Berdasarkan hasil sejumlah lembaga survei menempatkan Jokowi di posisi teratas dalam hal elektabiltas. Jika akurasi ataupun keabsahan data survei benar adanya, maka langkah Jokowi menuju RI 1 tak akan menemui hambatan yang berarti. Karena bagaimanapun gagalnya Jokowi selama memimpin Jakarta dan Solo, masyarakat lebih melihat tingkat popularitasnya bukan kinerjanya.
Jika Jokowi benar – benar menjadi Presiden, maka bersiaplah segenap rakyat Indonesia menyongsong kehancuran bangsa dan negeri ini dalam waktu beberapa tahun ke depan. Mengapa demikian? Karena Jokowi telah terbukti menghancurkan DKI begitu juga Solo saat dirinya menjabat orang nomor satu di kedua kota tersebut.
Tetapi masyarakat masih memiliki waktu untuk menyelamatkan negeri ini dari cengkraman Jokowi dan kroni – kroninya yang siap melahap kekayaan bangsa ini untuk kepentingannya pribadi. Masyarakat harus benar – benar memperhitungkan track record Jokowi selama memimpin Jakarta dan Solo.
Hal yang paling mudah dilihat dan dimengerti adalah persoalan banjir dan kemacetan di DKI. Dulu, semasa kampanye, Jokowi dengan jumawanya mengatakan bahwa mengatasi dua persoalan ibukota tersebut bukanlah perkara sulit. Jokowi mengklaim bahwa keberhasilannya selama di Solo dapat diterapkannya di Jakarta.
Tetapi apa yang dikatakan Jokowi tersebut adalah kebohongan. Faktanya, semasa dirinya menjabat Walikota, sejumlah ruas jalan di kota Solo yang sebelumnya berstatus ramai lancar berubah menjadi macet. Sebenarnya, jika kita jeli, apa yang dikatakannya semasa kampanye dulu sebatas omong kosong. Pantas saja, dirinya sama sekali tidak mampu mengatasi persoalan macet di Jakarta.
Kemudian persoalan banjir yang sejatinya bukanlah tergolong bencana alam melainkan karena kelalaian dan kegagalan Jokowi sendiri. Seharusnya, Jokowi dapat mengantisipasi banjir sejak awal dirinya terpilih sebagai Gubernur, dengan memperbaiki sistem drainase dan waduk.
Sehingga ketika musim penghujan datang, semua infrastruktur tersebut dapat menampung volume air hujan. Namun Jokowi justru bersikap reaktif yaitu kejadian dulu baru dipikirkan solusinya. Tak heran jika Jokowi menghabiskan anggaran Rp 20 miliar untuk rekayasa cuaca yang gagal total mengatasi banjir.
Jokowi tidak hanya gagal di Jakarta, di Solo pun Jokowi lebih gagal lagi. Selama dua periode masa jabatannya, tingkat kemiskinan di Solo melonjak. Angka 22% atau 133.000 penduduk miskin Solo dari 560.000 jiwa adalah angka yang luar biasa besar. Untuk mengurusi penduduk Solo saja Jokowi gagal, konon mengurusi 250 juta penduduk Indonesia?
Hal ini sangat cukup menggambarkan kegagalan Jokowi di masa itu. Tetapi lagi – lagi masyarakat tertipu dengan daya pikat “ndesonya” Jokowi yang seolah – seolah menjadi pemimpin rakyat padahal bekerja untuk kepentingan cukong – cukongnya.
Selain persoalan di atas, masyarakat juga harus mengetahui bahwa Jokowi itu adalah “koruptor cantik”. Mengapa demikian? Karena Jokowi menggunakan orang – orang terdekatnya untuk melakukan korupsi di sejumlah proyek pemerintahan. Contoh terdekat adalah kasus bus Transjakarta karatan yang diimpor Jokowi dari Cina.
Mustahil Jokowi tidak mengatahui kasus tersebut padahal sejak awal proses lelang sudah bermasalah. Dalam kasus ini, Jokowi melakukan korupsi melalui “tangan kanan” nya bernama Michael Bimo Putranto. Orang ini adalah kawan dekat Jokowi dan sesama kader PDIP sejak di Solo. Bimo berkontribusi besar dalam kemenangan Jokowi sebagai Gubernur Jakarta.
Menurut majalah TEMPO, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Solo periode 2004-2009 ini ditengarai bermain di antara pejabat Dinas Perhubungan DKI dan rekanan proyek bus. Dan mustahil Jokowi tidak mengetahui sepak terjang kawan lamanya tersebut.
Dari sejumlah kasus dan cerita kegagalan Jokowi memimpin dua kota diatas, cukup memberikan gambaran kepada kita, masyarakat Indonesia yang bijak, bahwa jika Jokowi benar – benar menang dalam Pilpres tahun ini, maka Indonesia berada di ujung tanduk kehancuran.
Nasib bangsa dan negara ini ada di tangan kita, karena langkah dan ambisi Jokowi tersebut kitalah yang menentukan apakah akan terwujud atau tidak.