Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

305. Akhirnya Ber-Bebe Juga...

19 Desember 2011   12:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:03 253 0
Ah, persetan, pikirku. Apa pula pentingnya Blackberry itu?! Akronimnya saja sudah tak sedap didengar; BB, macam Bau Badan. Tak kuanggap penting dan tak cukup menggiurkan untuk memilikinya, bahkan andaikan gajiku lebih besar hingga sanggup dengan tabunganku kubeli kontan, rasanya akan aku pilih Nokia saja. Karenanya, tawaran dari pimpinanku kala itu tak kuindahkan. "Alfa, bagaimana? Kau mau pakai BB juga?" "Kalau saya enggak lah, Pak... Satu, saya merasa belum perlu, kedua, angsurannya masih cukup berat saya rasa, Pak..." "Ah, memangnya berapa gajimu?" "Take home pay satu-enam, Pak." "Hmmm... Kamu pikir dululah, Fa. Sayang kalau kamu gak pakai. Lagipula aku memang maunya semua temen-temen pakai BB, biar gampang berkomunikasi. Kan kalau pakai BBM gak bayar kayak SMS lagi, cukup bulanan aja..." "Iya, Pak." Entah kelebihan duit, entah besar hatinya, kala pimpinanku, si Mr. 200 itu, menyosialisasikan idenya kepada kami semua: akan menalangi kami semua untuk beli BB. Yang harus kami lakukan hanyalah: membayar angsuran kepadanya tiap bulan. Tanpa bunga. Tanpa DP. Tanpa keuntungan apa-apa, murni bantuannya kepada kami. Agak parlente memang, pimpinanku satu itu. Berani menanam uangnya untuk sesuatu yang tak bernilai investasi. Yang penting anak buah-anak buahnya tak kalah gaya. Padahal kalau ada lima belas orang saja yang ditalanginya, berarti uangnya tertanam lebih tiga puluh lima juta Rupiah. Jumlah yang kalau kumiliki, lebih baik kupakai nikah. "BB itu bukan sesuatu yang mewah lagi, saat ini. Sudah lumrah! Makanya kalau kalian tidak punya, malu dong saya?!" Dalam hatiku; saya tidak malu kok, Pak, asalkan jangan sampai berhutang. Maka Program Talangan Blackberry Kantor Cabang Pembantu Tebing Tinggi diluncurkan. Produk: Telepon seluler Merek: Blackberry Tipe: Gemini Curve Seri: 8520 Harga: IDR 2375000 Tambahan: Memory card Sandisk 4 Gb - IDR 150000 Kartu seluler perdana XL - IDR 12000 (Aksesori tambahan dan kartu dibayar tunai pada saat penyerahan barang) Jangka waktu talangan: 12 (dua belas ) bulan DP: IDR 0 Bunga: 0% Angsuran per bulan: IDR 197917 Benar-benar penawaran yang menggiurkan. Angsuran kurang dari dua ratus ribu per bulan. Tentu saja demi kelancaran dan jaminan pembayaran maka ditentukan suatu cara pembayaran yaitu dengan mengadakan standing instruction untuk rekening para terhutang, tanggal dua puluh lima setiap bulannya sampai habis masa angsuran. Dengan standing instruction maka akan terjadi auto-overbooking pada rekening sebesar jumlah yang ditentukan ke rekening lain, dalam hal ini rekening terhutang ke rekening pimpinanku. Yang demikian untuk menghindari tunggakan. Maka banyaklah teman-temanku yang mendaftar. Adapun aku, agaknya masih harus puas dengan Nokia 3200 bututku yang kalau kuibaratkan anak, sudah kelas satu SD (baca: enam tahun). Aku bergeming. Dan tentu saja, banyak yang usil. "Bang, Abang gak ikut?" "Kok gak ikut kau, Fa?" "Ikut aja, Fa, murah!" "Ikutlah, Bang, kapan lagi pakek BB?" Dan terpaksalah kukeluarkan jawaban diplomatisku yang begini dan begitu padahal sebenarnya hendak benar aku melengking "Bukan urusanmu!" Maka ber-BB-lah mereka. Aku ber-Nokia butut kelas satu SD. **************************************************************** Manusia berencana, Tuhan punya Kuasa. Tak lama setelah rekan-rekanku memperoleh BB mereka--yang hasil hutangan itu, aku dapat jatah dinas luar kota untuk mengikuti evaluasi yang diadakan Bank Indonesia. Tanpa ekspektasi apapun kecuali jatah uang dinas yang tak seberapa saat aku dan seorang rekan satu bagian berangkat ke tempat evaluasi. Benar-benar dalam rangka separuh-dinas-separuh-pelesir. Apa boleh buat. Yang namanya evaluasi di hotel, memang lebih banyak mubazirnya daripada efektivitasnya. Entah apa yang disosialisasikan, entah apa ilmu yang didapat, karena rasanya dari sekitar seratus sekian orang peserta, yang benar-benar berharap akan beroleh hasil nyata hanya aku. Sisanya berharap menginap cuma-cuma di hotel, mandi air hangat, makan prasmanan, dan hura-hura. Barangkali inilah yang disebut foya-foya ala perbankan, pikirku. Apalagi saat malamnya digelar acara bebas berupa hiburan oleh organ tunggal, dilanjutkan: KIM. Sungguh-sungguh aku tak tau KIM itu apa. "Kalok di kampung, KIM itu judi, Fa... Kita beli kupon, nanti nomornya kita coret sesuai yang disebutkan pembawa acaranya. Kalok dalam satu set kupon itu nomor kita ada semua, kita teriak 'KIM!' berarti kita menang." "Cuma karena ini kuponnya disediakan gratis, ya nggak judi lagi lah namanya... Ini kan udah tinggal game aja jadinya..." Persetanlah, pikirku. Daripada melongo sendirian di kamar, baiklah kucoba permainan yang baru pertama kali kumainkan itu. Dan ternyata KIM itu mainnya dilagukan. Kebanyakan dalam bahasa Minang. Oh, berarti ini judi ala Minang, pikirku. Tambah mantap karena pemandu acaranya didatangkan langsung dari Padang. "Dicabuik lagi, nomor salanjutnyo... Ampek puluh ampek, digoyang atau dicabuuut?!" "Cabuuut!" Dan dicabutlah si ampek puluh ampek berupa batu yang dinomori. Berarti nomor 44 keluar sudah, maka carilah 44 dalam kuponmu. Bah, dasar tak darah penjudi. Sudah berkali-kali orang lain KIM, aku tak dapat-dapat juga. Padahal kalau menang satu baris nomor saja, sudah bisa dapat hadiah-hadiah kecil. Rekan-rekanku sudah dapat handuk, kipas angin, rak handuk, dan sebagainya. Aku satupun belum dapat. Mulai dari kupon biru, merah, kuning, hijau, nihil semua. Padahal sudah berapa kali hampir tutup baris, namun karena orang lain sudah duluan, baris ditutup dan ganti baris baru. Benar-benar sial, pikirku. Sampai hadiah utama kedua berupa menginap gratis di hotel tersebut pada malam tahun baru, orang lain juga yang dapat--rekan dari bank lain di Tebing Tinggi juga. Lemaslah aku. Tak ada lagi harapan, rasanya. Padahal hadiah kecil saja sudah cukup bikin aku senang, namanya juga perdana. Namun ternyata memang tak hendak Tuhan mengaruniakan aku yang kecil melainkan yang besar. "Dicabuik lagi, tujuah puluh tujuah... Tujuah puluh tujuah, adaaa?!" Apa, tujuh puluh tujuh?! 77?! Tunggu, sebentar, rasanya... "KIIIIIIM!!!" Membahana jeritku di aula luas itu, membuat semua pasang mata menoleh kaget. "Iya! Maju ke depan, Bapak... Kita cocokkan nomornya..." Gemetar lututku saat maju ke depan. Takut salah nomor, alangkah malunya. Berapa banyak orang yang saksikan?! Benarkah, benarkah?! "Sekian, sekian, sekian, sekian, sekian, tujuh puluh tujuh! Selamat, Bapak! Bapak dapat hadiah pertama dari Bank Indonesia! Dari bank mana, Bapak?" Alhamdulillah, bukan malu yang kudapat melainkan televisi Samsung Slim dua puluh inci, baru. Tebing Tinggi berjaya, hadiah pertama dan kedua berhasil diperoleh. Malam itu tidurku sungguh teramat nyenyaknya. *********************** Memang sudah ditakdirkan, esoknya pimpinan meng-SMS, bahkan sebelum aku bangun. Kubaca pesan di layar 3200 butut itu. "Alfa, hari ini saya mau cari BB untuk teman-teman yang mau nyusul ikut punya BB. Apa Alfa sudah mau pakai BB? Kalau Alfa mau saya senang, karena memang niat saya supaya teman-teman punya nilai dalam pergaulan. Saya rasa angsuran per bulannya tidak terlalu berat. Kamu pikirkanlah dan segera kabari saya, hari ini juga saya belikan." Ah, terlampau keras hati rasanya jikalau sudah diperhatikannya sebegitu rupa masih aku menolak. Benar-benar besar hatinyalah maka ia bersedia menalangi pegawai-pegawai sampai level terrendah sekalipun ber-BB ria. Tak perlu urat leher atau pecut untuk meluluhkanku. Apalagi aku baru dapat televisi yang sedianya memang hendak kujual saja, untuk tambah-tambah tabungan. Calon pembeli sudah ada: ayahku. Dan SMS balasanku: menerima tawaran tersebut. Warna hitam. ****************************************************** Hari Senin BB tersebut kuterima. Tentu saja masih aku buta menggunakannya. "Makainya begini-begini-begitu, Fa. Lihat PIN, IMEI dan spesifikasi dari Option, lalu Status..." Manggut-manggut aku berlagak paham. "Wah, saya sampai muter-muter nyarinya... Tadinya saya ke Anu, tapi ternyata harganya 2,6... Puyeng juga saya, karena saya janjiin ke kalian kan harganya 2,3... Saya tanya si penjual, katanya kalau mau harga segitu saya suruh datang ke Itu karena lagi diskon... Saya kejer datang ke sana, alhamdulillah dapat! Mudah-mudahan ada manfaatnya sama kamu..." Ah, benar-benar tak menyesal kuterima tawarannya kemarin. Maka hari-hari berikutnya adalah penyesuaianku dengan benda yang digadang-gadang sebagai "smartphone"--entah di mana letak smart-nya, dengar MP3--yang mustahil ada di 3200-ku, foto-foto tak karuan di hampir semua tempat, membiasakan diri dengan "ping!", dan mulai berlagak: tak lagi tanya nomor telepon melainkan tanya PIN BB. Mengganti semua kata "hape" atau "ponsel" atau "handphone" menjadi "BB". Semua kalimat sedapat-dapatnya mengacu secara spesifik pada identitas BB semisal "Mana ya BB-ku, ada yang nampak?!" atau "Low-batt lah... Ada charger BB gak?" atau "Ini saya kasih nomor BB saya ya, Pak...". Sebuah euforia sesaat yang kelak akan reda sendiri. Percayalah bahwa kita gegar budaya dan kalap akan sesuatu yang baru, sampai sesuatu yang lebih baru menggantikannya. Memangnya siapa yang sekarang masih main Friendster? Dan angsuran bulan kedelapan. Empat bulan lagi jatuh tempo. BB-ku sudah mulai bermasalah. Beberapa rekan juga, bahkan ada yang BB-nya sudah padam total, entah diapakannya. Barangkali akibat pemakaian yang terlampau atau penggunaan yang kurang bijaksana. Di satu sisi, sesuatu yang mengutamakan nilai fashion acapkali kekurangan pada ketangguhannya. Di sisi lain, ketakutanku terbukti bahwa memang sebenarnya aku belum perlu pakai BB. Apapun ceritanya, BB sudah di tangan, angsuran jalan terus... (NB. Alhamdulillah sekarang sudah lunas.)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun