Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Hamba Hukum Sang Pengawal Keadilan

14 Oktober 2014   20:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:02 1872 0

PENGALAMAN pahit masa kecil telah menempa dirinya makin memahami arti keseimbangan sebagai out put mendasar dari keadilan. Sekaligus menjadi "Themis" dirinya dalam memegang prinsip dari simbol dewi keadilan itu di setiap tugasnya sebagai hamba hukum.
Hamba hukum adalah manusia yang taat hukum. Terutama aparatnya. "Seorang hamba hukum, mesti mampu menjadikan hukum sebagai hasrat tertinggi dan bisa membedakan antara balas dendam dengan keadilan," cetus Achmad Rifai, pria kelahiran Jombang itu.

Di berbagai negara yang tingkat disiplin hukumnya tinggi, tidak sepenuhnya ditopang oleh kinerja baik penegak hukum. Tapi kesadaran hukum masyarakatnya; cermin dari kesadaran hukum pemimpinnya.

Ada banyak contohnya. Malu karena peristiwa mati lampu, September 2011, Menteri Ekonomi Korsel, Choi Joong-Kyung, mengundurkan diri. Barangkali itu pengganti harakiri. Listrik mati bukan peristiwa biasa di Korea. Di kita, sekaliber kejahatan korupsi, pejabatnya ketawa-ketiwi di media massa.

Pesan dari sikap kesatria itu: betapa keteladanan mesti nyata. Karena problem negeri selalu dikunci oleh persoalan kepemimpinan. Budaya hukum masyarakat berbasis dari situ. Tanpa itu, kita selalu terperosok di lubang yang sama. Itulah etalase pembaharuan hukum tanah air pasca 1998: jalan di tempat.

Memang pada praktiknya, sulit sekali menarik garis demarkasi antara keadilan dan balas dendam itu. Kecuali bisa ditempuh, menurut Nurcholish Madjid (Cak Nur), senior Achmad Rifai di Jombang dan di PB.HMI, oleh mereka yang mempertaruhkan keadilan sebagai sesuatu yang seimbang: objektif. Sebab, kesimbangan dalam keadilan selalu memiliki tingkat kepentingan yang lebih besar. Kesimbangan itulah menjadi rumusan para pendiri republik membingkai negara hukum ini berupa keadilan sosial; lebih luas dibanding keadilan hukum, politik, ekonomi.

Menjangkau keadilan sosial itu, menurut Cak Nur, pasti menemui jalan terjal sebagaimana lansiran kitab suci dalam surah al-Balad (negeri) ayat 11-16. Jalan itu disebut al-'aqobah atau jalan mendaki yang sukar. Yaitu, usaha melepas belenggu perbudakan dan menyantuni kaum miskin di masa panceklik.

Karena sukar, banyak orang enggan. Butuh nyali tinggi, juga pengorbanan besar; jiwa maupun harta.  Achmad Rifai, setia mendaki jalan itu. Kurang lebih, terjemahan kontemporernya: jalan advokasi hukum terutama 'jihad' membongkar kejahatan kerah putih serta mengaliri filantropi (derma) di tengah krisis ekonomi.

Nama Achmad Rifai meroket sejak menjadi pengacara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2009. Ketika Polri menetapkan Chandra M.Hamzah dan Bibit Samad Riyanto, dua pimpinan KPK, sebagai tersangka, 21 orang tim pengacaranya nyaris lunglai. Bibit dan Chandra sudah pasrah; membela diri di pengadilan saja.

Dalam kondisi buntu itulah Achmad Rifai memprakasai terobosan hukum. Ia menggugat balik: tindakan Polri itulah yang diduga bentuk kriminalisasi terhadap KPK. Istilah "kriminalisasi" yang dicetus Rifai inilah membius publik kala itu.

Bibit menjabat erat tangan Rifai: sepakat dengan terobosan itu.  Rifai berinisiatif dan memimpin tim pengacara melapor balik ancaman kriminalisasi terhadap KPK ke Mabes Polri dengan dugaan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang Kabareskrim Polri.

Ia bersama tim pengacara juga mengguji pasal 32 Ayat 1 UU  No.20 Tahun 2002 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi. Rifai juga kala itu berinisiatif menyurati Presiden SBY. Intinya: ia meminta presiden agar membentuk tim independen. Inilah sekuel drama nyata kasus popular disebut "Cicak versus Buaya" itu. SBY akhirnya membentuk Tim Delapan; salah satunya berdasarkan surat tersebut.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun