Orang hilang, baik akibat bencana maupun konflik senjata, harus dipastikan dulu keberadaannya sebelum hartanya dibagi untuk ahli waris. Tantangan hakim peradilan agama dalam menggali fakta hukum kasus tersebut.
Gempa dengan kekuatan 8,5 skala richter yang kembali menggoyang bumi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Rabu, 11 April 2012, seperti memutar kembali pengalaman traumatis akhir 2004, dalam tradegi bencana tsunami.
Meskipun peristiwa yang menelan sekitar 200-an ribu korban itu telah lampau, tapi masih menyisakan banyak masalah. Seperti dirasakan—sebut saja namanya—Yahya. Tahun 2009 lalu, warga Kabupaten Aceh Besar yang mukim di Jakarta Selatan ini dihantui oleh masalah sengketa waris dengan kerabat ayahnya.
Saat tsunami datang, kedua orang tua Yahya beserta dua orang adik kandungnya jadi korban. Kini tersisa hanya Yahya dan dua orang adik kandung dari isteri ayahnya yang lain.
Yang jadi masalah, sebidang tanah yang berhasil diidentifikasi milik sang ayah, menurut Yahya, dirampas oleh keluarga sang paman.
Padahal, meskipun dua orang adik kandung hasil perkawinan siri ayahnya sulit mendapat waris, namun Yahya yakin, sebagai anak tertua dirinya merupakan pihak yang paling absah menguasai warisan. Sedangkan jatah warisan sang paman berlaku bila terdapat sisa (‘asabah) dari harta benda peninggalan (tirkah) sang ayah.
Sebaliknya, keluarga paman juga yakin merekalah pihak yang abasah memiliki tirkah itu. Sebab merekalah yang mengindentifkasi tirkah ayah Yahya, kemudian mengurus sertifikasinya di Badan Pertahanan Nasional (BPN) Banda Aceh.
Karena lebih memilih bermukim di Jakarta, Yahya tak mampu menyelesaikan persoalan yang sedang membelitnya itu. “Kadang kalau terlintas, apalagi datang kabar dari sanak famili dari Aceh, saya cengeng karena menangis terus,” akunya.
Apa yang dialami Yahya rupanya merupakan gunung es dari sengketa waris yang terjadi di Aceh. Dalam rekaman Yayasan Bungoeng Jeumpa (YBJ), sengketa itu marak terjadi terutama pasca tsunami 2004.
Yayasan ini memang spesialis mengadvokasi sengketa hak waris di Aceh. Baik yang terjadi sebelum maupun setelah tsunami. YBJ berusaha jadi mediator pihak yang bersengketa di luar Mahkamah Syariah yang berlaku di Aceh. Hasilnya, ada yang berhasil damai, ada pula yang nihil.
Sejauh mengenai hak waris pasca tsunami, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh telah mengeluarkan fatwa (2005). Isinya tentang hak keluarga, terutama isteri yang menjadi ahli waris orang hilang, disamping masalah hak atas kepemilikan tanah, dan asal usul (nasab) anak yatim.
Ada lima klausul fatwa itu. Namun terkait sengketa ahli waris orang hilang, MPU Provinsi NAD berfatwa bahwa ahli waris dapat mengajukan gugatan ke Mahkamah Syar`iyah dengan penyertaan bukti dan saksi.
Bila bukti dan saksi yang disertakan sah, majelis hakimnya akan menetapkan keterangan bahwa pewaris benar-benar telah meninggal dunia. Selanjutnya, harta pewaris barulah dapat dibagi. Sebelum adanya bukti dan kesaksian, harta pewaris belum sah dibagi atau di-faraidh-kan.
Makanya dalam kesaksian, MPU juga berfatwa, kesaksian berlaku bagi mereka yang tahu betul keadaan aset peninggalan, termasuk asal-usul orang hilang yang dimaksud. Bagi mereka yang tahu belukar ini, hukumnya wajib bersaksi.
Orang hilang dalam terma fiqh disebut mafquud. Adapun status si mafquud sebelum mendapat kepastian keberadaannya disebut ghaib (orang yang wujud rillnya tidak ada).
Adapun dalam ilmu faraidh, menurut pakar hukum Islam, Ahmad Azhar Basyir, pembagian harta orang demikian adalah bagian dari pembahasan ‘mirats al-taqdiri’. Artinya, hukum waris-mewaris dengan cara sebagaimana waris kasus khuntsa atau waria, dan waris anak yang masih dalam kandungan.
Dua kasus ini mengandung ketidakpastian keberadaan seseorang. Baik pewaris maupun ahli warisnya. Menilik kandungan unsurnya, hukum waris dari orang yang berada dalam tawanan (al-asir), juga bisa digolong dalam mirats al-taqdiri.
Para ahli fiqh (fuqaha) sebagaimana atsar (yurisprudensi) dari Ali bin Abi Thalib, menetapkan tirkah orang hilang (mafquud) tidak boleh dibagi sebelum mendapatkan kesaksian tentang kabar pasti orang tersebut.
Selain isterinya yang tak boleh dinikahi sebelum datang masa iddah, ilmu fiqh juga mengatur soal batasan waktu yang memastikan kabar si mafquud. Mengenai batasan waktu ini, ulama empat mazhab berbeda pendapat.
Pendapat Imam Syafi'i dan Hanafi, batas waktu membagi harta warisan dari orang hilang adalah 90 tahun. Namun keduanya juga berpendapat ukuran waktunya disesuaikan dengan orang sebaya di tempat sebelum yang bersangkutan hilang. Bila mereka yang sebaya sudah tidak ada, maka barulah si mafquud dapat ditetapkan telah meninggal.
Lain lagi pendapat Imam Malik. Batasannya antara 60-70 tahun. Limit waktu ini merujuk pada hadist terhadap usia rata-rata seorang Muslim yang hidup.
Sementara itu, merujuk pendapat Imam Hambali, penetapan limit waktu tidak terlalu relevan bila tidak mendahulukan penggalian sebab-musabab hilangnya seseorang.
Bila yang bersangkutan hilang dengan sebab kuat yang memungkinkan dia meninggal—misalnya peperangan dan bencana alam—batas waktunya barulah berlaku 40 tahun. Bila dalam kurun waktu ini orang itu belum ditemukan, maka hartanya dapat di-faraidh-kan.
Sebaliknya, bila orang tersebut hilang dengan sebab yang tidak dimungkinkan dia meninggal—misalnya kepentingan safar dalam niaga atau belajar atau bahkan sekedar piknik—batas waktu harta dapat dibagikan adalah menunggu 90 tahun.
Namun jumhur ulama sependapat, karena sulit dipastikan, pada dasarnya hakimlah yang punya orotitas memastikannya. Majelis hakim dapat memutuskan limit waktu kapan saja sesuai dengan fakta hukum yang dia gali.
Namun berbeda dengan jumhur, mazhab Maliki tetap berpedoman, bila kabar si mafquud belum juga secara kuat dibuktikan dalam proses bertahkim, hakim tetap memberinya batas waktu selama 40 tahun kepada ahli waris untuk menunggu.