Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Marwan Al-Shehhi dan Tragedi 11 September 2001

10 September 2011   14:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:05 129 1

Cerita ini hanya fiksi yang bercampur nyata, semoga anda bisa membedakan mana yang fiksi mana yang nyata

__________________________________________________

29 Oktober 2004

Video itu tersebar dalam hitungan detik, video yang berisikan sosok manusia yang sangat dicari-cari oleh setiap orang Amerika, sosok yang mengingatkan kenangan pahit di dalam setiap ingatan orang Amerika. Sosok itu tua tapi suara seraknya menggetarkan jiwa, penampilannya yang sangat Islami membuat semua orang dengan mudah mengenalinya. Pakaian longgar putih dengan kepala tertutup sorban serta memiliki jenggot panjang dengan mata tajam. Suara itu pun bersaru.

“Kami bebas, dan untuk mendapatkan kebebasan bagi Negara kami. Seperti kalian yang meremehkan keamanan kita, kita meremehkan keamanan kalian — kami sudah sepakat dengan Komandan Jendral Muhammad Atta, Allah mengasihi dia, bahwa semua oprasi akan dilaksanakan dalam 20 menit sebelum Bush dan pemerintahannya menyadari hal itu.”

Marwan Al-Shehhi menutup leptopnya dengan sangat pelan, airmatanya tidak juga kunjung menetes, hanya menggenang di kantong matanya yang meradang, dia bangkit menuju kearah jendela besar, merekatkan telapak tangannya di kaca jendela.

Dari apartemennya itu dia melihat Amerika, dia melihat kota sibuk yang penuh luka, mungkin luka itu sangat besar sebesar luka yang juga dimiliki olehnya. Luka kehilangan berujung penderitaan.

“Sudah 4 tahun,” ucapnya pelan.

Dikelurkannya telpon genggamnya, diputarnya lagi video lain yang hampir setiap hari dilihatnya sebelum dia tidur. Kali ini Marwan menangis, tangis itu tak lagi bisa terbendung.

*

10 September 2001

Marwan Al-Shehhi bersama 4 orang temannya berdiri menghadap kiblad, wajah mereka terlihat tenang walau sebenarnya jantung mereka berdetak lebih kencang daripada biasanya. Mereka berlima sholat menghadap yang kuasa, mencoba meyakinkan apa yang akan mereka lakukan adalah sebuah kebenaran, mungkin jika Allah bertanya pada mereka “Apa tujuan kalian melakukan itu?.” Maka dengan mantap mereka menjawab. “Demi Agamaku, Islam.”

Selesai sholat mereka saling bersalam-salaman, saling peluk sehingga mereka bisa merasakan kegugupan yang sama, lalu duduk membentuk lingkaran berbincang membicarakan rencana mereka yang sudah diatur oleh sang pemimpin.

“Kalian sudah siap bukan,” tanya Ahmed Alghamdi yang berkebangsaan sama dengan 2 orang diantara 4 lainnya, Fayez Rashid Ahmed Hassan Al Qadi dan Hamza Alghamdi, mereka berkebangsaan Arab Saudi.

Mendengar pertanyaan itu semua mata saling pandang dan dengan perlahan kepala mereka mengangguk pelan.

Setelah perbincangan yang berjalan cukup lama itu Marwan keluar dari kamar hotel. Lampu dilorong hotel itu remang-remang, membawa langkah Marwan menuju simpang lorong temat tangga darurat berada.

Pintu tangga darurat dibukanya dia duduk di balik pintu yang menutup rapat. Di sana dia bernapas melega, mencoba menghilangkan tegang di dada, pelan dikeluarkannya telpon genggam dia mulai menghubungi seseorang.

“Halo Maicel, kau dimana?, aku mencarimu!,” pertanyaan itu terdengar di ujung telpon genggam Marwan, suara itu berasal dari seorang perempuan.

Mata Marwan meradang dengan pelan dia memberi jawaban. “Aku baik-baik saja, aku ingin memberitahumu satu hal, sayang.”

“Tentang apa?.”

“Boleh aku meminta satu hal denganmu?,” suara Marwan semakin terdengar mencemaskan.

“Kau menangis?,” suara perempuan itu mulai gelisah.

“Dengarkan aku — besok ku mohon kau jangan kemana-mana, aku ingin kau di apartemen saja, aku akan datang menemuimu.”

“Ada apa denganmu, sayang. Aku mendengar kau menangis.”

“Lakukan saja apa yang aku minta,” dengan hati penuh resah panggilan itu diakhirinya kemudian telpon genggam dimatikan olehnya.

*

11 September 2001

Lusi berdiri di depan kaca tebal lantai 78 gedung World Trade Center, dia semakin gelisah karena sejak kemaren telpon genggam kekasihnya itu tak bisa dihubunginya. Dia cemas dengan pesan yang disampikan oleh kekasihnya itu. Hal salah yang dilakukannya adalah tidak menuruti apa yang dikatakan oleh kekasihnya itu.

Tiba-tiba sebuah suara menggelegar menggetarkan lantai yang di pijak oleh Lusi, suara menggelegar itu adalah suara ledakan. Semua orang berlarian. Suara itu berasal dari sebelah utara menara WTC 1.

Dalam kegelisahan itu Lusi memasukkan telpon genggamnya dia berlari mengikuti orang-orang mencoba melihat apa yang sedang terjadi. Begitu terperangah semua orang ketika menyadari bahwa sebuah ledakan terjadi di menara sebelah, ledakan itu menciptakan asap gelap tebal yang mengerikan.

Mengikuti langkah orang-orang Lusi berlari menuju tangga darurat, dia dan puluhan orang berebut untuk turun dari lantai 78.

Banyak waktu terbung sia-sia karena orang-orang semakin memadati jalan sempit itu. Lusi berpaling dan berlari menuju lift, dia berharap lift itu bisa digunakan dalam keadaan darurat. Saat melintasi jalan yang sama di mana tempat dia tadinya mencoba menghubungi kekasihnya, Lusi terjerebak, dia terjatuh di atas lantai yang keras. Telpon genggamnya berdering.

Rasa sakit menjalar disekujur kakinya, dia berteriak tapi tak ada yang membantunya, semua orang dalam keadaan panik. Setelah dia sadar bahwa telpon genggamnya tak henti berdering, dia pun mengangkat panggilan itu.

“Maicel—,” ucapnya lirih

Suara mengguruh berikutnya membuat Lusi berpaling kearah dinding kaca, benda besar itu bergerak menuju ke tempat dia berada.

Di sisi benda besar itu tertulis, American Airlines. Lusi berteriak histeris. dengan pergerakan lurus benda besar itu menabrak Lusi, sekejab rasa sakit itu hilang, menggelap dan terhapus bagai tanah rata yang tak bisa diinjak.

Pukul 09:02, American Airlines penerbangan 175 menabrak sisi selatan menara selatan WTC 1 di antara lantai 77 dan 85.

*

06:00, 11 September 2001

Mohand Alshehri memeriksa paspornya dengan seksama, dia duduk di samping Marwan dan sesekali melirik kearah sahabarnya itu yang terlihat semakin gelisah.

“Ada apa kawan?,” tanya Mohand dengan suara berbisik.

“Aku hanya ragu, aku mulai merasa ini semua adalah kesalahan.”

Kerut terlihat di wajah Mohand. Lalu dengan cepat dipegangnya tangan Marwan.

Marwan berkeringat, matanya merah berkaca-kaca. “Allah tidak pernah mengajarkan kekerasan, bahkan dalam Al-quran sekali pun Allah mengajarkan untuk saling toleransi terhadap agama yang bukan Islam. Aku merasa ini semua salah.”

Pelan Mohand melepaskan tangan Marwan, “Apa yang membuat kau berpikir seperti itu?,” bisiknya lagi.

“Aku akan menikah bulan depan?,” ucapnya ragu.

“Dengan siapa?,” suara Mohand terkejud.

Marwan menajamkan tatapannya pada mata Mohand, dan dengan airmata yang menetes dia berucap. “Orang Amerika, namanya Lusi.”

Pembicaraan pelan itu berubah menjadi bisu. Baik Mohand ataupun Marwan mereka berdua tidak lagi bisa membentuk suara. Suara pintu membuka mengejutkan mereka semua. Ternyata Hamza Alghamdi masuk dengan senyum di wajahnya.

“Kita akan segera berangkat,” ucapnya penuh semangat.

*

Langkah kaki berlari menyusuri jalan yang mulai ramai pagi itu terlihat sangat tergesa-gesar. keringat di wajahnya bagaikan air keran yang dikucur ketubuhnya. Tidak hanya tubuhnya yang basah dengan keringat tapi jantungnya pun penuh dengan detak-detak ketakutan.

Marwan Al-Shehhi berlari dengan tas di sandangnya di bahu, dalam setiap langkahnya nama Allah selalu dilantunkannya. Dia berdoa semoga semuanya berjalan baik-baik saja. Berkali-kali dia melihat kearah jam tangannya, hanya menunggu beberapa menit lagi menunjukkan jam 09:02.

Suara ledakan menghentikan langkah kakinya, tidak hanya kakinya tapi semua orang yang ada di sekitar jalan itu. Tepat di zebra cross, langkah itu terhenti. Tatapan matanya tertuju kearah jauh yang melukiskan kepulan asap tebal.

Semua orang ketakutan, semua mata tertuju kearah yang sama, World Trade Center. Gedung kembar itu terlihat bergetar, runtuh berhiaskan asap hitam yang mengerikan. Pesawat itu menabrak sisi dari gedung itu.

Telpon genggam di keluarkan dari saku, di nyalakan dengan sangat cepat. Nomor telpon genggam seseorang dihubunginya. Lama suara dengung itu tak juga ada jawaban, di atas langit sebuah pesawat terbang agak merendah, menuju kearah gedung kembar lagi. Saat pesawat itu sudah sangat dekat panggilan tadi di jawab.

“Maicel—.”

Tak sempat bicara suara itu menghilang begitu saja.

*

11 September 2001, empat pesawat Amerika di bajak oleh teroris, salah satu dari empat pesawat itu adalah pesawat American Airlines penerbangan 175, lima orang dari pembajak pesawat American Airlines itu mati bersama penumpang lainnya, mereka adalah :

Marwan Al-Shehhi, berkebangsaan Uni Emirat Arab, Fayez Rashid Ahmed Hassan Al Qadi, berkebangsaan Arab Saudi, Ahmed Alghamdi, berkebangsaan Arab Saudi, Hamza Alghamdi, berkebangsaan Arab Saudi dan yang terakhir Mohan Alshehri, tidak diketahui kebangsaannya.

*

Dari apartemennya itu dia melihat Amerika, dia melihat kota sibuk yang penuh luka, mungkin luka itu sangat besar sebesar luka yang juga dimiliki olehnya. Luka kehilangan berujung penderitaan.[]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun