Perhelatan pesta demokrasi yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali merupakan bagian dari kemenangan gerakan demokrasi yang menggulingkan rezim otoriter militeristik Orde Baru. Sehingga oksigen demokrasi bisa dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Pemilu 2024 berbeda dengan pemilu sebelumnya setelah 27 tahun Reformasi. Kali ini, Pilpres, Pileg, dan Pilkada diselenggarakan secara serentak, meskipun Pilkada dilaksanakan pada November 2024.
Pemilu 2024 paling berbeda karena tereksposnya kebobrokan demokrasi liberal. Ruang demokrasi yang terbuka sejak jatuhnya Soeharto dibajak oleh kekuatan oligarki. Mereka menyebar di berbagai partai politik, menciptakan kepemimpinan politik oligarki yang bermuka dua. Kebusukan ini diperlihatkan secara terang-terangan oleh Presiden Jokowi, yang mengelabui partai pendukungnya demi kepentingan politik dinasti. Dengan tak tahu malu, ia mempraktekkan pembajakan demokrasi yang selama ini disembunyikan oleh elit oligarki. Anaknya, Gibran Rakabuming Raka, terpilih sebagai Wakil Presiden mendampingi Prabowo, yang dikenal sebagai pelaku pelanggaran HAM berat. Pembusukan demokrasi liberal telah menunjukkan pula pembusukan sistem ekonomi politik kapitalisme. Namun, pemilu 2024 juga memperlihatkan kemunculan kekuatan politik baru dari akar rumput, yaitu Partai Buruh. Partai ini hadir di tengah masifnya penindasan, melemahnya gerakan rakyat, dan krisis kapitalisme yang berkepanjangan. Tanpa modal dari cukong, partai yang dibangun oleh buruh, petani, pemuda, nelayan, dan rakyat miskin ini berhasil lolos sebagai peserta pemilu 2024. Walaupun tak berhasil mencapai parliamentary threshold dan tidak memiliki kursi di mayoritas Provinsi, Kabupaten, dan Kota se-Indonesia, harapan untuk masa depan semakin terang. Dalam Pilpres, Partai Buruh memilih golput karena seluruh koalisi partai pengusung pasangan 01, 02, dan 03 mendukung disahkannya Omnibus Law, yang menjadi cikal bakal kebangkitan Partai Buruh.
Data riset menunjukkan bahwa para kapitalis internasional dan nasional menggelontorkan modal untuk memenangkan kandidat mereka. Bantuan modal ini dalam kajian politik disebut sebagai ijon politik, artinya ketika mereka memberikan modal, maka ketika kandidat yang mereka usung menang, seluruh kepentingan kapitalis harus diakomodasi, terutama eksploitasi sumber-sumber produksi.
Situasi serupa terjadi di Maluku Utara. Berbagai figur bermunculan dengan data elektabilitas dari lembaga survei yang mengunggulkan beberapa figur. Para figur mulai melakukan segala cara untuk merebut rekomendasi partai politik yang memiliki kursi. Cara paling efektif untuk merebut rekomendasi partai adalah dengan menyiapkan modal besar. Tidak heran jika pemburuan rekomendasi tersebut mudah diintervensi oleh kepentingan ijon politik kapitalis. Para figur harus menyiapkan modal besar. Kemendagri merilis bahwa calon kepala daerah di Indonesia menghabiskan 25 hingga 30 miliar rupiah dalam Pilkada. Dari jumlah tersebut, sekitar 500 juta hingga 1 miliar berasal dari kantong pribadi kandidat, sedangkan sisanya dari sponsor, pemodal, atau investor. Komposisi modal antara yang disiapkan oleh figur dan investor berbeda jauh: figur menyumbang 10%, sedangkan investor 90%. Artinya, para figur harus menerima seluruh persyaratan yang diajukan oleh investor.
Jika hal itu terjadi, nasib manusia dan alam di Maluku Utara berisiko menghadapi berbagai problem. Apalagi, Indonesia sebagai negara yang terintegrasi secara global dengan sistem kapitalisme, akan semakin sulit bagi para figur yang bertarung dalam pilkada untuk memiliki visi alternatif keluar dari cengkraman sistem tersebut yang sudah mulai sekarat.
Terkait pilkada, para kandidat yang maju dalam perebutan kekuasaan berkampanye mengutuk kemiskinan, penderitaan, dan kesengsaraan yang lahir dari rahim kapitalisme, tapi hendak menyelesaikan setumpuk persoalan itu melalui jalur institusional. Pendekatan ekonomi politik tak cukup meyakinkan. Jika benar bahwa para figur ingin mengarahkan kepentingan pilkada untuk rakyat, maka visi besar untuk keluar dari cengkraman sistem kapitalisme harus berani dimunculkan. Namun, apakah mungkin para figur yang akan bertarung pada pilkada berani menyerukan visi tersebut, berani melawan hegemoni politik Jakarta, dan tidak lembek pada pemodal?
Jika keberanian itu ada, momentum pilkada akan semakin berkualitas. Karena pilkada akan digunakan sebagai salah satu jalan untuk melakukan operasi besar-besaran model pembangunan yang kapitalistik dengan model pembangunan ekonomi yang terencana. Jika itu tidak dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa pilkada hanyalah alat untuk melancarkan akumulasi kapital untuk segelintir orang, kaum pemodal, elit oligarki lokal dan nasional, serta aparatus kapitalis lainnya.
Kenapa penting mendiskusikan pilkada? Karena setiap kali pemilu maupun pilkada selalu lahir kebijakan politik yang berkaitan dengan sumber daya alam, lingkungan, pendidikan, kesehatan, upah buruh, bahan-bahan pokok, harga pokok, bahan bakar minyak, dan lain sebagainya. Kebijakan politik tersebut bisa menguntungkan mayoritas rakyat Maluku Utara secara khusus dan Indonesia secara umum, atau hanya menguntungkan segelintir orang yang punya kuasa. Konkretlah, silakan periksa kondisi Maluku Utara dari pilkada ke pilkada. Apakah rakyat semakin makmur? Lingkungan semakin lestari? Laut tidak tercemar? Pendidikan dan kesehatan gratis? Upah buruh naik? Bahan-bahan pokok murah?