, bahagia melihat anak yang didamba telah lahir. Tulus berusaha menguatkan Prihatin, namun sia-sia.

Sambil berderai air mata, lirih Prihatin berkata pada Suami yang sangat dicinta, "Mas, Aku titip anak kita mas. Jaga dan bimbing baik-baik anak kita. Terserah Mas memberi dia nama siapa, hanya aku minta jangan namakan Gayus".

Prihatin meninggal, meninggalkan suami yang selama ini saling berbagi derita. Meninggalkan suami dan anak yang tak sempat dia menyusui.

Pikiran Tulus, sudah tidak karuan. Dia telah kehilangan Prihatin istrinya. Istri yang belum bisa dia bahagiakan.

Ada lagi satu yang membuat Tulus bersedih dan makin kehilangan Prihatin. Dari yang disampaikan Bu Bidan, Prihatin yang tanpa sepengetahuan Tulus, sejak awal kehamilan sudah diperingatkan Bu Bidan kalau kehamilannya terlalu beresiko. Beresiko apabila Prihatin mempertahankan kehamilan. Beresiko untuk keselamatan jiwa. Fisik Prihatin terlalu lemah. Namun, Prihatin kukuh mempertahankan kehamilan dan ingin mempersembahkan anak yang lama dinanti-nanti untuk suaminya, meski harus ditukar nyawa.

Bagi Tulus, kelahiran anak, kematian Prihatin, dan wasiat almarhumah Prihatin kian menyisakan suka, duka, dan tanya. Akankah dia kuasa melanjutkan hidup tanpa Prihatin. Akankah dia dia sanggup menjaga dan membesarkan anaknya sendiri. Akankah keprihatinan hidup yang selama ini jadi makan sehari-hari ikut terkubur bersama jasad istrinya yang telah mati.

Prihatin kini telah tiada. Hanya tinggal Tulus mengarungi bahtera hidup dengan anaknya, Tulus Prihatin.

***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun