Dalam dua hari terakhir, kita mendapatkan kabar yang mengejut. Pertama, Ahok kalah telak dari Anies di Pilkada DKI Jakarta. Kedua, Jaksa hanya menuntut Ahok dengan satu tahun penjara dengan dua tahun masa hukuman percobaan, terkait dengan penistaan agama.
Terkait dengan kekalahan Ahok, mungkin sudah dikupas dari berbagai sisi oleh pakar dan pengamat politik. Tapi tentang tuntutan jaksa, ada yang begitu mengganjal rasanya. Apa alasan jaksa menuntut Ahok dengan embel-embel hukuman percobaan. Bukankah dari awal Jaksa sangat optimis memiliki alat bukti yang cukup untuk menjerat Ahok.
Apakah ringannya tuntutan jaksa ini berkaitan erat dengan penundaan pembacaan tuntutan dari jadwal semula?. Karena jika hanya menuntut Ahok satu tahun penjaran dengan
hukuman percobaan dua tahun, kenapa harus menunda dengan alasan pengetikan belum siap. Jaksa harus memberikan alasan yang sangat logis dengan tuntutan ini.
Karena di dalam pasal 14a KUHP dikenal dengan istilah, ”terdakwa tidak usah menjalani pidana penjara dengan waktu tertentu”. Pasal 14b ayat (2) KUHP menegaskan ” Masa percobaan dimulai pada saat putusan telah menjadi tetap dan telah diberitahukan kepada terpidana menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang.
Hukuman percobaan dijatuhkan, dengan berbagai pertimbangan. Baik karena usia sudah uzur (dalam kasus Nenek Minah), alasan masih sekolah (dalam kasus sandal jepit di sulawesi) atau alasan lain seperti mahasiswa (dalam kasus pengrusakan kantor Gubernur dan demonstrasi waktu sidang DPRD dalam pemilihan Wawako).
Pidana percobaan dijatuhkan dengan alasan, terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana, tapi pidana penjara tidak usah dijalani karena berbagai pertimbangan hakim. Pertimbangan hakim didalam menjatuhkan pidana percobaan selain ingin mendidik agar terdakwa menyadari perbuatan yang dilakukan merupakan kesalahan dari sudut pandang hukum pidana, pidana percobaan dijatuhkan dengan alasan, tidak usah dijalani karena faktor kemanusiaan.
Nah, dengan pertimbangan diatas, biasanya yang memberikan hukuman percobaan itu adalah hakim. Jika jaksa tidak yakin dengan pasal yang dikenakan kepada Ahok, kenapa tidak di tolak saja berkas dari polisi. Atau jaksa minta ditambah lagi buktinya. Kenapa dulu begitu cepat di P21 dan dimasukkan ke pengadilan.
Dengan tuntutan jaksa tersebut, kecurigaan mulai muncul. Apakah jaksa penuntut umum diintervensi oleh Jaksa Agung, yang notabe nya kader Nasdem. Sebagai institusi yang vertikal, tentu JPU akan patuh kepada perintah Jaksa Agung sebagai pimpinan tertinggi kejaksaan. Dan Jaksa Agung patuh kepada Presiden, sebagai orang yang memilih dirinya.
Nasdem sendiri merupakan partai pemerintah, dan saat Pilkada DKI merupakan pengusung Ahok. Publik akan mencurigai adanya permainan yang melibatkan Nasdem, Kejaksaan dan Ahok.
Sepeti yang diketahui, sepanjang sejarah hukum Indonesia. Terdakwa penistaan agama semuanya dihukum penjara, kecuali anak kecil di Bekasi. Pertimbangan terhadap Ahok apakah sama seperti anak kecil di Bekasi. Karena saat kasus Ahok sudah disidangkan, dia kembali mengulangi menyinggung tentang surat Al Maidah. Ini membuktikan kalau Ahok punya itikad tidak baik.
Apakah Jaksa tidak memperhatikan hal tersebut?. Dilihat dari apa yang pernah disampaikan Jaksa selama persidangan, rasanya jaksa sangat memahami. Buktinya jaksa pernah menyinggung tentang beberapa kali Ahok menyinggung persoalan tersebut, sebut saja Jaksa pernah mengatakan tentang buku Ahok dan ucapan berpotensi menyinggung umat Islam.
Aneh saja, awalnya JPU begitu mengebu-ngebu menyebut Ahok bersalah. Tapi diakhir cerita hanya menuntut dengan hukuman percobaan. Memang sudah seperti dagelan penegakan hukum di Negara ini.
Keputusan Jaksa ini berpotensi membuat masyarakat kehilangan kepercayaan, karena dengan kalahnya Ahok di Pilkada, itu hanya proses politik. Sedangkan masyarakat yang menuntut keadilan tidak puas, terutama umat Islam yang berada diluar Jakarta.
Masihkah Pantas Kita Percaya Penegakan Hukum di Negeri ini?. Dan apakah Indonesia ini negara hukum atau negara sesuka penguasa?.
sumber foto: negaraaneh.blogspot.com