Al-Mubarrid menuturkan dari Abu Kamil, dari Ishak bin Ibrahim, dari Raja` bin Amru an-Nakha`i, ia berkata, " Di kota Kufah ada seorang pemuda yang tampan sekali wajahnya, rajin beribadah, dan berijtihad. Suatu hari ia singgah di suatu kaum dari an-Nakha`.
Di sana pandangannya berpapasan dengan seorang gadis yang cantik jelita dari kaum itu sehingga ia langsung jatuh cinta padanya dan ia berpikir untuk memilikinya. Ia pun singgah di tempat yang lebih dekat dengan rumah gadis itu, lalu mengirim utusan untuk menyampaikan lamaran kepada bapak sang gadis.
Namun ia dikabari bapak itu bahwa anak gadisnya sudah dilamar anak pamannya sendiri. Tatkala keduanya saling didera cinta, sang gadis mengirim utusan kepada pemuda itu untuk mengatakan, 'Saya sudah mendengar tentang besarnya cintamu kepadaku. Aku pun sedih karenanya. Jika engkau mau, aku dapat menemui mu atau, jika engkau mau, aku dapat mengatur cara agar engkau dapat masuk ke dalam rumahku.'
Sang pemuda berkata kepada utusan itu, 'Tidakkah ada pilihan di antara dua hal yang dicintai itu karena sesungguhnya aku takut azab hari yang besar (kiamat) jika aku mendurhakai Rabb-ku? Sesungguhnya aku takut api neraka yang baranya tidak pernah padam dan jilatannya tidak pernah surut.'
Tatkala utusan menyampaikan perkataan pemuda itu, sang gadis bertanya-tanya, 'Apakah dalam keadaan seperti ini ia masih takut kepada Allah? Demi Allah! Tidak seorang pun yang lebih berhak atas demikian itu kecuali satu orang sekalipun manusia dapat bersekutu dalam masalah itu.'