Kamis pekan lalu (4/6) saya berkesempatan menonton pertunjukan Permata Jawa karya Atilah Soeryadjaya, penata tari yang sebelumnya sukses mementaskan Matah Ati dan Ariah. Permata Jawa merupakan bagian dari program Hela Tari yang diselenggarakan oleh Komunitas Salihara.
Permata Jawa terdiri atas pembacaan macapat (bentuk puisi Jawa tradisional), gamelan, dan tari Samparan Matah Ati. Menurut materi tertulis yang disampaikan Salihara, macapat yang dibacakan bersumber dari karya Mangkunegara IV (1811-1881) yang berisi renungan dan nasihat bagi manusia dalam berinteraksi dengan orang lain dan dirinya sendiri. Sedangkan pada pertunjukan gamelan, Atilah Soeryadjaya memadukan elemen musik tradisional Jawa ini dengan accapella yang berisi kritik sosial yang relevan untuk masa kini. Bagian ketiga dari pertunjukan ini, tari Samparan Matah Ati, menceritakan tentang perjuangan gadis desa melawan penjajah Belanda. Tari Samparan Matah Ati  ini menjadi klimaks dari pertunjukan berdurasi 70 menit ini.
Sejujurnya, saya menonton pertunjukan ini karena rekomendasi seorang kenalan. Pemahaman saya terhadap budaya dan bahasa Jawa bisa dibilang tidak ada sama sekali, padahal bahasa inilah yang dijadikan pengantar narasi pertunjukan. Pihak Salihara memang memberikan terjemahan atas naskah yang dibacakan, tetapi saya hanya membacanya sambil lalu, karena saya percaya tidak semua keindahan dalam satu bahasa bisa diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Saya pasrah menonton pertunjukan dengan sebisa mungkin menajamkan indra perasa saya. Setidaknya, jikapun saya tidak bisa memahami dengan penuh pesan yang ingin disampaikan, saya berharap masih bisa menyerap semua keindahan yang ditawarkan.
Hasilnya, saya bisa bilang saya sangat menikmati pertunjukan ini, terutama keberhasilan sutradaranya membangun suasana yang sangat sakral dan penuh detil. Tidak hanya indra penglihat dan pendengar penonton yang dipuaskan, tetapi juga indra penciuman. Pertunjukan dibuka dengan wangi (dupa dan melati?) yang merebak pekat ke seantero teater. Aroma pelan-pelan menipis (mungkin karena penonton mulai terbiasa) seiring dengan dimulainya pertunjukan.
Tata cahaya yang temaram mampu membingkai para penampil dengan kostum yang didominasi warna hitam, merah, dan emas, menjadi sosok-sosok yang meninggalkan jejak visual mendalam di benak penonton. Bahkan, taburan bunga melati dan mawar yang memenuhi lantai panggung saat tari Samparan Matah Ati digelar tidak menjadi elemen yang lepas dari seluruh konsep pertunjukan. Gerak kelopak kembang yang tersapu jarik para penari turut melengkapi keindahan visual pertunjukan ini.
Singkatnya, pencarian saya akan estetika sangat terpuaskan oleh pertunjukan ini. Akan tetapi, soal makna, saya masih harus baca-baca lagi dan mungkin perlu berdiskusi dengan sahabat yang paham bahasa dan tradisi Jawa.