Berkaitan dengan kedaulatan pangan tidak terlepas dari ketahanan pangan yang menjadi isu krusial bangsa Indonesia saat ini. Sejak progam swasembada pangan di pertengahan tahun 1980-an, Indonesia tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan pangan sendiri. Bahkan selama hampir kurang lebih satu dekade setelah reformasi pada tahun 1998, kita terus menerus menjadi salah satu pengimpor terbesar bahan pangan di dunia. Dari tahun 1980-an kondisi pangan indonesia sebenarnya menjanjikan dengan besarnya perhatian pemerintah di sektor pertanian. Pemerintah pada saat itu melaksanakan program revolusi hijau. Kebijakan proteksi diterapkan dalam sektor pertanian dengan pemberian subsidi untuk bibit, pupuk, insektisida dan pestisida. Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai instansi yang memiliki tugas strategis untuk mengatasi masalah ketahanan pangan bergerak dengan menyediakan pasar bagi produk-produk pertanian dan menetapkan harga dasar bagi para petani. Bulog sendiri dibantu oleh Koperasi Unit Desa yang ditempatkan di level pedesaan sebagai lumbung bagi stok cadangan yang digunakan ketika stok pangan nasional menipis. Pemerintah berusaha agar pangan tetap dapat dibeli oleh rakyat banyak. Pertumbuhan pun bergerak naik seperti yang direncanakan pemerintah dalam repelita. Namun fokus pemerintah kemudian malah berubah ke sektor industri dan perubahan fokus ini ditangani dengan kebijakan impor yang malah menjerumuskan Indonesia dalam ketergantungan. Pada saat pemertintahanSusilo Bambang Yudhono-Jusuf Kalla ketahanan juga tidak kunjung membaik. Dalam menghadapi menipisnya stok pangan nasional, pemerintah lebih memilih jalan jangka pendek yaitu dengan menggunakan intrumen kebijakan berupa impor beras dan penurunan bea impor.